Kamis, 12 Februari 2015

BABAK BARU DRAMA POLITIK REMODELASAUN

BABAK BARU DRAMA POLITIK REMODELASAUN[1]
Husi Vladimir A. SAFI’I


Setelah berlarut-larut, akhirnya drama politik remodelasaun inipun memasuki babak baru. Presiden Taur Matan Ruak memutuskan untuk menerima dan menyetujui permohonan pengunduran diri Xanana Gusmão dari jabatan PM-nya, dan menyatakan Governu Bloku Koligasaun berstatus demisioner. Pada awalnya, drama politik ini sempat menimbulkan berbagai macam spekulasi dan juga persepsi yang beragam di tengah-tengah masyarakat. Meskipun begitu, mengenai bagaimana hasil akhirnya, cerita drama politik inipun, sebenarnya sudah dapat diprediksi.
Sebuah pertanyaan cukup mengganggu terkait dengan proses resignasaun PM, yakni: “Jika pada akhirnya Xanana harus resigna, lalu untuk apa remodelasaun yang sudah dilakukan sebelumnya? Bukankah ini hanya membuang-buang waktu, tenaga dan juga pikiran saja? Bukankah dari segi waktu, tenaga dan juga pikiran, bahwa resignasaun ini bisa dilakukan sejak awal Janeiru yang kemudian dilanjutkan dengan prosesu forma governu yang baru?” Inilah politik. Sesuatu yang pendek bisa menjadi panjang, yang sederhana berubah menjadi rumit. Dalam hukum materialismu dialektika, maka proses politik yang berlangsung ini disebut “negasi ke negasi” atau “meniadakan untuk ditiadakan.”
Sejak awal pembentukannya, kabinet Xanana Gusmão yang diberi nama Governu Bloku Koligasaun (GBK) ini sudah menimbulkan kontroversial berkaitan dengan jumlah Membru Governu yang mencapai 55 posisi jabatan. Sebuah jumlah yang dinilai terlalu besar dan berlebihan untuk ukuran Timor-Leste dengan derajad kerumitan dan permasalahan yang sesungguhnya sudah terpetakan. Banyak pihak yang menilai, bahwasannya jumlah tersebut akan berdampak pada besarnya penggunaan Orsamentu Jeral serta hanya akan menjadikan kinerja governu justru semakin tidak efesien dan efektif. Dengan logika yang sederhana bahwa “orang yang gendut, cenderung susah untuk bergerak dengan cepat dan mudah dihinggapi penyakit.”
Jumlah tersebut merupakan konsekuensi dari pemilu parlementar 2012 yang tidak menghasilkan pemenang maioria absoluta, dimana CNRT hanya memperoleh suara sebesar 172,909 suara atau sebesar 36.68 porzen. Posisi nomer dua diduduki oleh FRETILIN dengan suara 140,904 atau 29.89 porzen. Selanjutnya adalah PD dengan jumlah 48,579 suara atau 10.30 porzen, dan FRENTI-MUDANÇA mendapatkan 14,648 suara atau 3.11 porzen.  Akhirnya, CNRT, PD dan Frenti-Mudansa membentuk aliansi politik pasca pemilu di Parlemen dengan tujuan utama membentuk sebuah pemerintahan. Berangkat dari koalisi inilah, jumlah membru governu berasal.
Konsekuensi dari koligasaun ini adalah “bagi-bagi jatah kursi kekuasaan.” Semangat mendasar dari koligasaun adalah Partai A mendapatkan posisi apa dan Partai B pun demikian. Dari koligasaun ini, CNRT mendapatkan jatah 29 posisi, PD mendapatkan 12 posisi, dan Frenti-Mudansa sebanyak 6 posisi. Sisanya, diisi oleh independen (meskipun begitu, kecenderungan politiknya adalah CNRT).
Jadi tidaklah mengherankan apabila governu hasil koligasaun ini tidak berjalan sesuai dengan harapan rakyat. Disamping terlalu gendut dan hanya bersisi bagi-bagi kue kekuasaan, juga tidak berangkat dan diikat oleh suatu program atau plataforma politik yang jelas.
Mensikapi situasi ini, FRETILIN yang tidak berhasil menuju tampuk kekuasaan sejak pemilu parlementar 2007 dan 2012 menempatkan diri sebagai partai oposisi. Jika pada periode Aliansi Maioria Parlementar (AMP 2007-2012), FRETILIN mengkampanyekan perlunya Eleisaun Antisipada, maka pada periode GBK 2012-2017 ini, agenda FRETILIN adalah menuntut kepada Xanana agar melakukan Remodelação do Governo sejak tahun pertama masa kerja GBK. Kali ini, agenda FRETILIN berhasil.
Sikap oposisi FRETILIN sendiri mulai berubah memasuki tahun kedua masa kerja GBK. Perubahan ini diawali dengan dinobatkannya Sekretaris Jeral Mari Al-katiri sebagai “Presidennya” orang Oequssei. Dan semakin menunjukkan sebagai partai pendukung pemerintah pada saat dilaksanakannya pembahasan OJE 2015, di mana FRETILIN sepenuhnya menyetujui dan mendukung. Tentunya, perubahan sikap ini bukan tanpa sebab. Sikap anti GBK (thesa) berubah menjadi pro GBK (antithesa) melahirkan sebuah sinthesa yang bernama konsesi politik yang berupa FRETILIN masuk dalam susunan membru governu hasil remodelasaun.
Sebagai langkah politik (konsekuensi kompromi dengan FRETILIN), maka untuk kesekian kalinya, pada awal Janeiru 2015, Xanana kembali menegaskan bahwa dirinya akan rezigna-an dan melakukan remodelasaun sebelum tanggal 18 Fevereiru 2015 atas GBK. Statemen yang dinilai sebagian kalangan sebagai ‘gertak sambal’ ini, pada akhirnya benar-benar direalisasikan, di mana Xanana selaku Primeiru Ministru berkirim surat kepada semua membru GBK untuk bersedia mengundurkan diri secara sukarela pada akhir Janeiru 2015.  
Hal yang sangat mengejutkan adalah bahwasannya rencana remodelasaun ini sepenuhnya tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan anggota koligasaun. Secara hukum, langkah PM Xanana ini sah-sah saja (konstitusionil) mengingat ministru dan sekretariu estadu adalah pembantu PM. Namun secara politik, langkah ini dinilai kurang etis (walaupun sah juga mengingat etika juga bersifat normative dan relative).
Hal lain yang tak kalah mengejutkan adalah sikap PD dan Frenti-Mudansa yang cenderung “pasrah menerima takdir politik” tersebut. Sebuah takdir politik yang menyakitkan (sakitnya tuh di sini…!!!), lebih-lebih dengan diremodela kedua top lider partai politik tersebut dari GBK. Meskipun begitu, sikap PD dan Frenti-Mudansa di awal Fevereiru 2015 ini masih tetap memberikan dukungan kepada GBK dan mengusulkan nama Agio Pereira sebagai kandidat PM. Sikap ini yang selanjutnya mendapatkan respon dari FRETILIN melalui Sekjen Mari Al-katiri bahwa Xanana memanggil Rui Araujo (membru CCF) untuk dinominasikan sebagai PM yang baru.
Ditengah-tengah tarik ulur rencana komposisi membru governu baru, PM Xanana menyampaikan surat pengunduran dirinya kepada Presidente da Republika Taur Matan Ruak pada tanggal 5 Fevereiru 2015. Jika pada awalnya, Presiden TMR kurang setuju dengan rencana mundurnya Xanana, maka sikap kekurangsetujuan ini pada akhirnya berubah menjadi setuju. Governu Bloku Koligasaun pun dinyatakan demisioner. Lalu, timbul pertanyaan: apakah dengan demisionernya GBK ini, secara otomatis juga membuat bubarnya Bloku Koligasaun (BK) antara CNRT, PD dan Frenti-Mudansa?
Dengan melihat perkembangan politik sejak awal, kemungkinan besar BK masih eksis bahkan diperluas keanggotaannya dengan masuknya FRETILIN. CNRT sebagai pemenang pemilu parlementar 2012 tetap sebagai pihak yang berhak untuk membentuk pemerintahan baru pasca GBK untuk periode 2015-2017. Dalam konteks ini, Xanana muncul sebagai sosok kunci masuknya FRETILIN dalam pemerintahan. Dengan demikian, maka tidaklah mustahil bila anggota CCF Rui Araujo menduduki posisi orang nomer satu di kabinet baru yang akan dibentuk. Ketidakmustahilan ini lebih banyak disebabkan karena lemahnya posisi tawar PD dan Frenti-Mudansa di hadapan Xanana/CNRT dan juga Mari/FRETILIN.
Situasi politik yang berkembang saat ini, telah menempatkan  PD dan Frenti-Mudansa dalam posisi yang terjepit dan bagai telur di ujung tanduk. Keduanya tidak masuk dalam kategori sebagai organisasi politik yang berani berseberangan pandangan politiknya dengan Xanana. Dengan demikian, apapun keputusan yang diambil oleh Xanana (termasuk apabila Xanana menggandeng FRETILIN untuk berkoalisi), maka PD dan Frenti-Mudansa akan tetap menerima.
Lalu, siapakah yang akan membentuk governu yang baru? Terdapat beberapa opsi politik: pertama, Xanana (CNRT) tetap memperpanjang kontrak dengan PD dan Frenti-Mudansa. Artinya, GBK jilid kedua. Namun, ini mustahil dilakukan dengan melihat perkembangan politik yang telah terjadi. Kedua, Xanana (CNRT) melakukan koalisi dengan FRETILIN dengan menceraikan secara total PD dan Frenti-Mudansa. Opsi kedua ini kemungkinan dapat saja dilakukan. Tetapi, dengan melihat adanya beberapa orang PD dan Frenti-Mudansa yang kabarnya akan duduk kembali sebagai membru governu, maka opsi kedua ini akan menjadi pilihan terakhir. Ketiga, Xanana (CNRT) melakukan koalisi dengan semua partai politik yang ada di Parlementu Nasional (FRETILIN, PD, dan Frenti-Mudansa). Sebuah pemerintahan baru dalam bentuk unidade/persatuan politik (Guvernu Unidade Nasional). Opsi ini juga berpeluang dipilih. Ketiga opsi tersebut dalam koridor hukum konstitusional sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi Artigu 106, yang intinya menyatakan bahwa pemerintahan dibentuk oleh koalisi partai di Parlemen apabila tidak ada pemenang maioria absoluta dalam eleisaun jeral. Opsi yang terakhir atau keempat adalah Xanana (CNRT) membentuk pemerintahan sendirian tanpa adanya koalisi secara formal dengan ketiga partai politik yang ada. Dengan catatan, Xanana mendapatkan kesepakatan atau persetujuan politik dengan elit-elit partai politik yang ada “kesepakatan di bawah meja.” Opsi keempat ini merupakan opsi politik bukan hokum konstitusional. Jika opsi keempat yang ditempuh, maka politik di Timor-Leste telah menempatkan Xanana sebagai satu-satunya manusia yang paling berkuasa sejak awal hingga akhir hayatnya meskipun Xanana sendiri sudah tidak lagi berada atau memegang kekuasaan.
Semoga saja, pemerintahan baru yang akan dibentuk nantinya, benar-benar mempertimbangan tentang realitas obyektif permasalahan kehidupan rakyat Timor-Leste, seperti: uang minyak yang pada akhirnya akan habis, ketiadaannya lapangan pekerjaan, peningkatan angka pengangguran dalam setiap tahunnya, stagnasi ekonomi, dan sebagainya. Artinya, kita semua berharap semoga pemerintahan baru yang akan dibentuk didasarkan pada semangat mengedepankan kepentingan dan permasalahan rakyat, bukan sekedar “bagi-bagi kursi kekuasaan” dan semangat menumpuk logistik untuk eleisaun jeral 2017.***



[1] Artikel ini sudah dipublikasikan di Surat Khabar “Jornal Independente” pada tanggal 12 Februari 2015

Selasa, 10 Februari 2015

REMODELASAUN ALA BREWOK

REMODELASAUN ALA BREWOK[1]
Vladimir A. SAFI’I



[1] Artikel sudah pernah dipublikasikan di Surat Kabar “Jornal Independente” pada tanggal 10 Februari 2015

Artikel ini penulis awali dengan kesimpulan mengenai motif seseorang duduk di kekuasaan: pertama, bahwa seseorang duduk di kekuasaan karena faktor warisan (herança), baik karena hubungan kekerabatan maupun hubungan lainnya (balas budi atau belas kasihan). Kedua, karena faktor pengabdian (dedicação) baik terhadap rakyat, negara, atau ideology yang dianutnya. Ketiga, faktor lapangan pekerjaan (campo do trabalho). Keempat, faktor keinginan untuk merampok (roubar) uang rakyat secara legal.
Politik adalah cara/seni dan sekaligus ilmu untuk meraih kekuasaan, baik secara konstitusional maupun non-konstitusional. Sebagai sebuah seni atau cara, maka ini sangat terkait dengan karakter orang yang sedang berpolitik (cenderung subyektif). Sedangkan sebagai ilmu, maka ini sangat berkaitan dengan rasionalitas dan kaidah-kaidah keilmuan yang berlaku (cenderung obyektif). Dengan demikian, sadar atau tidak sadar, maka semua orang sudah terlibat dalam kegiatan politik sehari-hari baik dalam urusan pemerintahan maupun non-pemerintahan.
Sebuah masyarakat, bangsa dan negara dapat eksis dan bertahan lama dikarenakan politiknya. Begitu juga sebaliknya, dapat runtuh tak berbekas karena sikap, aktivitas dan peristiwa politik yang terjadi di dalamnya. Runtuhnya sebuah negara sudah pasti berpengaruh pada keruntuhan bangsa yang berada di dalamnya. Ini disebabkan, karena identitas “kebangsaan” mulai ada dan dibangun semenjak ide tentang perlunya dibangun sebuah “negara” di suatu wilayah. Yang sudah barang tentu, pada akhirnya ini akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi masyarakatnya yang cenderung beragam. Timor-Leste adalah entitas dari berkumpulnya beragam etnik masyarakat (Fataluku, Makasae, Mambai, dll), yang mencoba mentransformasikan diri menjadi entitas baru bernama ‘bangsa/nation/nasaun’ melalui wadah yang bernama ‘Republika Demokratika Timor-Leste’.
Tercatat, sudah banyak peristiwa politik yang cenderung destruktif yang menimpa negara ini. Sebutlah salah satunya adalah krisis 2006, yang belum hilang sepenuhnya dari ingatan masyarakat. Saat ini, sebuah peristiwa politik (yang cenderung dramatik) kembali dan sedang berlangsung: remodelação do gabinete/cabinet reshuffle/perombakan kabinet yang dipimpin oleh Primeiru Ministru Xanana Gusmão.
Secara umum, remodelação do gabinete mengandung pengertian sebagai sebuah peristiwa politik dalam pemerintahan di mana kepala pemerintahan (dalam konteks semi parlementar seperti sistem pemerintahan di Timor-Leste adalah Primeiru Ministru) melakukan penggantian atau pemindahan posisi terhadap seorang atau sebagian menteri atau anggota kabinet dengan tujuan utama untuk mensolidkan dan meningkatkan kinerja pemerintahan yang ada demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Biasanya, remodelasaun dilakukan berdasarkan berbagai alasan, diantaranya adalah menteri atau anggota kabinet lainnya dinilai telah gagal dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, terjadi karena ada anggota kabinet yang didakwa/diduga telah menyalahgunakan wewenang/kekuasaan (abusa de poder). Untuk kasus restrukturisasi dengan pengurangan jumlah anggota kabinet, biasanya didasarkan pada persoalan efesiensi anggaran keuangan negara. Sementara dalam kasus sebuah pemerintahan yang dibangun oleh koalisi antara partai politik, remodelasaun dilakukan berdasarkan alasan “untuk saling merasakan,” alias menjabat secara bergiliran. Serta masih banyak alasan lainnya.
Dalam sejarahnya (RDTL), peristiwa politik remodelação do gabinete sudah pernah terjadi pada pemerintahan yang dipimpin oleh PM Mari Al-katiri, Ramos Horta dan Estanislau (periode 2002-2007). Mari Al-katiri sempat melakukan restrukturisasi pemerintahan pada bulan Maret 2003 dan Juli 2005. Selanjutnya, diawali dengan peristiwa politik lainnya (krisis 2006), Kabinet Mari Al-katiri dibubarkan dan diganti dengan Kabinet Ramos Horta pada bulan Juli 2006. Kira-kira setahun kemudian, tepatnya pada bulan Mei 2007, Kabinet Ramos Horta dibubarkan dan diganti dengan Kabinet Estanislau da Silva. Lalu, sebuah remodelação do gabinete yang sedang berlangsung saat ini (Gabinete Bloku Koligasaun yang dipimpin oleh PM Xanana Gusmão). Selain terdapat unsur kesamaan, juga terdapat unsur perbedaan antara peristiwa remodelação do gabinete pada periode 2002-2007 dengan apa yang terjadi pada saat ini (periode 2012-2017).
Perbedaannya adalah pembubaran Kabinet Mari Al-katiri dipicu dari adanya konflik politik kepentingan antara elit politik (khususnya antara kubu Mari dengan kubu Xanana) pada saat itu dan munculnya chaos politik yang melibatkan masyarakat hingga menimbulkan banyaknya korban nyawa dan harta benda. Sementara itu, remodelasaun di era Xanana (2014), dapat dikatakan hampir tidak ada konflik politik kepentingan antara elit yang ada (selain kasus Mauk Moruk), lebih-lebih semenjak Mari Al-katiri “ditidurkan” dengan proyek Oequssei.  
Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam kasus remodelasaun 2006 terjadi secara otomatis (diikuti bubarnya para menteri) ketika Mari Al-katiri selaku PM menyatakan mundur (rezignasaun) dari jabatannya, begitu juga dengan Kabinet Ramos Horta sehingga tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Sementara itu, untuk kasus remodelasaun ala Xanana dilakukan dengan cara menyuruh para menterinya untuk mengundurkan diri, dan Xanana sendiri masih menjabat sebagai PM (sebelumnya, rencana rezigna-an telah disampaikan beberapa kali). Bahkan, niat mundurnya Xanana ini juga kurang mendapat persetujuan dari Presidente da Republica Taur Matan Ruak (walaupun pada akhirnya, Sexta, 6/2/2014, Xanana memberikan surat pengunduran dirinya kepada Presiden).
Selanjutnya, yang membedakan adalah bahwa Kabinet Mari Al-katiri merupakan kabinet yang dibentuk oleh Fretilin (satu partai) yang menang maiora absolute dalam pemilihan umum Asembleia Konstituente tahun 2001, sedangkan Kabinet Xanana dibentuk oleh koligasaun 3 partai politik (CNRT, PD, dan Frenti-Mudansa) sebagai hasil pemilu parlementar 2012.
Sementara itu, sebagai unsur kesamaannya adalah bahwa semua peristiwa politik remodelasaun yang ada (Mari dan Xanana) sama-sama tidak melewati proses politik di lembaga legislative (Parlementu Nasional). Proses politik yang dimaksud berkaitan dengan tidak adanya mosi tidak percaya (moção de censura) atau impeachment (impugnação) dari anggota PN kepada pemerintah. Dalam kasus remodelasaun ala Xanana saat ini, justru yang terjadi adalah sebaliknya, di mana pemerintahan Xanana mendapatkan dukungan dan kepercayaan yang penuh dari semua anggota Parlementu Nasional dengan disetujuinya Orsamentu Jeral de Estadu 2015.
Faktor proses politik di Parlementu Nasional ini sangat penting mengingat dengan system semi-parlementar yang dianut Timor-Leste mengharuskan pemerintah (Primeiru Ministru & Ministru sira) bertanggungjawab kepada Parlementu (Konstitusi RDTL, Artigu 107), selain juga kepada Presidente da Republica. Dengan mencermati proses politik yang terjadi selama 2 tahun Kabinet Bloku Koligasaun, maka sesungguhnya pertanggungjawaban tahunan yang diberikan kepada Parlementu Nasional berjalan mulus dan lancar-lancar saja. Artinya, unsur moção de censura atau impugnação tidak ada. Dengan demikian, secara politik formal institusional, maka tidak ada tuntutan perlunya perombakan Kabinet oleh para anggota PN kepada Kabinet Xanana. Inilah kejanggalan (embaraço) pertama terkait dengan dasar politik apa yang dijadikan alasan mengenai perlunya remodelasaun.
Kejanggalan kedua adalah berkaitan dengan fakta bahwa secara politik dan de jure, Governo Bloco Koligação ini dibentuk melalui aliansi maioria parlementar dari 3 partai politik (CNRT, PD dan Frenti-Mudansa). Dari kabar yang terdengar bahwa proses remodelasaun ini (rencana dan proses pemberhentian para menteri yang dilakukan oleh PM Xanana) tidak melibatkan partai politik anggota koalisi. Artinya, ini merupakan sebuah inisiatif dan tindakan sepihak (unilateral) dari PM Xanana sendiri. Secara hukum, langkah ini sah-sah saja mengingat para menteri adalah pembantu PM. Namun, secara politik (etika), langkah politik yang ditempuh oleh PM Xanana (yang juga Presidente CNRT) ini kurang etis (walaupun sah-sah saja). Celakanya lagi adalah hingga detik ini tidak terdapat sikap protes dari pihak PD dan Frenti-Mudansa. Kedua partai ini lebih memilih bersikap “pasrah dan menerima takdir politik” tersebut. Fakta ini menunjukan bahwa selama 2 tahun ini ternyata tidak ada komunikasi politik yang transparan diantara partai politik yang tergabung dalam secretariat bersama Bloku Koligasaun. Seharusnya, secretariat ini benar-benar dapat dijadikan sebagai tempat dan instrument untuk membangun sebuah proses komunikasi politik yang harmonis, apalagi semua pimpinan partai politik juga menduduki posisi di kabinet (informasi yang penulis dengar, Sekretariat Bersama Bloku Koligasaun ini hanya berfungsi pada saat pembahasan Orsamentu Jeral de Estadu saja). Kesimpulannya adalah bahwa wadah ini tidak berjalan secara maksimal.
Kejanggalan yang ketiga adalah masyarakat umum tidak mengetahui mengenai alasan dilakukannya remodelasaun: mengapa Menteri A dipertahankan dan Menteri B diberhentikan? Atau, mengapa PM Xanana harus rezigna-an? Dan, mengapa harus diganti oleh Agio Pereira atau Rui Araujo?  Tentunya, tidak diumumkannya faktor-faktor atau alasan tersebut, lebih banyak didasarkan pada pertimbangan etika semata.
Tidak adanya penjelasan resmi dari pihak PM Xanana, pada akhirnya menimbulkan berbagai macam spekulasi dan persepsi yang beragam dalam masyarakat. Ada yang berpandangan bahwa Menteri yang diberhentikan dinilai telah gagal dalam menjalankan tugasnya. Artinya, sukses dalam mengeksekusi orsamentu setiap tahunnya, tetapi gagal dalam mentransformasikan anggaran keuangan tersebut dalam bentuk program kementerian yang nyata dan berhasil dirasakan oleh rakyat. Ada juga yang berpandangan bahwa banyaknya pejabat yang diberhentikan karena banyaknya kasus “negative” yang dilakukan oleh para menteri seperti ada menteri yang selingkuh kanan-kiri, menteri terlibat dalam skandal video/foto porno, menteri yang terlibat dalam perselingkuhan dengan pengusaha (KKN), dan sebagainya. Persepsi lainnya adalah bahwa jumlah membru governu yang mencapai 55 orang dinilai terlalu banyak. Di samping menyebabkan pemborosan keuangan negara, juga dapat menimbulkan ketidakefektifan kerja. Selain itu, ada juga persepsi yang beranggapan bahwa rendahnya kinerja Kabinet Bloku Koligasaun telah menurunkan citra PM Xanana. Dengan remodelasaun diharapkan ada kenaikan citra Xanana dimata publik. Di samping itu, ada persepsi bahwa remodelasaun ini mengemban misi khusus dari Xanana terkait dengan perjuangan Timor-Leste atas minyak. Dan masih banyak persepsi lainnya.
 Dengan demikian, apapun alasan yang dijadikan pertimbangan untuk remodelasaun (berkaitan dengan kinerja), maka sesungguhnya bukan semata-mata kesalahan seorang Ministro atau Sekretario do Estado melainkan sebuah kesalahan kolektiv. Benar, bahwa secara personal terdapat menteri yang kurang memiliki kapasitas dalam bekerja atau berhadapan dengan masalah tertentu, namun dilihat dari sudut pandang organisasi, maka posisi seorang Ministro atau Sekretario do Estado tetaplah dengan status sebagai bawahan atau anak buah atau pembantu seorang PM. Karenanya, seorang PM selaku pimpinan juga harus turut bertanggung jawab.
Kejanggalan yang keempat adalah sebagaimana diatur dalam Konstitusi Artigu 105 bahwasannya membru governu berada dalam satu mekanisme organisasi yang namanya Conselho do Ministro. Pertanyaannya adalah mengapa jika disinyalir atau diduga ada kesalahan yang dilakukan oleh seorang menteri tidak dilakukan evaluasi (teguran atau peringatan) di forum Conselho do Ministro ini? Mengapa harus menunggu 2 tahun baru diadakan pemberhentian?
Kesemua kejanggalan-kejanggalan di atas, mencerminkan adanya sikap ambiguitas/kebingungan dalam diri PM. Sikap ambigu ini nampak terlihat dengan jelas manakala Xanana melakukan pertemuan dengan elit partai politik (PD dan Frenti-Mudansa) pasca kemunduran semua membru governu. Padahal, pada awalnya kedua partai politik tersebut ditinggalkan atau tidak dilibatkan. “Keterlambatan politik” inilah, pada akhirnya menimbulkan adanya spekulasi public mengenai dugaan akan sikap Xanana (CNRT) yang tidak lagi mau berkoalisi dengan PD dan Frenti-Mudansa, dan beralih untuk “kawin” dengan FRETILIN. Indikasi bahwa Xanana hendak melakukan koalisi “di bawah meja” dengan FRETILIN terlihat dengan dipanggilnya beberapa elit politik FRETILIN untuk masuk ke dalam kabinet baru yang akan dibentuk.
Bagi FRETILIN sendiri, situasi ini sangat menentukan dan menguntungkan. Sudah barang tentu situasi politik yang berkembang saat ini merupakan bagian dari konsesi dan kompensasi politik dari Xanana terhadap FRETILIN atas sikap FRETILIN yang dalam setahun terakhir tidak lagi memposisikan dirinya sebagai partai oposisi di PN, malah sebaliknya menjadi motor penggerak utama disetujuinya Orsamentu Jeral (APBN) 2015. Alias, tidak ada dukungan yang gratis. FRETILIN juga membutuhkan amunisi untuk eleisaun jeral 2017.
Di sisi yang lain, Xanana juga terlihat hendak bermain “aman”. Artinya, meskipun secara terang-terangan meninggalkan dua partai pendukung GBK (PD dan Frenti-Mudansa), Xanana juga masih “melibatkan” mereka dalam pembicaraan mengenai jumlah membru governu yang baru serta PM yang baru, di mana mereka mengusulkan nama Agio Pereira sebagai PM. Selain itu, juga masih memasukkan beberapa nama menteri lama untuk masuk ke dalam kabinet yang baru.
Melihat situasi ini, FRETILIN melalui Sekretaris Jenderalnya, Mari Al-katiri menyatakan bahwa PM Xanana telah memanggil Rui Araujo untuk dipromosikan sebagai PM yang baru. Langkah politik Xanana dan Statemen Mari ini, nampak jelas mengindikasikan bahwasannya di antara kedua elit ini telah ada kesepakatan di bawah meja yang hanya tinggal menunggu momentum yang tepat saja untuk mengentuk palu sebagai symbol terbentuknya koalisi yang baru: CNRT-FRETILIN.
Pada akhirnya, pihak manakah yang berpeluang menanggung beban politik yang berat ini? Selain rakyat Timor-Leste sendiri, juga Presiden Taur Matan Ruak. Presiden harus menghadapi dan menerima 3 bola liar yang ditendang oleh Xanana: a) Xanana mengundurkan diri dari PM; b) PD dan Frenti-Mudansa mengajukan Agio Pireira sebagai PM; dan c) FRETILIN mengajukan Rui Araujo sebagai PM.
Jika perkembangan politik yang sedang berlangsung ini, semata-mata dipahami sebagai “permainan”, maka akhir dari permainan adalah adanya pro dan kontra atas 3 bola liar tersebut. Dengan asumsi bahwa bola liar tersebut tidak bisa dikendalikan, maka sebagai “pemenang dalam permainan” ini adalah Xanana kembali menjadi PM dengan catatan Presiden Taur menolak surat pengunduran diri Xanana. Konsekuensi dari kembalinya Xanana sebagai PM adalah dibentuknya sebuah Pemerintahan Persatuan (CNRT, FRETILIN, PD, dan Frenti-Mudansa). Namun, apabila bola liar ini dapat dikendalikan (Presiden menerima surat pengunduran diri Xanana), berarti pemerintahan yang baru akan dipimpin oleh Rui Araujo sebagai sikap kompromi terhadap FRETILIN, dengan tetap mengakomodir partai politik pendukung koalisi sebelumnya.
Dengan mencermati proses dan polemik yang ada, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: pertama, bahwa proses remodelasaun ini, meskipun tetap berada dalam koridor hukum konstitusional yang ada, namun telah menempatkan “etika politik” sebagai sesuatu yang dikesampingkan. Kedua, nampak jelas bahwa remodelasaun ini hanya mendasarkan diri pada kepentingan para elit politik saja bukan berdasarkan kepentingan rakyat banyak. Ketiga, remodelasaun hanya berisi tentang “politik bagi-bagi kue kekuasaan” di antara para elit politik. Keempat, dapat dipastikan bahwa berapapun jumlah keseluruhan membru governu yang akan dibentuk, maka orang-orang yang mengisinya adalah para pemain lama. Dengan demikian, remodelasaun ini hanya merombak orangnya, bukan mentalitasnya.
Fakta politik yang sedang berlangsung, pada akhirnya melejitimasi ungkapan bernada pesimis sebagian orang: “Hanesan deit, Maun!” Meskipun begitu, di tengah-tengah lautan pesimisme ini, tentunya kita tetap berharap, semoga pemerintahan baru yang akan dibentuk betul-betul mampu menyelesaikan beberapa persoalan yang mendasar yang sedang dihadapi rakyat negeri ini. Berharap pada harapan! (Espero com Esperança!) ***