Rabu, 22 Agustus 2012

Movemento da Mulher de Timor Leste



Diskusi Soal Gerakan Perempuan Timor Leste
Dengan Etha Ribeiro
By Vladimir Ageu DE SAFI'I 

Gerakan Perempuan Timor Leste
Vladimir Ageu DE SAFI'I
 (Semoga suatu hari nanti, saya dapat menulis sebuah artikel tentang Gerakan Perempuan Timor Leste)
Pernyataan berikut ini merupakan salah satu respon atas kasus Mikato (Maria Domingas Alves) yang tidak jadi menduduki pos di Ministeriu Justisa Timor Leste pada Kabinet ke-V Pemerintahan Bloku Koligasaun Parlementar periode 2012-2017 yang dibuat oleh Etha Ribeiro dalam media Facebook. Beriku ini pernyataan saudari Etha:


Suara dari kaum yg tidak bersuara.." Kami perempuan generasi masa depan bangsa yg berdaulat "Timor-Leste", menyampaikan :
1. Menolak organisasi apapun yg mengatasnamakan kaum perempuan hendaknya harus benar-benar mjdi wadah bagi segenap kaum wanita dan bukan atas kepentigan sebagian orang atau kelompok tertentu guna meraih ambisi politiknya.
2. Menolak dengan tegas bahwa wadah yg mengatasnamakan kaum perempuan, seharusnya tidak secara aktif terjun ke dunia politik, dikarenakan banyak kaum wanita yg terbagi di berbagai partai politik demi menghindari kepentingan org atau pihak tertente yg menjadikan organisasi perempuan sebagai kendaraan politik.
3. Menolak segala bentuk intervensi dari berbagai pihak baik itu dr pemerintah maupun dr 0rganisasi non pemerintah seperti 0NG nasional maupun internasional agar wadah kaum perempuan tsb benar-benar independen, transparan serta dapat dipercaya sebagai wadah yg menghimpun dan memperjuangkan hak-hak persaman kaum perempuan(Gender) didalam institusi pemerintahan maupun non pemerintahan ke depannya, serta kredeblitasnya dapat dipertanggung jawabkan ke hadapan publik..


Gerakan Perempuan Timor Leste
Tutuala traditional dance's dalam acara peresmian National Park 'NINO KONIS SANTANA' 
Bagian Pertama
Perjuangan perempuan bukan semata-mata sebatas pada 'gender' (kesamaan derajad dengan kaum laki) saja. Lebih dari itu. Mengingat persoalan yang dihadapi kaum perempuan bukan hanya ini: Apakah ketika kaum perempuan mammpu dan sudah sederajad (bahkan mampu meruntuhkan dominasi kaum lkelaki) berarti persoalan yg dihadapi oleh kaum perempuan sudah tuntas? Aku pikir, Etha juga sepakat bila jawabannya adalah: tidak.
Afonso Arsenio Lopes: “Benar yang ada di benak kaum perempuan hanyalah berjuang untuk adanya kesamaan hak antara laki dan perempuan tapi bila di tilik secara dalam bahwa konsep seperti terlalu sempit, jadi ada baikanya menjadi emansipasi perempuan Timor leste, bukan emansipasi wanita Timor Leste....semoga”.
Etha Ribeiro: Memang tidak...masih banyak yg harus diperjuangkan kaum perempuan timor loro-sae saat ini. "Aku tdk setuju bila kita mengemis sebuah jabatan" karena kita mempunyai sejarah perjuangan yg cukup panjang. "Perjuangan kita bukan hanya meruntuhkan pamoritas top lider kita", tetapi lebih dari itu, kita juga harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita(kaum perempuan Timor Leste) juga bisa "memimpin lembaga superior" selagi mata dunia masih tertuju di bumi Loro-Sae. "Kursi sebuah menteri tdk seharga dgn apa yg telah dilakukan dan ditunjukkan kaum perempuan disaat bumi Loro-Sae borgolak". Yg sangat terpenting untuk seluruh kaum perempuan Timor Leste saat ini adalah : "Perempuan harus bisa merebut hati dan sanubari rakyat timor loro-sae agar perempuan mempunyai tempat tersendiri di hati rakyat kelak", jika perempuan nantinya ingin ambil bagian dalam peta perpolitikan nasional ke depannya. Citra kaum perempuan haruslah ttp di jaga agar tdk dimamfaatkan. "Berjuta cara bagi kita untuk mengapai mimpi itu"...Salam”.
Gerakan Perempuan Timor Leste
Perempuan tua Timor Leste
Carlos Soares Sarmento: “Maaf tetapi ideku bahwa seorang perempuan bukan menjadi sederajat sama kaum laliki2 tetapi dia sebagai pendampingnya seorang laki2 untuk menjalan tugasnya seorang perempuan dan dia mengerjakan tugasnya seorang laki juga karena dia sebagai wakil rumah tangga bukan jadi kepala rumah tangga”.
Vladimir Ageu de Safi'i: Afonso Arsenio Lopes, Jangan terjebak pada perdebatan kata soal apakah itu 'perempuan' atau 'wanita' atau 'feto' atupun 'mulher'. Point terpenting, sesungguhnya terletak pada kata 'emansipasi'. Sepanjang yang saya pahami (jika kurang tepat, tolong dikoreksi) bahwa 'emansipasi' mengandung 2 pengertian, yakni (1) pembebasan dari perbudakan; dan (2) persamaan hak terhadap berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Jika pemahaman ini yang dipakai untuk mendefenisikan soal emansipasi perempuan/wanita/feto, etc...berarti suatu proses pelepasan diri kaum perempuan dari kondisi dan kedudukan sosial, ekonomi, politik e kultura yang rendah/membelenggu atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju.
Vladimir Ageu de Safi'i: Etha Ribeiro. Salam juga. Saya setuju dengan pandangan Etha, bahwa kaum perempuan harus memiliki identitas. Saat ini, disidentidade bukan semata2 terjadi pada kelompok perempuan saja, melainkan terjadi di semua bidang dan sektor e mos pada semua hal. Pembangunan identitas perempuan bisa dilakukan melalui banyak cara, namun pada intinya adalah bagaimana melakukan aktivitas penyadaran dan juga pengkonsolidasian kaum perempuan sebagai kekuatan nasional yang utuh. Tentunya, ini akan banyak menghadapi kendala dan salah satunya adalah berhadapan dengan kaum perempuan itu sendiri. Untuk dapat membangun dan mengkonsolidasikan kekuatan kaum perempuan TL, maka salah satu langkah yang patut untuk dilakukan adalah melihat realitas obyektif sosial masyarakat TL itu sendiri. Dari sinilah kita akan mengetahui mengenai akar permasalahan serta pokok-pokok kontradiksi yang dihadapi/terjadi pada kaum perempuan: dari masyarakat ke perempuan.
Gerakan Perempuan Timor Leste
Agrikultor Timor Leste
Vladimir Ageu de Safi'i: Carlos Soares Sarmento. Apa yang anda kemukakan benar, dari perspektif yang lain. Cuma, pandangan demikian akan sedikit rancu. pertama-tama yang kita bersama harus pahami adalah terkait dengan posisi perempuan itu sendiri. Secara biologis antara laki-laki dengan perempuan jelas berbeda, namun secara sosial adapula persamaannya. Perbedaan biologis ini biasanya disebut dengan hal yang 'kodrati' atau 'natural' bahwa perempuan memiliki (maaf) buah dada yang menonjol (menyusui), haid alias menstruasi, mengandung dan melahirkan. Ciri2 ini tidak dimiliki oleh kaum lelaki/pria/mane. Ciri kodrati inilah yang tidak bisa diubah. Selain ciri2 tersebut, juga ada ciri yang terkait dengan peranan/posisi sosialnya. Laki2 bisa main bola, angkat besi dsb, maka perempuan juga bisa. dan seterusnya”.
Etha Ribeiro: Konsolidasi yg anda maksud, telah dan sering dilakukan kaum perempuan. Dan bahkan telah melakukan kongresnya beberapa kali serta kehadirannya ditengah masyarakat guna membela,memperjuangkan hak-hak fundamental kaum wanita serta menyuarakan aspirasi kaum perempuan tampa terkecuali tsb. diakui oleh segenap komponen Bangsa. Kami hanya menunggu waktu yg akan menentukan kehadiran kami dalam meramaikan pesta Demokrasi. Sejarah timor leste telah menulis keikutsertaan kaum perempuan dalam pesta Demokrasi yakni Pemilihan Persiden dan Parlamen thn 2007. Adapun kaum perempuan kita yg dipercaya Lembaga Peserikatan Bangsa-Bangsa utk memimpin lembaganya. Itu bukti nyata partisipasi kaum perempuan dalam sejarah perempuan Timor Leste. Kedepanya, kami berharap untuk tidak lagi mengemis sebuah Jabatan Menteri. Tetapi lebih dari itu, kami juga ingin hadir untuk membawa perubahan pada sistem, yakni "memimpin Timor Loro-Sae" ke depannya...Salam”.
Gerakan Perempuan Timor Leste: Rosa Muki
Pejuang perempuan Timor Leste
Vladimir Ageu de Safi'i: “Saya setuju dgn fakta2 tersebut. Itu semua merpkan bagian kecil dr banyaknya aktivitas pemberdayaan perempuan yg selama ini berjalan. Dan hanya orang yg A-historis saja yg tidak mengakui peranan sejarah keterlibatan kaum perempuan di masa lalu (masa ketika TL masih Timor, TL masih Timor Portugis, TL masih Timor Timur, dan TL saat RDTL). "Kedepanya, kami berharap untuk tidak lagi mengemis sebuah Jabatan Menteri." ini juga saya setuju. Untuk apa kita capek2 berjuang klo ujung-ujungnya menjadi pengemis. Hahalok atau mentalidade sebagai pengemis merupakan warisan dr sistem lama. Ini menjadi PR yg berat tuk dihilangkan/diubah. Tentunya, tak ada 'kue politik' yg akan diberikan secara cuma2 alias gratis, namun haruus direbut/hadau. Untuk dapt merebut berarti butuh kekuatan. Bicara kekuatan berarti bicara 2 hal: kuantitatif & kualitatif. Kuantitatif berarti bicara soal angka: berapa jumlah kekuatan perempuan yg telah diorgaisaikan/konsolidasikan? etc. Bicara kualitatif berarti bicara soal mutu/kualidade/kapasitas/pengetahuan/kesadaran/komitmen, keberanian, etc. Saya percaya, Etha cs, lebih paham soal ini. Lewat inilah, perubahan pada sistem bisa dilakukan. lewat ini pula, perempuan TL bisa memimpin. Lewat ini pula, bisa keluar dari lingkaran besi-sosial yg ada. abracos...salam juga”.
Gerakan Perempuan Timor Leste
Etha Ribeiro
Etha Ribeiro: Terima kasih atas inputnya...! Memang berat misi seorang perempuan dgn organisasinya untuk merealisasikan keinginan yg saya maksudkan di atas... Ada beberapa fakta yg telah merubah dunia dgn kehadiran kaum perempuan dalam memimpin negara. Di timor leste saat ini memang sulit dan bahkan lebih sulit seorang perempuan bisa memimpin. Egoisme itu hadir di pikiran sebagian org yg memang meragukan apa yg anda katakan tadi "kemampuan untuk memimpin". Saya tegaskan disini bahwa faktor memimpin adalah faktor kepercayaan publik. Banyak negara yg melahirkan seorang pemimpin dgn bakat alamiah atau sering orang sebut "pemimpin karismatik". Dan banyak negara di dunia ke-3 yg juga melahirkan seorang pemimpin dngn tangan besi atau militeristik yang sering disebut "otoriter/diktatoristik". Saya juga mengakui bahwa seorang pemimpin haruslah mempunyai kualitas yg memadai karena itu adalah salah satu faktor utama menjadikan orang tersebut bisa memimpin atau mengelolah negara dgn baik..Tetapi fakta lain diatas jangan pula di kesampingkan juga... Bagi saya, "Didunia ini tidak ada yg mustahil jika kita memang ada niat".
Karcindo Dos Santos: “Harapan kaum perempuan untuk jadi seorang pemimpin sebenarya tidak terlalu sulit, kalau untuk kontex timor leste, suatu saat jabatan PM ataupun PR bisa dipegang oleh permpuan. sbab kalau dilihat perkembanganya, kepemimpinan perempuan tidak kalah jauh di banding kepemimpinan laki2. kita lebih berharap suatu saat di TL perempuan jadi seorng PR atau PM. hanya saja menurut saya, pemberdayaan kaum perempuan saat ini harus lebih di perhatikan dan ditingkatkan agar kaum perempuan lebih menunjukan kemampuannya bahwa; PEREMPUAN BISA!”
Vladimir Ageu de Safi'i: Etha Ribeiro & Karcindo dos santos. Saya selalu percaya bahwa: 'apapun yang kita pikirkan, itu ditakdirkan untuk terwujud." Bicara soal kepemimpinan berarti bicara soal kolektivitas atas unsur yg ada, termasuk unsur 'si pemimpin'. Saat ini, TL sedang menghadapi krisis kepemimpinan, hampir di semua hal. Memang, secara personal, unsur individu memainkan peranan yg cukup menentukan dalam perkembangan sebuah organisasi, tmsk negara. Tp, bukan berarti ketika tidak ada peemimpin yg menonjol, lantas organisasi tersebut harus runtuh. Tidak! Pada situasi yg demikianlah, kepemimpinan memainkan peranan yg penting. Ini semua membutuhkan waktu dan proses. Kesabaran, kedisiplinan lebih2 disituasi seperti TL saat ini, menjd modal penting bagi pembangunan gerakan perempuan. Namun, ada satu hal yg perlu saya tekankan di sini bahwa gerakan perempuan tdk bisa terlepas dan dilepaskan dari gerakan kerakyatan secara umum”.
Etha Ribeiro: Pendapat anda berdua sangan membangun! Singkat namun sangat padat isinya..! Thanks”.
Gerakan Perempuan Timor Leste
Women Timor Leste
Etha Ribeiro: Aku sangat menyukai gerakan perempuan yg berprinsip pada gerakan sosial budaya. Kenapa? Karena kehidupan berbangsa dan benegara kita tdk terlepas dari prinsip2 itu. Sebab sosial budaya masyarakat kita itu sudah terbentuk sejak jaman dulu dan sangat kuat pengaruhnya sampai sekarang. Ditambah lagi dgn nilai-nilai luhur perjuangan kita yg memang berbasis pd nilai kerakyatan serta pemberdayaan terhadap sejarah perjuangan itu sendiri . Maka akan membentuk suatu pemikiran yang berorientasi pada nilai luhur sosial budaya masyarakat akan menjadi pegangan bagi seseorang untuk melangkah..”
Bagian Kedua
Komentar Etha Ribeiro di Wall sebelumnya: "Aku sangat menyukai gerakan perempuan yg berprinsip pada gerakan sosial budaya. Kenapa? Karena kehidupan berbangsa dan benegara kita tdk terlepas dari prinsip2 itu. Sebab sosial budaya masyarakat kita itu sudah terbentuk sejak jaman dulu dan sangat kuat pengaruhnya sampai sekarang. Ditambah lagi dgn nilai-nilai luhur perjuangan kita yg memang berbasis pd nilai kerakyatan serta pemberdayaan terhadap sejarah perjuangan itu sendiri . Maka akan membentuk suatu pemikiran yang berorientasi pada nilai luhur sosial budaya masyarakat akan menjadi pegangan bagi seseorang untuk melangkah.." Ini sangat bagus. Pada dasarnya, gerakan apapun itu namanya, akan membawa dan atau berdampak pada terjadinya perubahan, pergerakkan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya. Gerakan perempuan TL juga akan berdampak pada pergerakan masyarakat TL, soal impaknya kecil atau besar tergantung pada kadar (volume, nivel, besaran) gerakan itu sendiri. Jadi, ada satu hal yg harus kita ingat bahwa dalam kehidupan sosial-budaya terdapat banyak nilai-nilai/norma2 yang berlaku. Adakalanya, nilai2 tersebut bersifat progressif, adakalanya juga konservatif (pro status quo). Sebagai contoh, apakah nilai-nilai yang selama ini masih berlaku dalam sistem budaya TL seperti 'patriarkhi' cocok bagi kesuksesan gerakan perempuan TL? Karenanya, menurut hemat saya, gerakan perempuan TL harus berangkat dari kondisi riil-obyektif (kondisi yg benar2 terjadi dlm masyarakat TL). Hanya dengan kita mengetahui dan memahami kondisi riil-obyektif ini, maka kita akan tahu: kira2 pokok-pokok permasalahan (baca:kontradiksi) apa yang sedang berlaku dalam masyarakat TL. Berangkat dari sinilah, sebuah perumusan program perjuangan baru dapat dibuat, beserta strategi-taktik dan juga bentuk oragnisasi gerakan yang cocok. Salam

HISTORIA TIMOR LESTE





Sejarah Demokrasi di Timor Leste
Bagian Kedua
By Vladimir Ageu DE SAFI'I


Sejarah dan proses perkembangan demokrasi di Timor Leste untuk pertama kalinya dapat dipastikan bermula pada era 1970-an. Ini seiring dengan perubahan politik dalam negeri Portugal yang pada saat itu sedang dilanda revolusi sosial: revolusi bunga. Keberhasilan dalam menggulingkan rezim lama oleh rezim revolusioner yang dimotori oleh militer ini, secara politik telah juga membawa perubahan kebijakan menyangkut status pemerintahan negeri-negeri jajahan. Selain itu, mulai kuatnya ide kemerdekaan di masing-masing negeri jajahan, juga turut mempercepat proses penyebaran ide pembebasan nasional.
Di Timor Leste sendiri, ide dan gerakan perlawanan yang lebih modern dengan melibatkan kekuatan yang relative massif dimulai sejak meletusnya pemberontakan yang dipimpin oleh Liurai Manufahi, Dom Boventura, antara tahun 1910-1912. Selain pemberontakan tersebut, peristiwa Viequeque pada tahun 1959, juga cukup banyak mengispirasi ide-ide dan peristiwa di masa selanjutnya. Peristiwa-peristiwa inilah yang mengilhami lahirnya tokoh-tokoh perlawanan muda, yang selanjutnya di era sekarang kita sebut sebagai generasi 1975. Di samping itu juga, mulai diberlakukannya kebijakan dan akses rakyat dibidang pendidikan (meskipun masih sebatas bagi golongan atas) oleh penguasa Portugis secara kultura telah membuka dan munculnya golongan masyarakat terpelajar. Dari sini pula, pengetahuan-pengetahuan tentang ide-ide kemerdekaan serta demokrasi mulai muncul.
Selanjutnya, ide dan konsep demokrasi mulai menemukan institusi pertamanya di negeri ini seiring dengan dipakainya istilah demokrasi untuk nama organisasi social politik pada bulan Mei 1974, seperti Union Demokrasia Timorense (UDT), Asosiasaun Sosial Demokrasia Timorense (ASDT), dan Asosiasaun Popular Demokrasia Timorense (APODETI). Terlepas dari tujuan politik dan aksi-aksi politik yang dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa ketiga pendiri dan organisasi tersebut adalah pelopor disosialisasikannya ide demokrasi. Dan ide demokrasi ini semakin menemukan bentuk formalnya, ketika pada tanggal 28 November 1975 secara resmi dipakai sebagai nama Negara: Republika Demokratika Timor Leste.
Penjelasan di atas merupakan fase awal di mana ide demokrasi muncul bersamaan dengan gerakan pembebasan nasional menentang praktek kolonialisme Portugal. Ide-ide demokrasi bercampur dengan semangat nasionalisme dan patriotisme; bercampur dengan semangat anti penjajahan.
Peristiwa invasi militer Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan menjadi babak baru atas perkembangan demokrasi di Timor Leste. Ini menjadi pertanda ditutupnya fase pertama. Memasuki fase kedua ini, meskipun dalam situasi yang hampir sama, yakni sama-sama di bawah kekuasaan pemerintah kolonialis (pra 1975: Portugis, pasca 1975: Indonesia), namun terdapat perbedaan kebijakan terhadap negeri jajahan. Dengan diresmikannya Timor Timur sebagai Propinsi ke-27 Indonesia, membawa konsekuensi diterapkannya sistem dan kebijakan yang dijalankan pemerintahan Jakarta. Sebagaimana propinsi-propinsi lainnya, Timor Timur pun diharuskan untuk melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.
Singkatnya, di era Indonesia tersebut, rakyat Timor Leste mulai memasuki babak baru dengan diperkenalkannya ide-ide demokrasi dalam doktrin ‘Demokrasi Pancasila’ dengan gaya rezim Orde Baru: militeristik. Untuk pertama kalinya di era Indonesia ini, rakyat Timor Timur diharuskan untuk mengikuti pemilihan umum guna memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat/DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD Tingkat I Propinsi dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya pada tahun 1982. Selanjutnya, berturut-turut pada Pemilu 1987, 1992, 1997, dan 1999.
Jadi, berbicara mengenai demokrasi di Timor Leste tidak bisa dilepaskan dari aktivitas gerakan pembebasan nasional. Jika di era Timor Portugis, demokrasi dijadikan sebagai nilai utama pembentukan negara RDTL pada tahun 1975, maka pada era Timor Indonesia, demokrasi juga dipakai di samping sebagai nilai-nilai perjuangan juga sekaligus strategi perjuangan pembebasan nasional oleh para pejuang dan aktivis.
Di kalangan kelompok klandestin, khususnya yang bergerak di Indonesia (Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) para aktivis mahasiswa dan pemuda Timor Timur (IMPETTU/Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Timor Timur koorditorat IMPETTU se Idonesia terus DPP IMPETTU langsung dibawah maun bot KY Xanana, RENITIL/Resistensia Estudante Nasional Timor Leste, AST/Asosiasaun Sosialista de Timor, GMTTP/Gerakan Mahasiswa Timor Timur untuk Perdamaian, dan sebagainya) menggunakan demokrasi sebagai salah satu strategi perjuangan guna memerdekakan Timor Leste. Para aktivis beranggapan bahwa terbukanya peluang dan adanya proses demokratisasi yang meluas di Indonesia akan memberikan peluangan bagi kebebasan bergerak para aktivis dan rakyat Timor Leste. Karenanya, kerjasama antar pejuang Timor Leste dengan gerakan kelompok pro demokrasi di Indonesia harus dilakukan. Pada akhirnya, strategi ini terbukti cukup efektif dan berhasil.
Peristiwa Mei 1998 dengan tergulingnya Soeharto dari jabatan Presidennya, menjadi titik/tonggak awal bagi terwujudnya kemerdekaan Timor Leste. B.J. Habibie selaku Presiden pengganti Soeharto memutuskan dengan melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyatakan perlunya diadakan referendum untuk penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor Leste. Selanjutnya, pada akhir tahun 1999 dengan pemantauan badan internasional PBB, sebuah referendum dilaksanakan di Timor Timur, dan hasilnya adalah Timor Timur berdiri sebagai negara sendiri dengan nama RDTL, yang kemudian dikukuhkan secara formal pada tanggal 20 Mei 2002. (Bersambung)****

Rabu, 15 Agustus 2012

HISTORIA TIMOR LESTE




SEJARAH MASYARAKAT 
DAN PERJUANGAN RAKYAT TIMOR LESTE
Bagian Pertama
By Vladimir Ageu DE SAFI'I 




Dalam beberapa literatur yang mengupas tentang Timor Leste, maka sejarah masyarakat dan bangsa Timor Leste diawali dengan kedatangan orang Australoid dan Melanesia. Gelombang migrasi manusia pertama ke Pulau Timor merupakan migrasi manusia tipe vedo australoid, yakni ras yang mempunyai persamaan dengan orang Vedda di Srilangka serta penduduk asli Australia (Aborigin). Meskipun memiliki persamaan dalam hal fisik, namun dari segi dialek dan bahasa menunjukkan ketidakadaan pertalian antara bahasa yang dipakai oleh penduduk Timor dengan penduduk Aborigin Australia.
Selanjutnya, gelombang migrasi manusia kedua dilakukan oleh orang-orang yang memiliki persamaan ciri fisik dengan orang-orang bertipe Papua-Melanesia, di mana ciri negroid-nya menonjol. Tipe ini dapat dijumpai di hamper seluruh daratan Timor. Di Timor Leste sendiri, tipe Papua-Melanesia ini lebih banyak dijumpai di bagian timur serta wilayah tengah berpegunungan, yakni Fataluku (Distrik Lautem), Maccasa’e (distrik Baucau, Viquque, dan sebagian kecil Lautem/Maccasa’e Sa’ane), serta Bunaq (Bobonaro, Ermera, Fatululiq, serta Zumalai/Covalima).
Gelombang migrasi berikutnya adalah orang-orang yang berbahasa Austronesia. Bahasa dan dialek penduduk Timor Leste yang masuk dalam kategori atau serumpun dengan bahasa ini meliputi: Tetum, Mambai, Quemaq, Baiqueno, Tekodede, Galoli, Idate, Habo, Laculei, Kairui, Nauweti, dan beberapa dialek lainnya.  Dalam perkembangannya, rumpun bahasa ini turut pula mempengaruhi perbendaharaan bahasa yang berumpun Papua.
Migrasi selanjutnya adalah migrasi manusia Eropa, khususnya orang-orang berkebangsaan Portugal pada awal abad ke-16. Lamanya praktek kolonialisme Portugal di Timor Leste telah pula mempengaruhi perubahan dan cirri fisik penduduk sebelumnya, khususnya melalui perkawinan campur.
Kehadiran bangsa Portugis di Timor Leste merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dengan kehadirannya secara umum di Asia, khususnya Malaka. Dari Malaka-lah, maka Portugis mulai menguasai Maluku (Indonesia) dan Timor.
Sebagaimana diketahui, bahwa motif awal yang mendasari kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Asia adalah terkait dengan kegiatan perdagangan guna mendukung dan memenuhi kebutuhan dan kemajuan bidang perekonomian di Eropa. Bagi Portugis, Timor Leste merupakan satu-satunya koloni yang mampu memberikan benefit ekonomi terkait dengan kekayaan kayu cendana beserta lilin dari madu tawon. Dua hasil kekayaan inilah yang mampu diperdagangkan Portugis di Eropa.
Persaingan ekonomi di antara sesame Negara Eropa, pada akhirnya merembet dan terbawa ke wilayah-wiayah jajahan mereka. Portugis harus bersaing keras dengan Negara Eropa lain seperti Belanda, Inggris, dan Spanyol. Dalam kasus Timor, maka Portugis harus berhadapan dengan Belanda yang juga memiliki keinginan untuk menguasai keseluruhan Pulau Timor. Pada akhirnya, situasi telah menempatkan Timor sebagai kawasan konflik di antara kedua negera tersebut, di mana pada akhirnya, Pulau Timor terbagi menjadi dua koloni: untuk Timor Barat di bawah kekuasaan Belanda, sedangkan untuk bagian timur menjadi kekuasaan dari Portugis. pembagian wilayah koloni ini dilakukan pada tahun 1859.
Sejarah Timor-Leste banyak ditandai oleh penderitaan, kekerasan, serta kekejaman, baik yang disebabkan oleh bangsa asing maupun oleh sesama bangsa sendiri. Dalam sejarahnya, negeri ini pernah mengalami masa penjajahan yang berlangsung lama dan bergonta-ganti penguasa. Penjajahan tidak semata-mata dilakukan oleh Portugal, melainkan juga dilakukan oleh Jepang antara tahun 1942 – 1945.  Pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Timor Leste kembali dikuasai oleh Portugal hingga tahun 1975.
Penguasaan Portugal atas Timor Leste harus terinterupsi tahun 1975 terkait dengan gejolak politik internal Negara Portugal. Situasi ini, selanjutnya dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menduduki bumi lorosa’e ini mulai tahun 1975 – 1999.
Perlawanan-perlawanan rakyat terhadap penjajahan Portugis telah dapat diketahui paling tidak sejak abad ke-18 hingga abad ke-20, baik yang berskala kecil maupun besar. Beberapa perlawanan tersebut, meskipun belum tertuliskan, namun dari cerita-cerita yang berkembang di tengah-tengah masyarakat di antaranya adalah pemberontakan

Liurai[1] Venilale (1807), Liurai Laga dan Ermera (1863), Liurai Cotobaba dan Cova (1981), Liurai Laleia dan Laclubar (1879), Liurai Uai-Mori (1883), Liurai Motael dan Bidau (1887), Liurai Simao Vesorru (1892), Liurai Cailaco (1892), Liurai Maubara (1893), Liurai Duarte Manufahi (1897), Liurai Ambeno (1912), Liurai Queleqi (1913), Liurai Fonosahe (1926), Liurai Dom Boventura (1912), dan sebagainya.
 Dengan berakhirnya rezim diktator Antonio Oliveira Salazar, Portugal dituntut untuk mengadakan penataan pemerintahan yang baru, di mana selama berlangsungnya proses ini dipimpin oleh Dewan Penyelamat Nasional (Junta de Salvação Nacional) yang yang tergabung dalam MFA (Movimento das Forças Armadas/Gerakan Angkatan Bersenjata). Salah satu agenda yang harus diselesaikan selama berlangsungnya proses tersebut adalah pentingnya diadakannya dekolonialisasi terhadap semua tanah jajahan di seberang lautan guna penentuan nasib sendiri, tidak terkecuali untuk koloni Timor Portugis.
Dengan berbagai kesulitan dan hambatan yang harus dihadapi, maka pemerintah Propinsi Timor Portugis yang waktu itu dipimpin oleh Kolonel Mario Lemos Pires berusaha dengan semaksimal mungkin menjalankan keputusan pemerintah pusat Lisbaun. Sementara itu, terkait dengan penentuan nasib sendiri, pemerintah Portugal memberi kesempatan kepada rakyat Timor Portugis untuk menentukan pilihan masa depannya sendiri.
Perubahan kebijakan pemerintahan kolonial tersebut membawa konsekuensi tersendiri terhadap kondisi perpolitikan di Timor Portugis. Pada akhirnya, ini memicu lahirnya perbedaan pandangan di kalangan masyarakat mengenai maksud dari kebijakan penentuan nasib sendiri. Sebagai bentuk konkrit dari pilihan yang berkembang dalam masyarakat adalah ditandai dengan didirikan dan dibentuknya berbagai macam partai politik, di antaranya adalah União Democratico Timorense (UDT), Associação Popular Democratico de Timor (APODETI) dan Associação Social Democrata Timorense (ASDT) yang selanjutnya berubah menjadi Frente Revolucionario de Timor Leste Independente (FRETILIN). Di samping itu, terdapat dua partai kecil lainnya, yakni Klibur Oan Timor Aswain (KOTA) dan Trabhalista (Partai Buruh), di mana keduanya merupakan partai satelitnya UDT.
Dalam kenyataannya, proses dekolonialisasi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selesai pemilihan umum yang dimenangkan oleh ASDT-Fretilin, Partai UDT dan para satelitnya melancarkan kudeta pada tanggal 11 Agustus 1975 terhadap pemerintahan Fretilin dengan dalih adanya penyebaran doktrin komunisme. Selama kurang lebih seminggu UDT berkuasa dengan bertumpu pada kekuatan bersenjata (para milisia) dengan sasaran utama pada para pemimpin Fretilin. Akibatnya, proses dekolonialisasi menjadi berantakan dan tidak bisa dilanjutkan.
Menghadapi situasi yang demikian, pemerintah Portugis melakukan berbagai usaha penyelesaian seperti dengan memediasi pertemuan antara Fretilin dengan UDT. Dialog ini sendiri tidak bias menemukan solusi damai. Sebagai konsekuensi atas gagalnya dialog tersebut, Fretilin melancarkan serangan balasan terhadap UDT dan para satelitnya hingga melarikan diri ke wilayah Timor Indonesia pada tanggal 20 Agustus 1975. Setelah melalui berbagai pertimbangan, maka Fretilin memproklamirkan kemerdekaan Timor Portugis pada tanggal 28 November 1975 dengan nama Republika Demokratika Timor Leste (RDTL).
Sebagai respon atas proklamasi unilateral Fretilin tersebut, pada tanggal 30 November 1975, UDT bersama dengan Apodeti, KOTA, dan Trabalista mengajukan sebuah petisi yang dikenal dengan sebutan ‘Perjanjian Balibo’ kepada pemerintah Indonesia untuk menganeksasi wilayah Timor Portugis menjadi bagian dari Negara Indonesia. Dengan berlandaskan pada petisi Balibo-lah, maka pemerintah Indonesia kemudian melancarkan serangan militernya ke Timor Portugis. 
Tanggal 7 Desember 1975 merupakan peristiwa bersejarah penting bagi rakyat Timor Leste, di mana militer Indonesia melakukan serangan udara dan laut secara besar-besaran terhadap kota Dili. Tanggal ini pula menjadi awal dari dimulainya sebuah perjuangan panjang antara rakyat Timor Leste terhadap aksi pendudukan militer Indonesia.
Falintil sebagai sayap perjuangan bersenjata merupakan satu-satunya organisasi yang melakukan perlawanan dengan menekankan perang sebagai jalan kemerdekaan Timor Leste. Dengan melihat besarnya kekuatan militer Indonesia serta banyaknya tokoh-tokoh perlawanan yang terbentuk, maka para pemimpin perlawanan pada saat itu memandang perlunya sebuah strategi perjuangan baru dengan mengkombinasikan dan mengintegrasikan dua bentuk perjuangan lainnya, yakni perjuangan klandestin dan diplomatik. Pada akhirnya, strategi ini berjalan dengan efektif meskipun memakan waktu lama, yakni sekitar 24 tahun hingga diselenggarakannya referendum tahun 1999, yang sekaligus menjadi momentum bagi berakhirnya era penjajahan yang telah berlangsung selama hamper 500 tahun lamanya. (Bersambung)***




[1] Liurai adalah sebutan untuk para raja di Timor Leste. Konsep dan eksistensi kerajaan di Timor Leste sangat berbeda dengan kerajaan-kerajaan yang pernah eksis di belahan dunia, seperti kerajaan Majapahit, Pajajaran, Roma, dan seterusnya. Kondisi ini juga hamper serupa dengan keberadaan kerajaan di Timor Barat. Seorang ‘raja’ adalah seorang pemimpin masyarakat/rakyat di wilayah kerajaan yang bersangkutan. Di Timor Leste, seorang raja hamper mirip dengan seorang kepala suku. Raja juga tidak memiliki istana sebagaimana umumnya cerita tentang kerajaan. Raja juga tidak memiliki pasukan, dsb.

International News

BAN KI-MOON BERKUNGJUNG KE TIMOR LESTE

Dili, Timor Leste
Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon berkunjung ke Timor Leste pada hari ini (Rabu, 15/8). Kunjungan pejabat organisasi internasional yang berkewarganegaraan Korea Selatan ini terkait dengan keberadaan misi PBB di Timor Leste.
Sebagaimana diketahui bahwa misi PBB di Timor Leste akan berakhir pada bulan Desember tahun ini. Saat ini, misi PBB di Timor Leste (UNMIT) dipimpin oleh Amera Haaq. Misi PBB di negeri ini dimulai semenjak negeri bekas jajahan Portugis ini menggelar referendum 1999 guna menentukan sikap terhadap Indonesia (Integrasi atau Independen). Misi pertama bernama UNAMET, UNTAET, dan UNMIT.
Dalam kunjungannya kali ini, Ban Ki-Moon dijadwalkan melakukan pertemuan dengan Presiden Taur Matan Ruak, Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmao, dan beberapa organisasi non-pemerintahan.***

Selasa, 14 Agustus 2012

SEJARAH TIMOR LESTE



Timor, Timor Portugis, Timor Timur, dan Timor Leste: 
Apakah Sejarahmu?

Dulu, aku mengetahui tentang wilayah yang sekarang aku huni ini dari pelajaran PSPB—Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa---ketika masih duduk dibangku Sekolah Dasar. Saat itu, guruku menjelaskan bahwa Timor Timur adalah bagian wialayah Nusantara yang dijajah oleh Bangsa Portugis. Memasuki bangku Sekolah Menengah Tingkat Pertama, kembali aku mendapatkan materi soal sejarah Timor Timur. Pengetahuanku soal negeri ini berhenti, manakala aku memasuki bangku STM---Sekolah Teknologi Menengah di sebuah kabupaten, di mana Ronggolawe dilahirkan.
Tiga tahun, aku tidak mendapatkan kabar soal negeri yang konon tercipta dari penjelmaan Sang Buaya ini. Baru aku mulai mendengar kembali soal Timtim (sebutan popular pada saat itu), saat aku masuk Perguruan Tinggi. Seperti membalikkan telapak tangan, mendadak pengetahuan dan pemahaman soal Timtim berubah. Ternyata, tidak sebagaimana diajarkan oleh para guruku. Tentunya, bukan guru-guruku yang salah. Guru-guruku hanya mengikuti materi kurikulum yang orang lain yang membuatnya.
Sudah sepuluh tahun aku di Timtim, atau sekarang lebih popular dikenal ‘Timor Leste’, tapi masih ada ketidakpemahamanku soal TL. Hingga detik ini, sepanjang yang aku tahu, sejarah Timor Leste hanya dimulai---dan tulisan-tulisan yang ada---berkisar 24 tahun, tepatnya sejak dilancarkannya invasi militer Indonesia mulai tahun 1975 hingga 1999. Sebelum itu, tidak ada sejarah soal Timor Leste, jika pun ada maka bersifat romantisme terhadap ‘kejayaan’ Portugal, bukan kolonialisme yang dilakukan oleh Portugal.*