Sejarah Dusun Kowak, Desa Bedingin, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan
By Vladimir Ageu DE SAFI'I
A. Sejarah, Letak dan Tata Pemerintahan Dusun Kowak
1. Asal-Usul Dusun Kowak
Seperti umumnya
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Jawa tempo dulu, penyebutan nama baik
terhadap tempat, orang, tumbuhan, dan sebagainya di dasarkan pada kondisi yang
ada saat itu (mengikuti kehidupan mereka).
“Kowak” adalah istilah Jawa yang artinya “lubang”. Padanan atau istilah Jawa lain yang hamper mirip dengan “kowak” ini adalah “krowak”. Konon, kisah pemakaian istilah “kowak” ini berawal dari tragedi tragis yang dialami oleh pejabat desa di masa lalu, yakni Pak Inggi. Menurut cerita yang beredar dalam masyarakat, ketika itu Pak Inggi sedang dalam perjalanan pulang dari Desa Wanar (Kecamatan Pucuk). Satu-satunya alat transportasi yang berlaku saat itu adalah kuda. Pak Inggi dalam perjalananannya tersebut menggunakan jasa kuda.
Sebelum istilah “kowak” dipakai, nama pedukuhan ini sebelumnya adalah “Wonosari”, di mana “Wono” artinya alas atau hutan, sedangkan “Sari” berarti bunga/kembang. Sebutan wonosari tentu masuk akal mengingat hingga saat ini, sebagian besar wilayah kowak adalah wilayah yang banyak ditumbuhi pepohonan tua dan lebat-lebat. Situs terakhir tentang kelebatan wono ini dapat dilihat dari tempat pemakaman (kuburan), di mana pohon jati dan pohon tua lainnya (kepoh, kesambi, dll) masih ada. Khusus untuk pohon jati tua, saat ini sudah tidak ada lagi karena sekitar pertengahan tahun 1980-an (ketika itu, saya masih duduk di Sekolah Dasar) pada ditebang dan dijual untuk pembangunan Masjid.
Selain di kuburan, situs tua lainnya adalah keberadaan Sumur Kowak yang berada di sebelah timur dusun dengan 2 pohon tua (salobin/selubin) dan sebuah pohon yang bunganya berwarna merah darah, yakni pohon suko. Sumur ini juga dipercaya sebagai sumur keramat.
Di masa lalu, dusun wonosari letaknya tidak di dusun kowak sebagaimana sekarang ini, melainkan di sebelah Timur Laut yang jaraknya sekitar 2 kilometer dan berada di dataran tinggi (secara geografis bertipografi dataran tinggi). Lokasi dusun Wonosari, saat ini dikenal dengan sebutan “Cangkring” dan “Songkro.”
Saat Pak Inggi tiba di dusun Wonosari, tiba-tiba kuda yang kesayangan yang dinaikinya menggigit punggungnya hingga lubang atau “krowak”. Gara-gara kejadian inilah, maka Dusun Wonosari diubah namanya menjadi dusun Kowak.
Bagi Saya sendiri, selaku anak dusun ini, perubahan ini kemungkinan besar tidak semata-mata disebabkan oleh cerita tersebut, melainkan terkait dengan kondisi geografis dan social masyarakat saat itu.
Dalam bahasa Jawa, tetap terjadi perbedaan makna antara “krowak” dengan “kowak”. Kata “krowak” mengandung unsur kesengajaan atau rekayasa. Dalam konteks cerita ini, maka seharusnya kata perubahan yang dipakai adalah “K-R-O-W-A-K”, mengingat ada kegiatan kesengajaan yang dilakukan oleh si kuda (dilubangi secara sengaja dengan waktu yang relative singkat).
Sementara itu, kata “kowak” mengandung unsur alamiah. Artinya, proses pelubangannya berjalan secara natural dan memakan waktu yang relative lama. Jika istilah ini yang dipakai, maka penyebutan dusun Kowak mengandung makna terjadinya perpindahan penduduk dari dataran tinggi (hutan belantara dan atau tegalan) ke dataran rendah (area terbuka dan atau persawahan). Perpindahan ini bisa disebabkan faktor perubahan pola produksi, yakni dari masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan ke pola produksi hasil pertanian sawah.
Namun jika
ditinjau dari segi pandang mistik, maka kepindahan dari wonosari ke kowak ini
dilatarbelakangi oleh tingkat kepercayaan spiritual masyarakat. Anggapan ini
didasarkan pada istilah “songkro” dan “cangkring” yang hingga detik ini masih
dianggap sebagai tempat yang angker, yakni banyak dihuni oleh mahluk halus
(jin, setan, gandaruwo, kuntilanak, abahan, dan mahluk pengganggu manusia
lainnya). Asumsinya adalah masyarakat pindah untuk menghindari area wono/hutan
yang banyak dihuni oleh mahluk halus dan jahat.
Kisah tentang asal-usul dusun Kowak akan semakin menarik bila hal ini dikaitkan dengan cerita tragisnya Pak Inggi. Bagaimana ada sebagian kecil orang yang beranggapan bila kudanya Pak Inggi saat itu sedang kerasukan mahluk halus sehingga menggigit hingga “krowak” punggungnya Pak Inggi. Karenanya, sebagai konsekuensinya, penduduk harus dipindahkan ke tempat yang lebih terang “kowak” jika tidak ingin mengalami hal yang serupa.
2. Letak dan Tata Pemerintahan Dusun Kowak
Kowak adalah salah
satu dusun (dusun-dusun lainnya adalah Dusun Binorong, Dusun Bedingin, Dusun
Pedukuhan Dingin, dan Dusun Puripan (atau lebih popular disebut “Ndengkeng”)
yang menjadi bagian dari wilayah administrative Desa Bedingin, Kecamatan Sugio,
Kabupaten Lamongan, Propinsi Jawa Timur, Indonesia. Dengan Balai Desa Bedingin
berjarak sekitar 3 kilometer dan terhubung oleh sebuah jalan utama desa serta
sebuah jalan potong kompas, di mana keduanya menuju ke arah barat. Artinya,
Dusun Kowak terletak di sebelah timur Desa Bedingin.
Dusun Kowak juga
menjadi wilayah Desa Bedingin yang langsung berbatasan dengan Desa Pangkatrejo
(tepatnya dengan Dusun Takeran, Dusun Malo dan Dusun Dagelan) dan Desa Lebak
Adi (tepatnya Dusun Teseh). Kedua desa tersebut berada di sebelah timur Dusun
Kowak. Selain itu, di sebelah baratnya juga berbatasan dengan Dusun Kedung
Kendo (Desa Kedung Dadi).
Dusun Kowak juga
terletak di sebelah barat pusat Kecamatan Sugio yang berjarak sekitar 6
kilometer, serta sekitar 22 kilometer di sebelah barat pusat pemerintahan
Kabupaten Lamongan. Kowak juga menjadi jalan penghubung utama antara dua
kecamatan, yakni Sugio dan Pucuk (di sebelah utara) yang berjarak sekitar 16
kilometer.
Dilihat dari segi
luas wilayah dan jumlah penduduk, maka Dusun ini memiliki wilayah yang paling
luas disbanding ke-4 dusun lainnya. Sementara dari segi populasi, menempati
urutan terbesar nomor 2 setelah Dusun Bedingin, disusul berturut-turut:
Puripan, Pedukuhan Dingin, dan Binorong.
Sebagaimana umumnya
wilayah pedesaan di Indonesia, khususnya dusun-dusun di Pulau Jawa, maka dari
segi pemerintahan, Dusun Kowak dipimpin oleh seorang Kepala Dusun (Kasun---yang
popular disebut “senden” atau “polo”) yang dibantu oleh para RT (Rukun
Tetangga) dan berada di bawah Kepala Desa (Kades---yang popular disebut “lurah”
atau “Petinggi”, atau biasa dipanggil “Pak Inggi”). Kekuasaan Kasun hanya
sebatas pada wilayah pemerintahan dusun, yakni membantu Kades dan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang terjadi di dusun bersangkutan.
Istilah “Senden”
atau “Polo” adalah istilah masyarakat lama terkait dengan tata pemerintahan
lama (Pemerintahan khas Jawa), yang sebelumnya berlaku sebelum berlakunya tata
pemerintahan baru era Indonesia. Struktur “senden” menjadi bagian yang yang tak
terpisahkan dengan istilah “petinggi” atau “Pak Inggi” selaku penguasa tunggal
di desa bersangkutan. Selain itu, beberapa istilah lain yang hingga detik ini
masih sering dipakai oleh anggota masyarakat dusun saat mengidentifikasi
pejabat setempat adalah “Carik” sama dengan Sekretaris Desa (Sekdes), Kebayan
(pembantu senden di dusun yang mengurusi soal keamanan dan ketertiban dusun, keuangan
dusun, dan urusan social kemasyarakatan lainnya (seperti saat ada kematian maka
yang menyiarkan pada masyarakat adalah si kebayan/Pak Bayan, dan lain-lain).
Selain “bayan”, pejabat lainnya adalah “Modin”, yakni seseorang yang khusus
mengurusi spiritualitas masyarakat. “Modin” memiliki tugas dan fungsi
diantaranya adalah membaca do’a saat acara hajatan dan kematian, menikahkan
(kawin agama) pengantin, serta memimpin acara ritual lainnya.
Sedangkan mengenai
upah/gaji para pejabat dusun tersebut dibebankan pada kekayaan desa berupa
tanah ganjaran atau tanah bengkok. Saat ini pula, pemerintah daerah Kabupaten
Lamongan juga membuat kebijakan terkait dengan “uang kesejahteraan” para
pejabat local tersebut, yakni dengan memberikan “uang intensif” ala kadarnya,
yang kadangkala pencairannya tidak lancer (tidak setiap bulan).
Berbicara mengenai
pusat pemerintahan dusun, maka pusat pemerintahan dusun Kowak terkonsentrasi di
rumah Kepala Dusun. Dusun Kowak dan kebanyakan dusun yang ada tidak memiliki
kantor dusun resmi.
B. Tipografi dan Mata
Pencaharian Penduduk Dusun
Tipografi Dusun
Kowak terbagi dalam dua karakteristik, yakni area persawahan dan tegalan. Area
persawahan umumnya terletak di dataran rendah, sedangkan area tegalan berada di
dataran tinggi.
Terkait dengan
persawahan, dalam sejarahnya, Dusun Kowak pernah memiliki tempat penampungan
air (irigasi) atau yang disebut dengan istilah “Embong”. Embong ini berlokasi
di sebelah Timur Daya yang berjarak 600-an meter dari perkampungan. Embong
menjadi tempat penampungan air saat musim hujan (bahasa setempat: “rending”),
di mana airnya berasal dari daratan-daratan tinggi sekitarnya. Dengan Embong
inilah, di masa lalu penduduk dusun Kowak mampu melakukan penanaman padi selama
dua kali (istilahnya “tanam dan panen walek’an) tanpa takut kekurangan air.
Selain itu, fungsi embong ini juga sebagai sarana irigasi untuk pemenuhan
kebutuhan tanaman di musim kemarau (bahasa setempat adalah “ketigo”).
Masih terkait dengan
keberadaan embong, sekitar 25 tahun yang lalu, juga dipakai para penduduk untuk
memandikan hewan ternak seperti kerbau (kebo) dan sapi. Keberadaan hewan-hewan
ternak tersebut, saat ini tinggal cerita belaka. Perubahan ini kemungkinan
besar disebabkan oleh pola kehidupan social dan produksi social kemasyarakatan.
System pengembalaan
ternak berubah menjadi system pengandangan. Di samping itu juga, menurunnya
permintaan pasar akan daging kerbau menjadi salah satu faktor melenyapnya
kerbau seiring dengan pempopuleran jenis sapi. Hilangnya embong, kemungkinan
pula menjadi penyebab enggannya para penduduk memelihara kerbau mengingat
kerbau adalah jenis hewan ternak yang suka bermain-main dengan air. Factor
terakhir, bisa jadi dengan banyaknya penduduk dusun yang mencari pekerjaan di
kota (Surabaya dan Jakarta).
Di masa sekarang,
sarana irigasi embong sudah tidak dipakai lagi. Hal ini disebabkan oleh
tuntutan para pemilik tanah yang tidak menginginkan jika sawahnya dijadikan
sebagai tempat penampungan air. Meskipun begitu, kisah tentang eksistensi
embong ini masih dapat dilihat saat ini, khususnya dengan pintu penutup dan
pembuka airnya. Embong ini melenyap sekitar 20-25 tahunan yang lalu (1980-an).
Penduduk dusun
kowak, sebagian besar sangat menggantungkan hidupnya dari pola produksi
pertanian sawah. Dengan sawah, mereka dapat menanam padi, jagung, kacang hijau,
kedelai, serta tembakau.
Karakteristik tanah
persawahan di dusun Kowak berwarna hitam, berlumpur dan gembur saat musim
penghujan. Karakteristik ini akan sangat berbeda pada saat musim kemarau, di
mana dari segi warna tetap namun menjadi mengeras dan pecah-pecah.
Bukan hanya
tergantung pada system pertanian persawahan, penduduk dusun Kowak juga
memanfaatkan kondisi tegalan yang luasnya duapertiga dari total luas wilayah
dusun. Umumnya, tegalan berada di
dataran tinggi dan ini berada di sebelah Barat Daya, Utara, dan Timur Daya dusun
Kowak.
Dengan tegalan,
penduduk dapat menanam berbagai jenis tanaman yang cocok seperti kacang hijau,
kedelai, ubi jalar (bolet), singkong (menyok), gembili, talas, genyong, kunyit
(kunir), mangga, jambu, serta berbagai jenis sayuran merambat lainnya.
Karakteristik tanah
tegalan yang ada, sebagian berwarna hitam, sebagian besar lainnya berwarna
kuning (biasa disebut “lemah ampo”) yang bercampur dengan kerikil dan bebatuan
kecil (biasa disebut “wedi”). Di masa dulu, banyak tegalan yang dijadikan
sebagai area penggembalaan ternak. Area ini biasa disebut “oro-oro”.
Secara tipografis,
sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka mayoritas penduduk Dusun Kowak
sangat tergantung pada pola produksi pertanian. Namun, seiring dengan perubahan
social kemasyarakatan, ketergantungan ini mulai menurun dengan dikembangkannya
sector industry oleh pemerintah. Pada umumnya penduduk desa, maka kota sebagai
pusat kegiatan industry menjadi sasaran utama kepindahan penduduk, termasuk
oleh penduduk dusun Kowak.
Dengan banyaknya
anak-anak muda (sebagai tenaga produktif) yang pergi ke kota, baik untuk
bersekolah maupun bekerja di kota menjadikan kondisi dusun dan desa sepi atau
mengalami krisis tenaga produktif di sector pertanian. Akhirnya, pelan-pelan
dan pasti, banyak lahan-lahan pertanian yang sebelumnya produktif menjadi
terbengkalai. Khusus untuk dusun Kowak, kondisi ini menyebabkan sebagian petani
bersifat pragmatis, yakni mengubah tanah tegalan menjadi hutan produktif. Saat
ini, banyak sawah tegalan yang beralih fungsi menjadi area penanaman pohon
jati. Alasan masyarakat sangat sederhana: setelah bibit jati ditanam maka
dibiarkan tumbuh membesar tanpa perlu perawatan intensif hingga usia 5 hingga
10 tahun, lalu di panen/jual.
Kowak dan dan
dusun-dusun lain di sekitarnya, sangatlah berbeda antara era sekarang dengan
era masa lalu. Dulu, banyak pemuda kampong yang tinggal. Saat ini, banyak para
pemudanya (laki-laki dan perempuan) yang pergi merantau ke kota, baik di
kota-kota di Jawa maupun luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara Timur, dan Papua.
C. Kondisi Sosial
Politik Dusun Kowak
1. Masjid dan Aliran
Keagamaan
Dapat dikatakan
bahwa kondisi social politik masyarakat Dusun Kowak relative dinamis dan
demokratis dibanding dusun-dusun lainnya. Kedinamisan dan kedemokratisan ini
dapat dilihat dari praktek-praktek social politik kehidupan sehari-hari
masyarakat.
Kowak menjadi
satu-satunya dusun di desa Bedingan dan desa-desa di sekitarnya yang untuk
pertama kalinya dilanda perpecahan menyangkut soal aliran keagamaan Islam,
yakni antara kelompok NU (Nahdzatul Ulama) dan Muhammadiyah. Perpecahan ini
sudah muncul sejak awal didirikannya kedua organisasi keagamaan tersebut.
Meskipun kedua pengikut
organisasi ini dapat hidup berdampingan, namun dalam situasi tertentu acapkali
terjadi ketegangan. Puncak ketegangan adalah selang beberapa saat setelah
Masjid Jami Kowak selesai pembangunannya. Masjid yang pendanaannya berasal dari
kegiatan gotong-royong dan swadaya masyarakat dan hasil penjualan kayu jati
kuburan ini, pada akhirnya ditinggalkan oleh sebagian besar penduduk kampong yang
menyatakan diri sebagai pengikut NU. Konsekuensi dari perpecahan ini adalah
“dikuasainya” Masjid tersebut oleh golongan Muhammadiyah dan didirikannya
Masjid baru NU di sebelah selatan kampong.
Masjid Jami
Muhammadiyah tersebut berlokasi di ujung timur kampong dengan wakaf tanah dari
salah satu tokoh pemukanya. Secara social, para pemimpin Muhammadiyah adalah
orang-orang berpendidikan formal di atas rata-rata penduduk kampong lainnya. Mereka
berprofesi menjadi pegawai negeri serta berdagang. Dua figure sentral di masa
itu adalah Haji Nur Imam, yakni seorang Pengawas Sekolah. Ia juga dikenal
sebagai politisi Golkar. Haji Nur Imam beserta keluarga besarnya merupakan
figure kaya yang menjadi otak dari eksistensi Muhammadiyah di dusun Kowak.
Masih bagian dari keluarga ini adalah Haji Amzah, yang dikenal lebih
konservatif dibanding dengan Nur Imam. Amzah dan Nur Imam adalah orang-orang
yang berasal dari luar dusun Kowak.
Sementara itu, Masjid
NU sendiri, dalam sejarahnya sudah pernah didirikan. Letaknya berada di tengah
kampong, yakni di rumahnya seorang warga yang biasa dipanggil “Mbah Nang”. Ia
tokoh NU yang radikal yang berasal dari sebuah dusun di sebelah utara Kowak,
yakni dusun Badu (Desa Wanar---dulu masuk Kecamatan Sukodadi, setelah adanyya
kebijakan pemekaran oleh Pemerintah Daerah Lamongan, akhirnya dimekarkan
menjadi Kecamatan Pucuk). Dengan alasan tertentu, akhirnya Masjid ini
dipindahkan ke lokasi yang dimiliki oleh keluarga Nur Imam (saat ini menjadi
lokasi dari Majid Muhammadiyah).
Era pertengahan
1980-an, saat Umat Islam Dusun Kowak dilanda perpecahan, maka dapat dipastikan
bahwa penduduk yang beraliran NU, praktis tidak memiliki figure sentral. Figure
keluarga Mbah Nang sudah lama kehilangan pengaruhnya. Dalam situasi demikian,
muncul figure baru yang dipelopori oleh orang-orang dari keluarga biasa (bahkan
dapat dibilang berasala dari keluarga “abangan”), yakni Mus beserta keluarga
Kandim.
Mus, hanyalah
seorang petani biasa yang mengawini seorang perempuan dari keluarga Kandim.
Pada akhirnya, ia memelopori keluarnya para pengikut NU dari Masjid
Muhammadiyah yang pada awal didirikannya juga atas jerih-payahnya juga.
Selanjutnya, Masjid
NU secara resmi dibangun di atas tanah hasil wakaf dari keluarga Kandim. Jika
dilihat dari asal-usulnya, para pelopor pendirian Masjid NU ini adalah
orang-orang yang berasal dari dusun non-kowak, yang memang sudah dikenal
sebagai dusun-dusun basis NU, seperti dusun Badu, dusun Kedungkendo (Desa
Kedungdadi), dan dusun Mayong (Desa Sidomlangean, Kecamatan Kedungpring).
Masjid NU didirikan
dibekas sebuah Mushola tua, yakni sebuah mushola dengan gaya rumah panggung
yang kerangka dan dindingnya terbuat dari kayu jati dengan lantai yang terbuat
dari pilahan pohon bamboo. Lokasinya berada di tanah wakaf Keluarga Kandim. Selanjutnya, mushola ini dirobohkan. Sebagai
penggantinya adalah dibangun Masjid yang terbuat dari kayu. Beberapa tahun
kemudian, Masjid kayu ini dirobohkan kembali seiring dengan mulai dibangunnya
Masjid baru yang bermaterialkan beton. Masjid baru ini berlantaikan dua.
Sementara itu,
terkait dengan pendanaan terhadap pembangunan masjid ini---cukup
controversial---sebab sebagian besar dana awal yang berupa material berasal dari
tokoh Muhammadiyah Lamongan, yakni Haji Ghofar dengan Yayasannya:
Fisabillillah. Haji Ghofar juga dikenal sebagai pengusaha kaya, karena memiliki
sebuah pabrik rokok di kediamannya (sukodadi), yakni rokok Ulung.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusAnda tau mbh toro gk itu katax dari kowak critakn donk
BalasHapusSepertinya menanam tembakau harus dibudayakan lagi oleh masyarakat Desa Kowak agar roda ekonomi berputar dan bau harum tembakau kering merangsang nafsu makan,hhhh
BalasHapusNama: __ Hendi Zikri Didi
BalasHapusBandar: _______________ Melaka
pekerjaan: _ Pemilik perniagaan
Sebarang notis: ____ hendidi01@gmail.com
Halo semua, sila berhati-hati tentang mendapatkan pinjaman di sini, saya telah bertemu dengan banyak peminjam palsu di internet, saya telah menipu saya hampir menyerah, sehingga saya bertemu seorang rakan yang baru saja memohon pinjaman dan dia mendapat pinjaman tanpa tekanan, jadi dia memperkenalkan saya kepada legitamate AASIMAHA ADILA AHMED LOIR FIRM, saya memohon Rm1.3 juta. Saya mempunyai pinjaman saya kurang dari 2 jam hanya 1% tanpa cagaran. Saya sangat gembira kerana saya diselamatkan daripada mendapatkan hutang miskin. jadi saya nasihat semua orang di sini memerlukan pinjaman untuk menghubungi AASIMAHA dan saya memberi jaminan bahawa anda akan mendapat pinjaman anda.
Pusat Aplikasi / Hubungi
E-mail: ._________ aasimahaadilaahmed.loanfirm@gmail.com
WhatsApp ____________________ + 447723553516
TAWARAN PERKHIDMATAN PINJAMAN, MOHON SEKARANG DAN DAPATKAN KELULUSAN TANPA STRESS ATAU BERTANGGUH.
BalasHapusHello, Adakah anda memerlukan pinjaman daripada Syarikat yang paling dipercayai dan boleh dipercayai
di dunia? jika ya, hubungi kami sekarang kerana kami menawarkan pinjaman kepada semua
kategori pencari sama ada syarikat atau untuk kegunaan kakitangan.Kami menawarkan
pinjaman pada kadar faedah 2%, Hubungi kami melalui Whatsapp +918794792073
mghfbibdgf@gmail.com
BORANG PERMOHONAN PENCARI PINJAMAN
*******************************
1) Nama Penuh:
2) Jantina:
3) Amaun Pinjaman Diperlukan:
4) Tempoh Pinjaman:
5) Negara:
6) Alamat Rumah:
7) Nombor Mudah Alih:
8) Nombor Faks:
9) Pekerjaan:
10) Pendapatan Bulanan:
11) Tarikh Gaji:
12) Tujuan pinjaman:
13) Di manakah anda mendapat iklan pinjaman kami:
mghfbibdgf@gmail.com