|
VA SAFI'I |
LU-OLO versus TAUR
=
MARI versus XANANA =
POVU SAI
(Rakyat
Menjadi)
AYAM POTONG
By VA SAFI’I
A.
PENDAHULUAN
|
Elit Politik Timor Leste: Generasi Tua |
Dibandingkan dengan Pemilihan Umum Presidensial
(Elição Geral Presidençial) tahun
2007, maka elição 2012 ini terlihat
lebih menarik. Pertama, diikuti oleh 13 kandidat. Kedua, di tengah-tengah berlangsungnya
kampanye, seorang kandidat, Francisco Xavier do Amaral (Proklamador RDTL---Republica Democratica de Timor Leste
tanggal 28 November 1975) meninggal dunia karena sakit. Ketiga, dapat dikatakan
bahwa mayoritas kandidat tersebut adalah para pemain lama dengan konsep lama
yang mewakili kepentingan generasi lama. Keempat, sejak awal telah
diprediksikan bahwasannya kandidat yang akan masuk dalam putaran kedua adalah berkisar
antara Francisco Guterres Lu-Olo, Taur Matan Ruak, Ramos Horta dan Fernando Lasama
de Araujo. Kelima, dana subsidi untuk kanndidat yang baru dicairkan setelah
proses pemilihan umum berakhir. Keenam, bahwa banyak warga negara yang memiliki
hak pilih yang tidak menggunakan hak pilihnya karena terganjal dengan
Undang-Undang Pemilihan Umum yang mengharuskan untuk memilih dilokasi di mana
Kartaun Elektoral dikeluarkan serta tidak difasilitasinya bagi warga negara
yang berada di luar negeri (lebih dari 100 ribu pemilih tidak menggunakan hak
pilihnya dari total daftar pemilih yang berjumlah 626.503).
Hal menarik lainnya adalah
kekalahan telak kandidat incumbent
Ramos Horta dan Fernando Lasama de Araujo yang suaranya sekitar 80 ribu suara
(17%). Kekalahan Horta sendiri lebih banyak disebabkan tidak adanya dukungan
politik dari Xanana Gusmão dengan CNRT-nya sebagaimana yang pernah dia dapatkan
pada pemilu 2007. Sementara itu, kekalahan Lasama lebih banyak dipengaruhi oleh
beralihnya dukungan massa Partido Demokratico
kepada kandidat Taur Matan Ruak, Lucas da Costa, serta para simpatisan PD yang
tinggal di Dili yang tidak bisa pulang kampung. Serta faktor investasi politik
dan etika politik versi masyarakat Timor-Leste.
Akhirnya, elisaun jeral yang digelar pada
tanggal 17 Maret lalu berakhir dengan dilanjutkan pada segundo ronde karena tidak adanya pemenang mutlak, yakni antara
Francisco Guterres Lu-Olo dengan perolehan suara lebih dari 133 ribu (28%) dan
Taur Matan Ruak dengan perolehan suara lebih dari 119 ribu (25%).
Sejak awal, penulis sendiri
telah memperkirakan bahwa Lu-Olo yang dicalonkan oleh FRETILIN (Frente
Revolucionario de Timor Leste Independente) akan
masuk pada putaran kedua. Prediksi ini bertentangan dengan pandangan banyak
kalangan yang menyatakan bahwa Lu-Olo tidak akan masuk putaran kedua karena suara
FRETILIN akan terpecah-pecah, yakni lari ke Taur, Rogerio Lobato, dan Jose Luis
Gutteres.
Terkait
dengan lolosnya Francisco Guterres Lu-Olo dan Taur Matan Ruak ke putaran
selanjutnya, telah banyak menimbulkan rumor di tengah-tengah masyarakat bahwa
pertarungan di antara keduanya merupakan pertarungan antara “bandar judi utama”
yang bernama Mari Al-katiri versus José Alexander Kay Rala Xanana Gusmão. Ini
merupakan pertarungan “balas dendam” di antara kedua tokoh tersebut terkait
dengan perbedaan peran sejarah di masa lalu serta pandangan politik.
Mari Al-katiri merupakan
salah satu tokoh utama selain Francisco Xavier do Amaral, Nicolau Lobato, Ramos
Horta, Rogerio Lobato, Vicente Sahe, dan lain-lain di awal-awal kemerdekaan
Timor Leste tahun 1975. Sementara itu, Xanana Gusmão yang peranannya kurang
seberapa menonjol dan di luar lingkaran kelompok tersebut adalah figur sentral
yang dominan pada era 1980-an pasca meninggalnya tokoh-tokoh lingkaran ‘75’.
Secara fisik, antara Mari Al-katiri dengan Xanana tidak pernah bertemu pasca
invasi Indonesia hingga digelarnya referendum 1999.
Sejak awal, kelompok Mari
Al-katiri diidentifikasi sebagai golongan yang secara politik berideologi kiri
(baik sebagai komunis atau sosialis hingga hari ini tidak jelas). Peranan
sentral Mari Al-katiri mulai menipis ketika ia berada di luar negeri, yang
artinya mulai kehilangan kontrol/kendali terhadap organisasi FRETILIN di lima
tahun pertama serangan militer Indonesia.
Sedangkan Xanana sendiri,
yang meskipun turut membidangi lahirnya Partido
Marxismo-Leninismo (PML) FRETILIN pada awal era 1980-an, ia, muncul sebagai
salah satu tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan pasca hancurnya kekuatan FRETILIN
akibat gempuran militer Indonesia, lebih-lebih pasca tewasnya Nicolou Lobato
pada tahun 1978.
Dengan melihat situasi
serta kondisi gerakan perlawanan yang tercerai-berai, maka sebagian pemimpin perlawanan
pada waktu itu memandang perlu membentuk wadah baru guna mengorganisir kembali
perlawanan dengan membentuk CRRN (Conselho Revolusionario da Resistensia Nacional)
pada bulan Maret 1981. Perlunya politik persatuan, kemudian mendorong Xanana
untuk melakukan reorganisasi dan restrukturisasi dengan tujuan utama untuk mempersatukan
semua orang Timor-Leste baik yang masih tinggal di Timor-Leste maupun di luar
negeri (Indonesia, Australia, Portugal, dll) yang berkeinginan untuk merdeka
dan melepaskan diri dari penjajahan Indonesia. Dengan sendirinya, lahirnya CRRN
ini menegasikan/menghilangkan peranan FRETILIN dalam perjuangan.
Selain itu, dengan
dipakainya istilah ‘Revolucionario,’ CRRN kurang dapat diterima oleh
kekuatan politik lainnya, seperti dari kalangan gereja dan para pemimpin UDT (União Democratico
Timorense), João Carascalão, yang bermukim di Sidney, Australia.
Kelompok ini berpandangan bahwa istilah tersebut berkonotasi kiri atau ada
hubungannya dengan ideologi komunisme. Sebagai respon, agar persatuan rakyat
Timor-Leste dapat terwujud dan perlawanan dapat berlangsung efektif, maka para
pemimpin perlawanan seperti Xanana Gusmao, Mahuno, Hodu Ran Kdalak, Bere
Malailaka, Konis Santana, Taur Matan Ruak, Lere Anan Timor, David Alex, dan
lain-lain memutuskan mendirikan CNRM (Conselho
Nacional da Resistençia Maubere) pada tahun 1988. Konsekuansi dari
disepakatinya wadah baru bernama CNRM, maka FALINTIL (Forças Armadas da libertação Nacional de Timor Leste) pun dipaksa
untuk “memutuskan hubungan kepartaian” (despartidarização) dari FRETILIN
dan menjadi “angkatan bersenjata nasional” di bawah pimpinan CNRM.
Dibubarkannya CRRN dan
didirkannya CNRM, tidak serta-merta diterima oleh kelompok-kelompok politik
sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka beranggapan bahwa istilah ‘maubere’
identik dengan FRETILIN sayap kiri. Akhirnya, setelah dilakukannya serangkaian
diskusi dalam kalangan Dewan Tertinggi Perlawanan, maka diputuskan untuk
membentuk wadah baru dengan nama CNRT (Concelho Nacional da Resistênçia
Timorense/Dewan Nasional
Perlawanan Bangsa Timor) pada tahun 1998.
Dibentuknya CNRT juga
menimbulkan penentangan dari para pemimpin di dalam negeri, seperti sikap yang
ditunjukkan oleh Nino Konis Santana beserta kelompoknya. Meskipun mendapat
penentangan, CNRT tetap dibentuk dan dijalankan dengan pertimbangan bahwa
situasi dan kondisi mengharuskan fase ini untuk dilalui.
Dengan demikian, oleh
kalangan FRETILIN, Xanana diidentikkan sebagai orang yang telah menghancurkan FRETILIN
bersama para pengikutnya. Maka tidak heran, jika di era kemerdekaan ini, suhu
permusuhan antara orang-orang FRETILIN dengan orang-orang CNRT yang dimotori
oleh Xanana masih terus terasa dan berlanjut, walaupun Xanana mencoba mengubah
singkatan huruf ‘R’ dari Resistênçia menjadi Recontrução.
Secara
teoritis, dapat saja dikatakan bahwa elisaun jeral 2012 merupakan bagian
terpenting dari konsep demokrasi partisipatif (dalam konteks demokrasi liberal)
yang mencoba diterapkan di negeri ini. Namun, realitas politik menunjukkan
bahwa elijer kali ini telah menjelma menjadi arena pertarungan ‘futu manu’
(sabung ayam) antara Mari Al-katiri dengan Lu-Olo-nya bersama kelompoknya melawan
Xanana Gusmão dengan Taur Matan Ruak-nya bersama dengan kelompoknya.
Ini
merupakan pertarungan penghabisan (titik darah penghabisan) bagi kedua kelompok
tersebut. Sebuah pertarungan yang terkait dengan peranan di masa lalu.
Pertarungan menyangkut harga diri dari keduanya. Pertarungan menyangkut eksistensi
kedua figur tersebut serta “dinasti” mereka di masa yang akan datang. Maka,
cerah dan gelapnya masa depan mereka akan sangat ditentukan oleh masa atau
periode 2012-2017 ini.
Jika
saja, rumor tentang pertarungan balas dendam ini benar-benar dan sedang
terjadi, maka yang menjadi ayam potongnya adalah rakyat. Slogan demi ‘povo’
dipakai sekedar untuk dijadikan sebagai bahan penarik perhatian povu
agar mau terlibat dalam arena pertaruhan joga futu manu. “Dukung dan
pilih kami, karena kami adalah ‘jenderal’ pejuang kemerdekaan yang
sejati/original. Dan hanya kami yang paling pantas memimpin negeri ini.”
Jika
rumor ini benar-benar ada, sesungguhnya ‘pesta demokrasi’ yang selalu
dikampanyekan sebagai ‘pestanya’ rakyat, dalam konteks ini hanyalah sebuah
kegiatan politik penghambur-hamburan uang rakyat. Sebuah anggaran yang akan
lebih memberikan benefiço bila diperuntukkan untuk pembangunan
kesejahteraan rakyat. Sedangkan untuk penyelesaian ‘politik gengsi’ dapat
dilaksanakan dalam lingkaran meja dengan tidak melibatkan rakyat yang
sesungguhnya tidak tahu apa-apa.
B.
SEJARAH SUMBER KEKUATAN SOSIAL POLITIK DI TIMOR LESTE
|
Presiden ASDT-FRETILIN, Xavier do Amaral saat ditangkap militer Indonesia 1978 |
Secara
historis, kekuatan sosial politik modern di Timor-Leste terbagi dalam dua
kekuatan besar, yakni FRETILIN (ASDT-FRETILIN) dan CNRT. FRETILIN dibentuk sebagai sebuah kebutuhan untuk
menghadapi invasi Indonesia serta gerakan kontra revolusi kemerdekaan yang
dilakukan oleh UDT (União Democratico Timorense), APODETI (Associação Popular Democratico de Timor), dan KOTA (Klibur Oan Timor Aswain).
Sebagai sebuah organisasi yang berbentuk ‘frente,’ di mana ASDT (Associação Social
Democrata Timorense) sebagai kekuatan utamanya, sudah pasti di
dalam organisasi FRETILIN
diwarnai dengan adanya friksi dan faksi. Tiga faksi terbesar saat itu adalah
ASDT-Mari dan Horta cs, ASDT-Xavier do Amaral, dan FALINTIL-Lobato. Kuatnya
tekanan militer Indonesia menjadikan ketiga faksi tersebut tercerai-berai.
Fase
pengkonsolidasian Fretilin dimulai kembali pada awal ’80-an. Namun konsolidasi
ini tidak berlangsung lama, seiring dengan munculnya pemimpin perlawanan baru
di luar ketiga faksi tersebut, yakni Xanana Gusmão dengan konsep ‘unidade
nasional’-nya. Situasi ini makin diperparah semenjak dipisahkannya FALINTIL
dari FRETILIN, serta
seiring dengan mulai tersingkirnya orang-orang FRETILIN dari FALINTIL, dan masuknya orang-orang
CNRT ke FALINTIL.
Gerakan
pembebasan nasional Timor-Leste yang pada awal-awal proses invasi Indonesia,
yang lebih banyak didominasi oleh pemikiran kiri/eskerda (komunisme,
sosialisme, sosialisme demokrasi), di mana pemikiran ini banyak tertampung di
organisasi ASDT dan FRETILIN, memasuki
tahun-tahun 1980-an mulai berhadapan dengan faham progresif (tengah) anti
kolonialisme, yakni nasionalisme yang dipelopori oleh Xanana Gusmão beserta
Abilio de Araujo. Tercerai-berainya kekuatan kiri (akibat banyaknya figur-figur
intelektual mereka yang menyerah atau meninggal oleh serangan militer Indonesia),
seperti serta ketidakberdayaan mereka menghadapi masuknya gelombang faham
nasionalisme ala Xanana. Sementara itu, pada saat yang bersamaan, Mari
Al-katiri dan Ramos Horta yang berada di luar negeri, praktis kehilangan
kontrol terhadap orang-orang dan organisasi FRETILIN. Nasib kedua tokoh ini mirip dengan kepala
tanpa tubuh; atau otak tanpa kepala.
Sepanjang
sejarah perkembangan organisasi perlawanan Timor-Leste menunjukkan kepada kita mengenai
betapa besar dan dominannya peranan Xanana Gusmão sejak awal tahun 1980-an
hingga 1999. Figur Xanana mampu tampil sebagai sosok sentral hampir dalam
segala hal. Kita juga dapat menyaksikan, bagaimana seorang Xanana secara
pelan-pelan mampu menyingkirkan peranan dan eksistensi organisasi Fretilin dalam
pengambilan keputusan terkait dengan strategi dan taktik perjuangan, dimulai
dari pembentukan CNRN hingga CNRT.
Intinya,
Xanana dengan organisasi bentukannya mampu mengambil alih “legalitas”
perjuangan kemerdekaan nasional dari tangan Fretilin, dengan tetap memasukkan
slogan-slogan Fretilin yang “terlanjur” populer di kalangan massa. Penangkapan
Xanana tanggal 20 November 1992 dan penahanannya oleh pihak pemerintah
Indonesia di Cipinang, makin menempatkan figur mantan Presidente da Republica periode
2002-2007 ini sebagai “satu-satunya” pemimpin resistensi modern Timor-Leste. Kondisi
inilah yang pada akhirnya membentuk karakter dan tipekal politik Xanana saat
ini.
Sementara
itu, FRETILIN sendiri baru
dapat dikonsolidasikan kembali sebagai sebuah organisasi sosial-politik dengan
status legal-formal pada awal-awal kemerdekaan (pasca referendum 1999).
Pengkonsolidasian ini melibatkan orang-orang FRETILIN n Lama (sisa-sisa generasi 1975---khususnya
pemimpin-pemimpin FRETILIN yang
era Indonesia berada di luar negeri) dengan orang-orang FRETILIN Baru (anak-anak FRETILIN yang notabene dibesarkan oleh
politik Xanana). Pengkonsolidasian awal ditandai dengan keikutsertaan FRETILIN dalam pemilihan umum pertama pada tahun 2001
(Asembleia Konstituante), serta dominasi kekuatannya dalam pembentukan
pemerintahan hingga tahun 2007.
Di
awal-awal kekuasaannya, Pemerintahan FRETILIN menghadapi ketidakstabilan politik nasional
dengan meletusnya peristiwa 4 Desember 2002 yang berdampak pada pembakaran
rumah kediaman Mari Al-katiri yang menjabat sebagai Perdana Menteri. Dalam
perkembangannya, pemerintahan FRETILIN terus diwarnai dengan berbagai macam protes dan ketidakpuasan dari
individu-individu atau kelompok non-FRETILIN, termasuk protes dari kalangan Gereja yang mengorganisir
umat/jema’atnya untuk melakukan demontrasi selama hampir 1 bulan di pertengahan
tahun 2005. Dan puncak dari ketidakpuasan ini berakhir dengan digulingkannya pemerintahan
FRETILIN - Mari Alkatiri dari
kursi kekuasaannya pada bulan Mei 2006 yang dipicu dengan konflik internal ditubuh
institusi militer FALINTIL-FDTL. Selain itu, kelompok-kelompok soSial politik
non-FRETILIN, dalam rangka
mendelejitimasi pengaruh FRETILIN
pada massa rakyat, selalu menggunakan issu bahwa “FRETILIN adalah partai bersejarah. Untuk menjaga
nama dan kesucian FRETILIN,
maka seharusnya memasukkan FRETILIN dalam museum.”
Selama
proses pengkonsolidasian FRETILIN, tidak
semata-mata dibenturkan pada persoalan eksternal saja, melainkan juga
menghadapi gejolak internal. Sejak permulaan dideklarasikan sebagai partai legal-formal,
partai historis dibawah kepemimpinan Francisco Gutteres “Lu-Olo” dan Mari
Al-katiri ini juga dihadapkan pada perpecahan internal organisasi, yakni adanya
tuntutan gerakan perubahan (mudança) dalam tubuh FRETILIN, khususnya mudansa terhadap kepemimpinan
Lu-Olo – Mari Al-katiri. Kelompok mudança yang dipimpin oleh Jose Luis
Gutteres ini (salah satu kandidat presiden 2012), pada akhirnya menyatakan
keluar dari FRETILIN dengan
mendirikan organisasi baru: Frente Mudança (Front Perubahan).
Penentangan
terhadap FRETILIN semakin
menemukan bentuknya, ketika dalam Kongres Nasional tahun 2006, Mari Al-katiri
tetap terpilih sebagai Secretario Geral-nya. Keadaan ini, memicu Xanana
Gusmão untuk menghidupkan kembali CNRT pada tahun 2007. Tentu tidak ada jalan
lain bagi Xanana untuk membendung arus “influensia” FRETILIN dan Mari Al-katiri selain dengan menghidupkan
dan menggunakan CNRT sebagai kendaraan politiknya. PD yang proses
pembentukannya juga diarsiteki oleh Xanana, tidak mampu tampil sebagai kekuatan
alternative untuk menandingi FRETILIN.
Ketegangan
politik di antara dua figur nasional (Mari dan Xanana) ini semakin memuncak
seiring dengan kalahnya Lu-Olo oleh Ramos Horta dalam elisaun jeral
presidensial 2007 pada putaran kedua. Kemenangan Ramos Horta dalam Pemilu 2007
tersebut tidak lepas dari dukungan politik yang diberikan oleh Xanana Gusmao.
Tingkat
antipati dan kebencian orang-orang FRETILIN terhadap Xanana juga semakin menemukan
formatnya terkait dengan proses pembentukan pemerintahan baru, di mana tidak
ada sebuah partai pemenang mutlak dalam Elição Geral Parlementer 2007. FRETILIN, meskipun menang, tapi tidak memenuhi
persyaratan minimal mayoritas sederhana (maioria simples---50%+1 kursi) karena
hanya mendapatkan 21 kursi, sedangkan perolehan CNRT sendiri hanya 18 kursi.
Dengan memanfaatkan “interpretasi bebas” atas Konstitusi RDTL, maka Xanana
melalui CNRT melakukan aliansi politik dengan partai lain seperti PD, PSD
(Partai Sosial Demokrasi), ASDT, dan lain-lain untuk membentuk pemerintahan
baru dengan nama AMP (Aliança Maiora Parlementar) dengan Xanana sebagai
Primeiru Ministru.
Kemenangan
Xanana ini direspon “negative” oleh FRETILIN. Reaksi keras sebagai wujud perlawanan
terhadap Xanana dilakukan oleh massa pendukung FRETILIN dengan cara membakar rumah para simpatisan
partai non-FRETILIN (kasus
terbesar terjadi di Distritu Viqueque dan Baucau). Sementara dari kalangan elit
FRETILIN menyatakan bahwa
Pemerintahan AMP adalah inskontitusional (sikap ini tidak konsisten dilakukan oleh
FRETILIN). Simbol-simbol lain
perlawanan massa pendukung FRETILIN terhadap Xanana-AMP dapat kita lihat, bagaimana hampir selama 5 tahun
terakhir ini, bendera-bendera FRETILIN dikibarkan dihampir semua gang, jalan, perumahan dan pepohonan ibukota
Dili.
Kembali
ke topik, lalu, seberapa besar dan darimana kekuatan kedua kandidat presiden
dalam elição geral 2012 pada putaran kedua yang rencananya akan diselenggarakan
pada tanggal 16 April tersebut berasal?
Diputuskannya
Presidente FRETILIN, Francisco
Guterres “Lu-Olo” sebagai kandidat presiden dalam elição geral 2012 bukanlah
tanpa melalui perdebatan yang melelahkan. Sebelumnya, yakni beberapa minggu
setelah Taur Matan Ruak menyatakan rezigna (mundur) dari jabatannya sebagai Comandante
Em Chefe (Panglima) das Falintil-FDTL, terdengar kabar bahwa kelompok Taur
Matan Ruak telah melakukan lobi politik kepada para anggota Comite Central FRETILIN dengan maksud untuk mendapatkan dukungan
politik dari FRETILIN pada
elição geral presidential 2012.
Sumber
dari CCF juga menyatakan bahwa penolakan FRETILIN terkait dengan proposal Taur tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa Taur Matan Ruak memiliki “permasalahan di
sektor barat/loromonu” berkenaan dengan krize 2006. Realitas menunjukkan
bahwa FRETILIN juga memiliki basis
pendukung yang kuat di distrik-distrik yang berada di area loromonu.
Diperkirakan, bila FRETILIN
menjadikan Taur Matan Ruak sebagai kandidat resminya, maka akan banyak
simpatisan FRETILIN yang berada
di sektor barat/loromonu akan mengalihkan dukungannya pada Fernando de Araujo
“Lasama” yang merupakan kandidat PD. Serta berbagai pertimbangan lainnya.
Maka,
solusi FRETILIN dalam
merespon proposal kubu Taur tersebut adalah menolak Taur Matan Ruak sebagai
kandidat FRETILIN dan
mencalonkan Lu-Olo sebagai kandidat resmi FRETILIN.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa 133.635 suara atau 28,76 persen yang didapat
oleh Lu-Olo dalam putaran pertama adalah murni berasal dari massa pendukung FRETILIN. Perolehan suara ini menurun drastis jika
dilihat dari prediksi CCF (Comite Central FRETILIN) yang memperkirakan mendapatkan suara di
atas 250 ribu suara. Jika prediksi ini benar, lalu kemana larinya sekitar 121
ribu suara pendukung FRETILIN
tersebut?
Dari
hasil observasi penulis bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi
sumber penyebab hilangnya suara pendukung FRETILIN terhadap Lu-Olo, yakni pertama, ada
simpatisan FRETILIN, khususnya
para veteran yang mendukung Taur Matan Ruak. Kedua, ada simpatisan FRETILIN yang mendukung kandidat Rogerio Lobato dan
Jose Luis Guterres. Ketiga, banyak simpatisan FRETILIN yang tidak menggunakan hak pilihnya
(khususnya yang tinggal di Dili) karena permasalahan perundang-undangan (para
pemilih hanya bisa memilih di daerah tempat Kartu Tanda Penduduk atau Cartão
Electoral dikeluarkan) dan bagi para warga negara RDTL yang saat ini berada
di luar negeri yang jumlahnya sekitar 15 ribu juga tidak dapat menggunakan hak
pilihnya karena institusi pemilihan CNE (Comissão Nacional de Eleições) dan
STAE (Secretariado Tecnico da Administração Eleitoral) tidak
memfasilitasi mereka dengan berbagai alasan. Keempat, ada pemilih Lu-Olo/
FRETILIN yang salah memilih atau
suaranya dinyatakan tidak sah (kalangan orang tua/manula).
Sementara
itu, untuk Taur Matan Ruak, bahwa 119.462 suara atau 25,71 persen yang didapat kemungkinan
besar berasal dari berbagai unsur kelompok politik, seperti sebagian besar
massa CNRT, sebagian kecil massa PD, golongan veteran FALINTIL non FRETILIN-Lobato, PST (Partido Socialista de Timor),
PSD (Partido Sociál Democrata), ASDT versi Gil Alves serta simpatisan
Xanana Gusmao lainnya. Meskipun Taur mendeklarasikan diri sebagai kandidat
personal (independente), dapat dikatakan bahwa penyumbang suara terbesar
berasal dari massa pendukung CNRT.
Kesimpulannya
adalah bahwa dalam “combate im primeiro ronde” antara Lu-Olo (Mari
Al-katiri) versus Taur (Xanana Gusmão) ini dimenangkan oleh Lu-Olo (Mari). Pada
level ini, hegemoni dan pengaruh Mari Al-katiri dengan FRETILIN-nya masih terlihat lebih dominan
dibandingkan Xanana dengan CNRT-nya. Tentu, komposisi ini akan dapat berubah
ketika memasuki fase segundo ronde.
C. KOMPOSISI KEKUATAN KANDIDAT PRESIDEN PASCA PRIMEIRO RONDE
|
Anggota CPD-RDTL: FRETILIN MOVIMENTU |
Saat
ini (menjelang pelaksanaan pemilihan tahap kedua pada 16 April) terasa sekali
adanya perbedaan nuansa dan suhu politik dibandingkan saat menjelang putaran
pertama pada 17 Maret lalu. Pada primeiro ronde, “keramaaian atau
hingar-bingar politik (movimento actividade politicos)” sangat terasa.
Berbagai macam alat mempromosikan kandidat, begitu nampak. Kota Dili, dan
kota-kota distrik dipenuhi dengan spanduk, poster serta berbagai alat
propaganda lainnya. Sementara itu, memasuki masa kampanye segundo ronde ini, terasa
sangat “adem-ayem (calma)” atau “hening.”
“Keheningan”
ini hampir mirip dengan diri kita ketika diserang oleh nyamuk (penyakit)
malaria: panasnya membuat tubuh menggigil dan dinginnya juga membuat tubuh
terasa menggigil. Atau bagai hamparan lautan, di mana pada permukaan tak
terlihat riak gelombang yang besar, namun di bawahnya terdapat pusaran yang
terus berputar (dulas tun, dulas sai), yang setiap saat menyedot segala
sesuatu yang melintas di atasnya.
Kondisi
yang “tenang namun menegangkan” ini, juga tidak terlepas dari banyaknya isu
atau rumor yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lebih-lebih, ketika
dikaitkan dengan munculnya banyak spekulasi politik: “apa yang akan terjadi
jika salah satu dari dua kandidat tersebut kalah.”
Selain
itu, perbedaan nuansa ini juga tak terlepas pada beberapa faktor atau variable
sebagai berikut: pertama, pada pemilihan umum tanggal 17 Maret diikuti
oleh 12 kandidat, sedangkan pada putaran kedua ini hanya diikuti oleh 2
kandiddat saja. Kedua, pada putaran pertama banyak menyebar spekulasi
politik terkait dengan meninggalnya salah satu kandidat, yakni Xavier do
Amaral, khususnya terkait dengan keberadaan massa pendukungnya. Ketiga,
masyarakat mengalami semacam “teror atau intimidasi psikologis” dalam dirinya:
“suka atau tidak suka, bahwa salah satu dari dua kandidat (Lu-Olo dan Taur)
akan keluar menjadi pemenang dan sebagai Presidente da Republica.” Keempat,
jika pada putaran pertama “psy war” sangat varian dengan sasaran 12 kandidat,
sedangkan memasuki putaran kedua ini “psy war” terjadi hanya antara dua
kandidat. Kelima, apa yang akan terjadi apabila salah satu dari dua
kandidat tersebut tidak terpilih? Keenam, seberapa besar pengaruh hasil
pemilihan presiden ini terhadap pemilihan anggota Parlemen Nasional beserta
komposisi pemerintahan baru? Ketujuh, dan sebagainya.
Terkait
dengan peta dan komposisi kekuatan, terdapat fenomena dan indikasi yang menarik
yang bakal terjadi dalam putaran kedua Elição Geral Presidençiais 2012
ini. Fenomena ini, tidak semata-mata
berhenti pada pemilihan presiden saja, melainkan akan terus berlanjut dan
berdampak pada pemilihan umum parlementer yang rencananya diselenggarakan pada
bulan Juni tahun ini, serta menyangkut nasib figur-figur generasi ’75 dan
lingkarannya.
Sebuah
manuver penting terjadi pada tanggal 21 Maret lalu, di mana dua kandidat yang
tersingkirkan pada primeiro ronde (Jose Ramos Horta dan Fernando De
Araujo “Lasama”) melakukan press conference di Hotel Timor yang intinya
menyatakan bahwa Ramos Horta akan mendukung PD dalam elição geral parlementer 2012. Horta
dan Lasama juga sepakat akan membangun sebuah koalisi dalam pembentukan
pemerintahan baru. Selain itu, keduanya menyatakan belum menentukan sikap
dukungan terhadap kedua kandidat di segundo ronde.
Press conference tersebut menjadi sebuah fenomena yang menarik
untuk dicermati mengingat jumlah total perolehan suara kedua kandidat tersebut
sekitar 161.612 suara atau 34,78 persen (Horta dengan 81.231 suara/17,48%,
sedangkan Lasama dengan 80.381 suara/17,30% berdasarkan siaran pers resmi dari
CNE tanggal 22 Maret 2012).
Masih
terkait dengan manuver politik kedua kandidat ini, maka pada tanggal 29 Maret
ini, keduanya melakukan pertemuan politik di kediaman almarhum/matebian
Francisco Xavier do Amaral di Marabean (Dili) bersama-sama dengan kandidat
presiden tersingkir lainnya, Abilio de Araujo (Presidente Partido Nacional
de Timor/PNT) yang dalam putaran pertama mendapatkan dukungan sebanyak
6.294 suara atau 1,35 persen.
Sementara
itu, Lasama dengan PD-nya juga melakukan sebuah konferensi pers di Sekretariat
Nasional PD tanggal 29 Maret yang intinya menyatakan bahwa secara
organisasional PD tidak memutuskan untuk mendukung Lu-Olo atau Taur, tetapi
memberikan kebebasan secara penuh kepada para pemilih Lasama di putaran pertama
dan para simpatisan PD untuk menentukan pilihannya sendiri pada segundo
ronde.
Hal
menarik lainnya adalah kedua figur tersebut secara historis memiliki
keterkaitan secara emosional dengan Fretilin. Ramos Horta sendiri merupakan
salah satu dari pendiri ASDT- FRETILIN tahun 1975 serta memiliki hubungan khusus dengan Mari Al-katiri,
sedangkan Lasama selalu menyatakan diri sebagai orang yang memiliki semangat FRETILIN. Di sisi yang lain, kedua orang ini juga
memiliki hubungan emosional dan politik dengan CNRT, khususnya Xanana. Dengan
Xanana Gusmão, baik Horta dan Lasama, sama-sama memiliki hutang jasa politik
selama periode 5 tahun terakhir ini (Horta didukung sebagai presiden 2007, dan
Lasama didukung sebagai Presiden Parlemen Nasional serta “kebebasan tanpa
teguran” terhadap orang-orang PD yang mendapatkan jatah kursi ekskutif di pemerintahan
AMP). Meskipun pada akhirnya, baik Horta maupun Lasama sama-sama merasa
“dikhianati” oleh Xanana mengingat Xanana lebih mendukung Taur Matan Ruak
sebagai kandidat presiden 2012. Untuk Abilio de Araujo sendiri, secara
emosional dan politik memiliki hubungan dengan FRETILIN, dan dengan Xanana terkait dengan politiknya
di tahun 1980-an yang mempelopori gerakan rekonsiliasi nasional (unidade
nasional dan nasionalisme).
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manuver yang dilakukan oleh beberapa
elit politik tersebut merupakan sebuah gaya diplomasi ala Horta untuk sebuah bargaining
position baik kepada Xanana maupun Mari Al-katiri serta mengembalikan citra
dirinya yang mulai luntur akibat kekalahannya dalam putaran pertama. Selain
itu, beberapa statemen politik Ramos Horta akhir-akhir ini, cenderung mengarah
pada pembentukan citra dirinya sebagai sosok negarawan, ciri-ciri pemimpin yang
tidak dimiliki oleh kedua kandidat yang avanza/melaju ke segundo
ronde.
Sedangkan
bagi Fernando Lasama sendiri, ini merupakan sebuah perwujudan sikap yang
dilematis. Secara emosional politik, ia tidak bisa melepaskan diri dari ikatan
persaudaraan politik dengan Xanana. Tetapi, pada saat yang bersamaan, ia juga
tidak bisa memungkiri/membohongi nuraninya kalau Xanana selaku saudara tua “maun
bo’ot-nya” sudah menyakiti perasaannya. Dengan demikian, bagi PD, khususnya
Lasama, dihadapkan pada kondisi yang krusial. Krusial karena menyadari jika
pilihan dukungan secara organisasional diberikan pada salah satu kandidat, maka
akan berdampak pada perolehan suara PD pada pemilihan umum parlementer.
Kekecewaan
yang ditimbulkan oleh sikap Xanana tersebut, secara psikologis telah membawa
Lasama untuk mendukung Lu-Olo. Tetapi, kondisi psikologis ini dibenturkan pada realidade
politico, di mana Lasama dan PD hingga detik ini belum bisa keluar dari
pengaruh atau hegemoni Xanana. Singkatnya, Lasama dengan PD-nya berada pada
posisi “la bok’an”: maju kena, mundur pun kena, dan ke samping juga
kena. Mendukung Lu-Olo berarti harus berhadapan dengan Xanana; mendukung Taur,
berarti harus siap untuk ditinggalkan lagi oleh Xanana; serta jika bergabung
dengan Ramos Horta berarti harus siap kalau kakinya diberi taji untuk dijadikan
sebagai manu/ayam/jago dalam arena “futu politico” oleh Horta. Lasama
yang berdarah, Horta yang colheta/panen dagingnya.
Faktor
lain guna menghitung kekuatan dan besaran peluang dari dua kandidat presiden
(Lu-Olo dan Taur) adalah unsur primodialisme (regionalism), yakni
lorosa’e/timur dan loromonu/barat. Di Timor-Leste, variable ini relative tidak
konsisten, artinya dalam kondisi tertentu bersifat mempengaruhi/influença,
tetapi dalam situasi yang berlainan bersifat menentukan/diterminante.
Sebagaimana
kita ketahui, bahwa sepanjang sejarah perkembangan masyarakat Timor-Leste,
persoalan lorosa’e dan loromonu merupakan persoalan yang bersifat laten
(sesekali hilang, sesekali muncul). Persoalan regionalismo ini sudah terbentuk
seiring dengan praktek kolonialisme Portugis. Ini semakin menguat, ketika era
pendudukan Indonesia juga dimanfaatkan untuk memuluskan intereste politico
Jakarta.
Di
era kemerdekaan, isu primodial, yang kemudian lebih mengarah pada pembagian
wilayah (regionalismo) antara Timor-Leste wilayah barat (Distrik Oequsi,
Bobonaro, Covalima, Liquisa, Ermera, Dili, Manufahi, Aileo, Ainaro, dan
Manatuto) dengan wilayah timur (Distrik Baucao, Viqueque, dan Lospalos) sempat
mengemuka dan mendapatkan ruang dengan meletusnya konflik 2006. Bahkan hingga
detik ini, perbincangan-perbincangan menyangkut persoalan ini masih sering
terdengar (kadar-nya bersifat fluktuatif).
Intinya
adalah bahwa situasi, konstelasi, dan komposisi politik di Timor-Leste sangat
diwarnai dengan isu tersebut. Jika hal ini dikaitkan dengan keberadaan para
kandidat presiden, maka dari 12 kandidat plus Almr. Xavier do Amaral, mayoritas
berasal dari wilayah Timor-Leste bagian barat. Sementara dari semua kandidat
yang lolos pada putaran kedua (Lu-Olo dan Taur) sama-sama berasal dari wilayah
timur: Lu-Olo (Distrik Viequeque) dan Taur (Distrik Baucau). Menariknya lagi,
keduanya berasal dari dua suku bangsa (etnik) yang berbeda, yakni Lu-Olo
(Makasae) dan Taur (Nauweti).
Dengan
demikian, dalam konteks regionalism ini, maka rakyat yang tinggal di bagian barat
tidak ada yang mewakili. Pertanyaannya adalah, apakah sentiment kedaerahan ini
akan muncul dan dominan dalam putaran kedua?
Kesimpulan
sementara penulis adalah bahwa pada primeiro ronde, faktor regionalismo
terlihat dominan dan bersifat diterminante. Sedangkan pada segundo ronde,
faktor ini bersifat mempengaruhi saja. Karena bersifat mempengaruhi, maka
tingkat apatisme politik masyarakat bagian barat akan cukup tinggi (ada
kecenderungan bahwa partisipasi dalam pemberian suara akan menurun, mengingat
dari segi kedaerahan, mereka tidak memiliki wakil/representador). Meskipun
begitu, diantara dilematika pilihan ini, ada kecenderungan bahwa pemilih di
bagian barat (loromunu) akan memilih Taur (sebuah peran yang akan dimainkan
oleh Xanana cs).
Kembali
pada topik pembahasan, bagaimana komposisi kekuatan suara kedua kandidat
presiden?
Kandidat
Presiden Lu-Olo dicalonkan oleh FRETILIN. Dalam putaran pertama mendapatkan suara
sebesar 133.635 suara atau 28,76 persen. Ini merupakan suara murni yang berasal
dari massa pendukung FRETILIN.
Memasuki
putaran kedua, Lu-Olo mendapatkan dukungan secara organisasional berasal dari
Bloku Proklamador dengan eks kandidat Rogerio Lobato, Partido KOTA dengan eks
kandidat Manuel Tilman, Partido Trabalista (partai gurem) dan Partido ASDT
versi João Coreira. Secara personal, dukungan diperoleh dari eks kandidat
presiden Maria do Ceu Lopes, eks kandidat Angelita Pires, sebagian pimpinan
Partido KHUNTO, sebagian pimpinan UNDERTIM, sebagian pimpinan CPD-RDTL dan
sebagian pimpinan PD.
Sementara
itu, kandidat presiden Taur Matan Ruak merupakan calon independen, yang
kemudian didukung oleh Partido CNRT dengan Xanana Gusmao, Partido ASDT versi
Gil Alves (aktual Menteri Perdagangan dan Perindustrian), Partido Nasionalista
de Timor dengan eks kandidat Abilio de Araujo, Partido Socialista de
Timor/partai gurem, dan Partido Republica/partai gurem. Sementara itu, secara
personal juga memperoleh dukungan dari sebagian pimpinan PD, UDT, sebagian
pimpinan UNDERTIM, dan PSD.
Terkait
dengan potensi suara mengambang adalah eks kandidat Ramos Horta, eks kandidat
Lasama dengan PD-nya, eks kandidat Jose Luis Guterres dengan Partido Frenti
Mudansa-nya, eks kandidat Lucas da Costa, dan eks kandidat Francisco Gomes
dengan PLPA-nya. Belakangan, Jose Luis Guterres dengan Frenti Mudansa
memberikan dukungan kepada Taur Matan Ruak. Sedangkan Francisco Gomes dengan
PLPA-nya memberikan dukungan politiknya kepada Lu-Olo.
Berikut ini tabel
kekuatan masing-masing kandidat:
Melihat komposisi
tersebut, kedua-duanya memiliki peluang yang sama. Meskipun begitu, peluang
terbesar lebih berpihak kepada Taur Matan Ruak. Melihat pendukung Vloatting
mass yang cukup besar serta variabel unsur regionalism, kemungkinan besar
(prediksi penulis) sebesar 2/3 suara vloating mass akan berpihak kepada Taur,
dan Lu-Olo hanya akan mendapatkan 1/3-nya saja. Variabel lain adalah lobi-lobi politik
terkait dengan komposisi pembentukan pemerintahan pada bulan Agustus yang akan
datang (pasca pemilihan umum parlementer 2012), serta tidak ada jaminannya
bahwa suara lider akan diikuti oleh massa (dalam kasus Timor Leste, terdapat
dinamika yang relative unik dari karakter masyarakatnya: “kamu siapa?”).***