Rabu, 06 November 2013

REVOLUSI PERADABAN DI INDONESIA

REVOLUSI PERADABAN DI INDONESIA
(Catatan ringan tentang Transformasi Musik Koplo Indonesia)
By Vladimir Ageu DE SAFI'I


Kuatnya arus liberalisme pada akhirnya turut mempengaruhi perkembangan kultural masyarakat Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, nenek moyang dari kapitalisme ini melakukan sebuah revolusi peradaban yang langsung menyentuh 2 strata sosial masyarakat (perkotaan dan pedesaan).
Pada masyarakatan perkotaan, revolusi liberal (kultural) ini mulai mengguncang kota-kota besar di Indonesia pada awal-awal tahun 1990-an dengan istilah House Music-nya. Selanjutnya, golongan menengah perkotaan menjadikan jenis musik ini sebagai simbol baru kebebasan berekspresi dibidang seni, walaupun masih terbatas dalam RUANGAN TERTUTUP (sesuai namanya, HM). Dalam perkembangannya, penyebutan produk revolusi liberal ini berganti menjadi DUGEM MUSIC yang selalu diidentikkan dan dikait-kaitkan dengan minuman beralkohol dan narkotika.
Sementara itu, pada waktu yang bersamaan, sebuah revolusi liberal juga melanda masyarakat pedesaan, khususnya masyarakat pedesaan yang tinggal di Pulau Jawa. Gerakan revolusi ini menyentuh golongan menengah masyarakat pedesaan. Trend musik baru sebagai symbol pendobrakan terhadap seni dangdut lama (melayu-indian) menjadi jenis music dangdut baru ala Jawa Timuran yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan DANGDUT KOPLO.
Perbedaan dari dua gerakan music liberal tersebut adalah: “Jika DUGEM Music berada dalam ruangan tertutup (eksklusif) dan menyelimuti golongan perkotaan, maka Dangdut KOPLO berada di ruangan terbuka (tontonan massal).”

Sementara itu, persamaan dari 2 produk revolusi liberal tersebut adalah (1) sama-sama terispirasi dari roh liberalism; (2) Baik Dugem Music maupun Dangdut Koplo, sama-sama diidentikan dengan Sex dan Narkoba; (3) sama-sama menjadi symbol pemberontakan terhadap tatanan seni-budaya lama; (4) Sama-sama terdengar enak (Khusus untuk telingaku…heheh)…***

DANGDUT KOPLO & TENAGA PROGRESSIV

DANGDUT KOPLO & TENAGA PROGRESSIV
(Catatan ringan tentang Transformasi Musik Koplo Indonesia)
By Vladimir Ageu DE SAFI'I
 Untuk memahami lahirnya Musik Dangdut Koplo (MDK) tentu tidak bisa dilepaskan dari munculnya gerakan kreativitas seni tradisional Jawa (Gamelan) yang bernama CAMPURSARI. Sesuai dengan namanya, campursari merupakan rangkuman dari beberapa roh music-musik non gamelan. Intinya, memasukkan beberapa unsure music elektronik.
Emha Ainun Najib dengan kelompok Kyai Kanjengnya, atau Waljinah dengan duetnya bersama Cryse, serta beberapa seniman lainnya merupakan bentuk-bentuk karya seni yang sarat dengan kreativitas progressive. Mereka mencoba keluar dari pakem atau aturan music-musik tradisional.
Kreativitas progeresiv ini, yang selanjutnya dimanfaatkan oleh pelaku industry music (liberal), seiring dengan mulai terbukanya kran demokrasi di Indonesia, khususnya dengan munculnya beberapa Stasion Televisi swasta, memoles kreativitas progresiv tersebut menjadi semata-mata pada keuntungan entertainment.
Dalam perkembangannya, campursari sempat membuming di hamper seluruh wilayah Jawa Timur, sebagian Jawa Tengah, hingga Sunda (Jawa Barat). Bagi pelaku bisnis entertainment, ini merupakan peluang bisnis yang menjanjikan. Akhirnya, Campursari yang sebelumnya didominasi oleh unsure Gamelan, diputar 180 derajat: instrument elektronik menjadi dominan, sedangkan unsure gamelan yang diambil hanya KENDANG-nya saja.
Dalam tradisi music gamelan Jawa Timur (jawatimuran), dikenal istilah ‘KENDANG KEMPUL’, selanjutnya kendang dan kempulannya inilah yang dikawinkan dan dipenetrasikan ke bentuk ‘aliran’ music baru, atau yang kita kenal saat ini dengan istilah: DANGDUT KOPLO.
Musik dangdut merupakan jenis music India yang berkmbang di Nusantara yang beradaptasi dengan tradisi suku melayu. Hingga tidak mengherankan, bila dangdut dikenal dengan istilah Musik Melayu.
Pemakaian Bahasa Melayu menjadi Bahasa Nasional Indonesia membawa konsekuensi bagi eksistensi dan status social untuk music melayu tersebut. Pada saat itu, segala sesuatu yang berbau Melayu berarti identik dengan Inlander atau Jajahan/budak/pribumi. Maka tidak mengherankan, bila berkembang anggapan di sebagian masyarakat Indonesia yang menyebut music Melayu atau Dangdut sebagai music KAMPUNGAN alias NDESO KESA-KESO.
Campursari yang walaupun mencoba ditarik ke permukaan public, namun dalam kenyataannya mencoba bergerak mengikuti hokum dialektikannya tersendiri. Kenyataannya, music ini lebih cepat perkembangannya dan berevolusi menjadi Musik Dangdut Koplo, justru mengikuti induk semangnya: di pedesaan.
Eksploitasi terhadap kreativitas progressive tersebut mulai menemukan bentuknya, ketika bisnis narkoba memasuki area ini. Beberapa obat-obatan kelas kampungan seperti ‘DK’ yang era 90-an hanya di jual 3 biji per 750 rupiah, dipake oleh golongan pemuda pedesaan untuk meramaikan setiap konser campursari. Semakin banyaknya para penganut “teler’ ini membawa konsekuensi pada sebutan music dangdut campursari menjadi Dangdut Koplo (mengingat banyak yang koplo alias yang sok pekok).
Sementara itu, terkait Musik Dangdut Koplo identik dengan “Goyang Erotis” dan “Sawerannya”, sesungguhnya tradisi ini sudah lama tumbuh berkembang dalam masyarakat Indonesia, khususnya yang mendiami daratan Pulau Jawa. Sekitar 20 tahun yang lalu, tradisi saweran tidak seperti saat ini. Pada waktu itu (gamelan-tayupan), para penari (undangan) memberikan uang kepada para sinden (bahasa lamongan biasa disebut JOGET) dengan cara menaruh uang ke dalam nampan. Melalui nampanlah, para undangan memesan lagu kesukaannya.
Perubahan saweran dengan nuansa saat ini (dimana memberikan uang langsung pada si penyanyi/joget/sinden dengan cara mengguyurnya seperti air hujan atau dengan cara menyisipkankan secara langsung ke dalam payudaranya, bahkan ada pula yang memasukkan ke area “lembah antah berantah”) merupakan penetrasi dari orang-orang yang menjadikan seni kreativitas progresiv ini menjadi bisnis pribadi atau kelompok belaka. Pada akhirnya, cara apapun selama dapat menghasilkan uang, maka selama itu pula akan selalu dilekatkan dalam Musik Dangdut Koplo (MDK).

Jadi, MDK adalah sebuah produk progresif dari tenaga-tenaga kreativ progresif negeri ini yang selanjutnya dimanfaatkan atau dieksploitasi oleh roh liberalism. Sudah pasti, setiap revolusi akan melahirkan perubahan: suka atau tidak; terima atau tidak.***