AWAL PERADABAN MASYARAKAT FATALUKU
By Vladimir Ageu DE SAFI’I
Pada judul artikel pendek ini, saya
sengaja menggabungkan dengan sebuah tanda hubung antara kata ‘lukisan’ dengan
‘tulisan’ dengan maksud untuk lebih menyederhanakan pemaparan fakta peninggalan
bersejarah ini. Dalam konteks sekarang, lukisan adalah sebuah symbol berupa gambar hasil karya tangan manusia dengan
maksud mengungkapkan keinginan, pikiran, serta imajinasinya yang dituangkan
dalam media tertentu. Sedangkan tulisan adalah sebuah symbol berupa aksara dalam bentuk deretan atau barisan
hasil karya tangan manusia dengan maksud mengungkapkan keinginan, pikiran,
serta imajinasinya yang dituangkan dalam media tertentu. Sekali lagi, definisi
sederhana atas dua kata tersebut mengacu pada zaman sekarang. Mengingat ini
terkait dengan prasasti atau bukti sejarah peradaban manusia, maka dalam
tulisan ini selanjutnya, saya akan menggunakan kedua istilah tersebut secara
bergantian---namun dengan maksud yang sama.
A.
Prasasti Bersejarah
Para
ilmuwan social menamai semua lukisan dan tulisan pada dinding goa atau batu
karang sebagai warisan sejarah peradaban manusia pra-sejarah. Bagi saya
sendiri, penyebutan sebagai manusia pra-sejarah terasa kurang tepat dan kurang
‘mengenakkan perasaan’. Alasannya sederhana bahwa zaman ‘pra-sejarah’ (tempo
dulu) akan berlanjut pada zaman ‘sejarah’ (tempo sekarang) yang tentunya akan
diikuti dengan zaman ‘pasca-sejarah’ (tempo mendatang). Sedangkan alasan kurang
mengenakkannya perasaan, saya dasarkan pada argument bahwa ‘seolah-olah manusia
tempo dulu adalah manusia yang ketinggalan zaman dengan kadar intelektual yang
rendah’. Padahal, jika hal ini kita cermati lebih mendalam lagi, warna-warni
cat beserta goresan yang melekat pada lukisan-tulisan dinding goa yang mana
masih terlihat dan tidak pudar di masa sekarang menunjukkan betapa hebatnya ilmu
pengetahuan terkait dengan peramuan cat mereka---sesuatu yang sulit untuk
dilakukan oleh manusia sekarang (lebih-lebih dengan kualitas cat pabrikan yang
ada).[1]
B.
Jejak Lukisan-Tulisan di Dinding Gunung
Tutuala
Dinding Ili Kere-kere, Tutuala |
Masyarakat
Tutuala menamai tempat diketemukannya lukisan dinding goa ini dengan istilah
Ili kere-kere, yaitu sebuah penyebutan menurut bahasa masyarakat setempat:
bahasa Fataluku. ‘Ili’ adalah gunung, sedangkan ‘kere-kere’ berarti tulisan.
Kata ‘kere-kere’ dalam bahasa Fataluku menyerupai istilah ‘hakerek’ dalam bahasa
Tetum yang mengandung pengertian ‘menulis’, yang dibentuk oleh dua kata: ‘halo’
(membuat/melakukan) dan ‘kerek’ (tulisan).[2] Bahasa
Fataluku adalah salah satu bahasa dari sekitar 30-an bahasa dan dialek yang
berkembang dalam masyarakat Timor Leste.
Sementara
itu, kata ‘Fataluku’ merupakan bentukan dari dua kata: ‘fata’
(kuat/tegas/keras) dan ‘luku’ (bicara/percakapan), yang artinya kurang lebih
‘kekuatan kata’ atau ‘bicara tegas’ atau ‘bicara lantang’. Masyarakat Fataluku
mendiami lebih dari dua pertiga wilayah Distrito Lospalos dengan jumlah
komunitas sekitar 35.000 orang. Mereka tersebar di 3 subdistrito/kecamatan dari
5 subdistrito yang ada, yakni Tutuala, Lospalos, dan Lautem/Moro. 2 subdistrito
sisanya dihuni oleh 2 dialek bahasa yang berbeda, yakni Subdistrito Iliomar
oleh sub-etnik berbahasa Makalero dan Subdistrito Luro oleh sub-etnik berbahasa
Makasa’e dengan dialek Sa’ane (campuran 3 bahasa: Makasa’e, Makalero dan
Fataluku).
Gambar Ili Kere- |
Bagi
masyarakat Fataluku, khususnya penduduk Tutuala, keberadaan Ili Kere-Kere tidak
dipandang sebagai sesuatu hal yang berlebihan, selain sebagai sesuatu yang
sacral yang sudah barang tentu terkait dengan hal yang berbau magic. Karena mengandung unsure
kesakralan inilah, maka masyarakat setempat hanya menyebutnya secara sepintas
saja (tidak dibicarakan secara lebih mendalam). Intinya, keberadaan dan
hubungan Ili Kere-Kere dengan masyarakat Tutuala berkisar dalam dunia
kepercayaan, yang juga merupakan bagian dari kerahasiaan spiritual-adat mereka.
Biasanya,
penyebutan Ili Kere-Kere dalam makna penjiwaan (totality) akan dilakukan dalam acara-acara ritual adat, di mana
kata-kata yang terucap tidak lagi menggunakan bahasa Fataluku, melainkan bahasa
induk Fataluku yang sekarang sudah tidak ada lagi. Bahasa yang punah ini
disebut bahasa ‘Lovaia’ atau ada juga yang menyebutnya ‘Makua’. Saat ini,
sisa-sisa perbendaharaan kata pada bahasa Lovaia ini hanya bisa kita dengar
tanpa mengerti akan artinya dalam upacara adat. Generasi Fataluku sekarang
biasa menyebut kata-kata Lovaia sebagai bahasa tinggi, yakni bahasa suci/sacral
yang hanya diketahui oleh para ketua/pimpinan adat setempat (khususnya
Tutuala).
Gambar Ili Kere-kere |
Jadi,
keberadaan Ili Kere-Kere sangat berkait erat dengan keberadaan masyarakat
Fataluku Tutuala itu sendiri, khususnya keterkaitan ‘rahasia’ antara mereka
(Fataluku) dengan masyarakat Lovaia (leluhurnya). Seberapa jauh dan besar
tingkat keterkaitan rahasia mereka? Jawabannya adalah: hanya mereka sendiri
yang tahu dan ini tabu untuk dibicarakan. Setiap pembongkaran keterkaitan
tersebut akan berdampak pada mereka sendiri. Inilah makna Ili Kere-Kere bagi
masyarakat setempat. Suatu pemaknaan yang mengarah pada kepercayaan/keyakinan,
nilai dan norma social, keseimbangan politik dan ekonomi, dan sebagainya.
Gambar Ili Kere-kere |
Masyarakat
Fataluku tidak menyebut warisan bersejarah ini sebagai ‘kuru kere-kere’
(tulisan goa) atau ‘koco kere-kere’ (tulisan dinding) melainkan dengan istilah
‘ili kere-kere’ (tulisan gunung). Dengan merujuk pada penyebutan ini, bahwa
lokasi diketemukannya warisan sejarah tersebut sebenarnya tidak terletak di goa
tetapi di dinding/lereng gunung.
Memang,
jika diperhatikan secara seksama, lokasi diketemukannya warisan sejarah
tersebut berada disalah satu lereng pegunungan/perbukitan dengan jurang yang
cukup dalam di bawahnya, dan saya perkirakan berjarak antara 50-100 meter dari
permukaan air laut. Tanda-tanda menyerupai goa pun tidak ada, selain sebuah
cekungan dinding saja. Selain itu, lokasi keberadaan lukisan dinding ini tidak
seberapa jauh dari laut yang jaraknya sekitar 1 kilometer saja.
Lokasi Ili Kere-kere |
Secara
umum kondisi geografis wilayah Tutuala adalah pegunungan berbatu cadas dan karang.
Rata-rata, lapisan permukaan tanahnya tidak lebih dari 30 cm untuk
puncak-puncak dan lereng perbukitan, dan sekitar 1 meter untuk beberapa lereng
atau lembah perbukitan. Ini mengindikasikan bahwa kondisi permukaan Tutuala dan
tempat diketemukannya warisan bersejarah tersebut merupakan pegunungan karang
pada ribuan atau puluhan atau ratusan tahun yang lalu. Artinya, di masa lalu,
masyarakat leluhur suku Fataluku hidup dan tinggal di lereng-lereng perbukitan
batu karang. Tipografi demikian juga hampir dijumpai di seluruh wilayah
Distrito Lospalos hingga distrito Baucau.[3]
Situs
lukisan di dinding gunung di Tutuala ini menampilkan pola dengan gambar 2 orang
manusia, sebuah telapak tangan, sebuah perahu, sebuah matahari, sebuah
lingkaran berlapis tiga dengan garis penuh, sebuah lingkaran berlapis dua
dengan garis luar putus-putus, sebuah lingkaran berlapis empat dengan lingkaran
paling luar diberi garis-garis yang bersifat vertical menyerupai roda gigi, sebuah
menara/tangga, dua ekor binatang: menyerupai buaya dan seekornya lagi
menyerupai ikan. Selain itu juga terdapat lukisan bergaris. Hampir semua gambar
terlihat dengan jelas.
Gambar Ili Kere-kere |
Jika
warisan sejarah tersebut dimaknai sebagai lukisan/gambar, maka gambar-gambar
yang ada pada umumnya ditandai dengan adanya garis luar, yang kesemuanya
didominasi oleh warna merah darah serta varian warna lainnya berwarna merah
kekuningan dan hitam. Khusus, untuk gambar yang menyerupai manusia terisi
sepenuhnya dengan cat berwarna merah. Sedangkan warna hitam untuk garis luar
atau tanda pemisah atas bagian-bagian dalam satu gambar.
C.
Jejak Peradaban Leluhur Suku/Etnic Fataluku
Timbul sebuah pertanyaan: “Kapan
lukisan ini dibuat dan oleh siapa?” Yang pasti, hingga detik ini, situs tulisan
dinding gunung tersebut belum terteliti secara lebih mendalam. Di era kekuasaan
Postugis, situs ini nyaris tak terpublikasikan. Pempublikasian secara lebih
sistematis baru dilakukan setelah pemerintah Indonesia memasukkannya sebagai
deretan situs peninggalan sejarah ke dalam mata pelajaran Antropologi.
Sebagaimana situs-situs lain
yang diketemukan di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi dan Irian
Jaya/Papua (Indonesia), maka situs lukisan dinding Tutuala (Timor Leste) juga diperkirakan
sudah berusia ribuan tahun yang lalu Sebelum Masehi. Sebuah masa ketika manusia
belum mengenal simbol aksara/alphabet sebagaimana yang dikenal saat ini.
Gambar Ili Kere-kere |
Meskipun begitu, dapat
dipastikan bahwa lukisan ini kemungkinan besar dibuat ketika kehidupan manusia
sudah mulai menetap. Pola hidup dengan tempat tinggal tetap seperti di goa atau
lubang-lubang batu yang lain sangat memungkinkan setiap anggota kelompok untuk mengekspresikan pengalaman hidup serta
pikiran/angan-angan mereka. Dengan sudut pandang ini, maka lukisan dinding
Tutuala merupakan sebuah bentuk manifestasi atas ekspresi diri leluhur
masyarakat Fataluku di masa lalu. Sebagaimana yang juga dirasakan oleh manusia
zaman sekarang, manusia tempo dulu juga memiliki keinginan dan berusaha
mengabadikan semua kegiatan yang dilakukannya serta pengalaman yang telah
dialaminya ke dalam dan atau melalui media tertentu seperti dinding goa. Aktivitas
pelukisan ini sendiri hanya bisa dilakukan oleh manusia yang telah bertinggal
tetap mengingat proses pelukisannya membutuhkan waktu, di mana tidak mungkin
pekerjaan ini dilakukan oleh manusia yang hidup dengan pola nomaden
(berpindah-pindah).
Dengan melihat gambar-lukisan dinding
di Tutuala, kita bisa membuat asumsi awal sederhana bahwa kelompok manusia yang
tinggal di ujung timur Pulau Timor ini ternyata telah memiliki nilai dan
kemampuan kebudayaan yang tinggi pada ribuan tahun yang lalu. Lukisan ini juga
memberikan inspirasi kepada kita mengenai tingkat kecerdasan intelektual
manusia pada saat itu.
Lebih lanjut, dapat diasumsikan
bahwasannya lukisan dinding gunung karang tersebut menggambarkan sebuah
kehidupan di masa lalu dari segi sosial-ekonomi dan kepercayaan masyarakat.
Sikap hidup, nilai, dan keyakinan mereka terpancar di dalam gambar-gambar
tersebut. Meskipun kita tidak bisa mendefinisikan secara detail dan tepat akan
gambar-gambar tersebut, setidak-tidaknya sebuah tafsiran cukup penting untuk
‘mengenal’ leluhur masyarakat Fataluku tersebut.
Gambar Ili Kere-kere |
Bagi saya pribadi,---termasuk
anda yang tertarik dengan kehidupan di masa lalu---gambar perahu di dinding
Tutuala tersebut mencerminkan adanya kemampuan navigasi/pelayaran yang telah
dimiliki. Lukisan perahu ini menandakan adanya aktivitas kelautan. Perahu yang
digambar berbentuk melengkung dengan dua buah bendera di bagian depan dan
belakangnya. Sementara itu, terdapat sebuah layar yang terpentang di
tengah-tengah perahu, juga terdapat para awak kapal serta sebuah dayung.
Melihat bentuk perahu serta adanya layar menunjukkan bahwa “kemampuan
bernavigasi masyarakat tersebut sudah tersentuh oleh teknologi modern.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum diketemukannya perahu dengan daya
penggerak mesin, perahu pendahulunya digerakkan oleh tenaga dayung dan angin
melalui layar.” Dengan gambar ini pula, sebuah asumsi dasar lainnya dapat
dibuat bahwasannya “mereka dapat sampai
di lokasi tempat tinggal tetapnya tersebut (baca: Tutuala), setelah melalui
perjalanan menyeberangi lautan.” Atau, dapat diasumsikan juga bahwa “di dalam menjalin komunikasi dan interaksi
dengan kelompok lainnya yang berada di seberang, mereka menggunakan perahu.”
Asumsi lainnya adalah terkait
dengan gambar ikan. Adanya gambar ini, dapat ditafsirkan bahwa “ikan dan kegiatan mendapatkan/menangkap
ikan telah menjadi bagian dari pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka.” Jika
ini dikaitkan dengan gambar perahu, maka bisa jadi “cara mereka untuk menangkap ikan adalah dengan menggunakan perahu.”
Gambar Ili Kere-kere |
Hal lain yang cukup menarik
adalah gambar hewan menyerupai buaya. Artinya, nenek moyang masyarakat Fataluku
ini, di masa lalu telah mengenal sosok buaya. Pelukisan gambar buaya menandakan
bahwa hewan ini memiliki arti dan kesan tersendiri bagi mereka. Hanya dengan
adanya kesan yang mendalam terhadap sesuatu hal, maka seseorang---sebagaimana
kita saat ini---akan memiliki kemampuan untuk melukiskannya. Dengan
berlandaskan pada situasi yang ada saat ini, di mana hampir semua penduduk
Timor Leste, menempatkan hewan yang bernama buaya ini sebagai mahluk khusus.
Mereka sangat menghormati, segan, bahkan bercampur dengan rasa takut terhadap
buaya. Masyarakat Fataluku dan umumnya penghuni daratan Timor mempercayai bahwa
buaya adalah leluhur mereka. Buaya pulalah yang kemudian bermertamorfosis
menjadi daratan Timor.[4]
Selain itu, masih terdapat
gambar lain yang cukup menarik, yakni gambar sebuah menara atau tangga di mana
matahari dilukis di atasnya. Dan masih ada beberapa bagian lainnya sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas.
Sesuatu yang juga tidak kalah
menariknya adalah mengenai warna dan jenis cat yang dipergunakan. Warna cat
yang dominan adalah merah. Pertanyaannya bukan terletak pada warnanya,
melainkan cara/metode dalam meramu warna, bahan pembuat warna, serta kemampuan
warna yang mampu bertahan hingga saat ini.
Satu-satunya jawaban yang pasti
atas pertanyaan tersebut adalah bahan tersebut bersifat alami, yang keberadaan
bahan-bahan dasarnya berada di sekitar goa. Adanya aliran sungai yang
keberadaannya tidak jauh dari lokasi lukisan (Kampung Leti) memungkinkan
tumbuhnya berbagai pepohonan dan tumbuhan secara baik. Beberapa pepohonan yang
tumbuh tersebut seperti pahon asam, pohon ental atau palem, gambir, pinang, mangkudu
atau pace, lontar atau pandan, rotan serta banyak lainnya. Kemungkinan besar,
bahan-bahan dasar yang dipergunakan berasal dari pepohonan dan tumbuh-tumbuhan
tersebut.
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa
manusia leluhur masyarakat Fataluku telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan
yang luar biasa dalam bidang peramuan, yang mana tidak mampu kita buat saat
ini.
D.
Peradaban
Fataluku Bermuara dari Lukisan Dinding
Gambar Ili Kere-kere |
Meskipun dengan pemaparan yang
kurang mendalam dan cenderung premature, maka saya berani menegaskan dengan
membuat sebuah kesimpulan bahwa “peradaban masyarakat Fataluku yang berkembang
saat ini bermuara/berpangkal dari gambar-tulisan dinding yang berada di
pegunungan Tutuala. Dari ceruk/lubang dinding goa ini, ribuan tahun yang lalu, leluhur
Fataluku meletakkan dasar-dasar peradaban sebagaimana yang terlihat saat ini.”
Sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, bahwa sebelum masyarakat Fataluku yang terbentuk seperti
sekarang ini, golongan pendahulunya adalah yang dikenal dengan Lovaia. Bukti
nyata hubungan ini adalah masih dipakainya kata-kata/perbendaharaan kalimat
bahasa Lovaia dalam upacara ritual keagamaan adat masyarakat Fataluku,
khususnya komunitas Tutuala. Singkatnya, Lovaia menjadi pendahulu dari
terbentuknya genetic Fataluku. Dan sudah barang tentu, akan susah untuk
menyebut/menamai kelompok leluhur yang melahirkan masyarakat Lovaia.
Dari lukisan dinding tersebut,
dapat pula disimpulkan adanya keterkaitan genetic dan juga pola kehidupan
social antara leluhur Fataluku yang melukis dinding Tutuala dengan leluhur
Fataluku lain yang berada di luar daratan Timor seperti dengan manusia yang
tinggal di Pulau Leti, Pulau Kisar (Maluku), serta kepulauan Indonesia bagian
timur lainnya. Keterkaitan ini dapat dibuktikan dengan adanya kemiripan lukisan
yang ditemukan di Tutuala dengan tempat lain di wilayah Indonesia tersebut.
Selain itu, sebagaimana hasil penelitian bahasa/linguistic yang dilakukan oleh Thomas van Engelenhoven, 2005 (Leiden of University, Belanda) tentang bahasa Fataluku
dan bahasa yang dipakai oleh masyarakat
di Pulau Leti menunjukkan adanya kemiripan. Bahkan istilah ‘leti’ yang
dipergunakan untuk menamai sebuah perkampungan di Tutuala yang jaraknya hanya
sekitar 700-an meter dari lokasi dinding mengisyaratkan bahwa di antara kedua
masyarakat tersebut memiliki hubungan kekhususan (genetic dan social) di masa
lalu. Hal lainnya adalah ketika dihubungkan dengan cerita mengenai kisah
kejadian pembentukan Pulau Timor yang dipercaya sebagai penjelmaan seekor
buaya.[5] Bukti lainnya adanya
keterkaitan social-ekonomi lainnya adalah pada motif dalam kain tenun (bahasa
Tetum=tais) yang hampir serupa.
Tanda 'Lulik' (keramat) pada makam leluhur di lokasi Ili Kere-kere |
Dalam tradisi lesan masyarakat
Fataluku, dikenal sebuah cerita bahwa penyebaran mereka sebagaimana yang ada
saat ini diawali dari terjadinya sebuah bencana banjir bandang yang menimpa perkampungan
mereka. Sebelumnya, mereka terkonsentrasi dalam sebuah komunal besar, yang kini
dikenal dengan sebutan ‘Ira-ara Laru’ (Danau/Kubangan Air).
Jarak antara Perkampungan
Ira-ara Laru dengan lokasi ditemukannya lukisan dinding Tutuala hanya berkisar
5 km dalam garis lurus. Banjir Ira-ara Laru telah menyebabkan Komunal Besar
Fataluku tersebut tercerai-berai dan mencari tempat pemukiman baru. Dengan
mencermati masih segarnya ingatan masyarakat Fataluku terhadap kejadian
tersebut, kemungkinan besar bencana bandang yang melanda mereka belum lama
berlangsungnya. Kemungkinan besar sebelum tahun 1500-an Masehi, mengingat tidak
ada dokumen resmi Portugis yang mencatat
bencana ini bila kejadiannya di era kolonialisme Portugis.
Akibat bencana bandang tersebut,
Komunal Besar Fataluku terpecah-belah menjadi komunal-komunal yang lebih kecil.
Mereka menyebar ke area yang lebih tinggi yang berada di sekitarnya, seperti
Tutuala, Mehara, Malahara, Muapitin, Lorehe, Fuiluro, Moro, Mahena, dan
sebagainya. Secara otomatis, terbentuknya secara alamiah komunal-komunal kecil
ini membawa konsekuensi jarak dan keterikatan emosianal dan adat di antara
mereka mulai merenggang. Ikatan sebagaimana yang terjalin dalam Komunal Besar
pun memudar.
Gambar lukisan di Pulau Kei, Maluku-Indonesia |
Dengan menggunakan analogi
pusaran air, saya kemukakan bahwa semakin jauh lokasi benda terhadap sumber
pusaran air, maka semakin rendah daya tariknya. Sebaliknya, semakin dekat
dengan pusaran air, maka semakin kuat pula daya tariknya. Begitu pula dengan
pola penyebaran penduduk masyarakat Fataluku.
Tentu terdapat perbedaan yang
cukup signifikan, secara geografis, antara kondisi lokasi gambar-tulisan
dinding Tutuala dengan Perkampungan Komunal Besar Fataluku di Ira-ara Laru. Gambar
dinding Tutuala terletak pada dataran tinggi, bahkan dapat dikatakan berada di
lereng salah satu puncak barisan perbukitan yang ada. Sementara lokasi Komunal
Besar berada di dataran rendah atau lembah yang subur.
Perbedaan secara geografis ini
membawa pada kesimpulan bahwa leluhur Fataluku pada masa ribuan tahun yang lalu
bertempat tinggal di lokasi ketinggian dengan goa-goa atau cekungan-cekungan
lereng bebatuan sebagai tempat tinggal. Pemilihan lokasi demikian lebih banyak
didasarkan pada tingginya tingkat ketergantungan mereka dalam ‘menaklukkan’ dan
menghadapi keganasan alam yang masih liar. Alasan bertahan dari serangan
binatang buas yang biasanya banyak hidup di area yang subur menuntut kelompok
leluhur Fataluku ini memilih daerah ketinggian dengan tingkat kesuburan area
yang terbatas. Goa menjadi tempat berlindung, berkembang biak dan berinteraksi
di antara sesama mereka. Sedangkan dataran rendah dengan penghuni hewan buasnya
menjadi arena perburuan.
Adanya gambar ikan dan buaya
dalam dinding Tutuala dapat juga dimaknai bahwa mereka dalam menjaga
kelangsungan hidupnya sangat bertumpu pada kemampuan berburu terhadap binatang
yang berada di sekitarnya. Selain itu, tidak diketemukannya situs-situs serupa
di sekitar lokasi pertama ditemukannya gambar dinding ini menandakan bahwa
jumlah mereka masih relative sedikit.
Perkampungan Komunal Besar
adalah sebuah masyarakat kelanjutan dari penghuni Komunal Dinding Tutuala.
Lokasinya yang lebih subur menandakan telah ada perubahan pada pola kehidupan social
mereka. Mereka tidak lagi menggantungkan kehidupan dalam berburu. Perpindahan
ke lahan basah menandakan mereka mulai mengenal atau telah mempraktekkan system
bercocok tanam dengan tetap tidak meninggalkan secara total pola berburu.
Sisa-sisa pencarian makan dengan
cara berburu ini masih dapat dilihat di era sekarang. Dimana, kebanyakan kaum
lelaki Tutuala dan sekitarnya (Fataluku) dalam memenuhi kehidupan
sehari-harinya dengan cara berburu binatang di tengah hutan belantara atau di
sekitar lahan-lahan kebun/tegalan mereka, sedangkan kaum perempuannya lebih
banyak bercocok tanam dan mengurus keperluan rumah tangga/dapur.
Lokasi di Mehara, Tutuala. Di sebelahh kiri bukit terletak Ira-ara Laru |
Sebagaimana yang diceritakan
oleh Chefe do Suco Tutuala, Antonio da Fonseca, sekitar tahun 1930-an, kakek
mereka yang menjadi Liurai/penguasa suku memaksa para penduduk yang mayoritas
masih tinggal berkelompok di tengah-tengah hutan untuk bersatu dan menghuni
dalam satu area yang lebih luas lagi, atau yang kemudian dikenal dengan
Desa/Suco Tutuala saat ini. Artinya, pola hidup berkelompok dan
terpencar-pencar masih kuat berlangsung hingga 80-an tahun yang lalu.
Dengan demikian, kehidupan
peradaban masyarakat Fataluku untuk pertama kalinya diawali dengan jejak
Lukisan dinding di pegunungan Tutuala, yang selanjutnya pada ribuan tahun
kemudian berpindah lokasi menjadi Perkampungan Komunal Besar Ira-ara Laru
hingga masa sekarang.
Pertanyaan besar yang mengganggu
saya dan tentunya Anda sekalian adalah: “Jika pada ribuan tahun yang lalu
mereka telah mengenal metode navigasi/pelayaran, mengapa justru saat ini, jejak
ini tidak menurun pada masyarakat Fataluku?” Atau, “Kemana perginya pengetahuan
modern yang sempat tumbuh di masa itu? Mengapa pengetahuan tersebut sepertinya
terputus dan hilang?” Dan “Mengapa masyarakat Fataluku saat ini, baik yang
bertinggal di tepian laut Tutuala, Lorehe hingga Com-Lautem sama sekali kurang
memiliki pengetahuan atau tradisi pelayaran?” ******
Untuk mengetahui lebih lanjut keterkaitan antara
Bahasa Fataluku & Makua-Lovaia (Timor Leste) dengan Bahasa yang dipakai oleh masyarakat yang tinggal di Pulau Leti (Maluku) silakan kunjungi situs ini:
[1]
Perhatikan kualitas cat dinding rumah kita, yang rata-rata hanya mampu bertahan
selama 1-3 tahun saja. Semua jenis cat tidak mampu menahan sinar matahari dan
curahan air hujan: cepat memudar. Ini berkebalikan dengan kondisi cat pada
peninggalan bersejarah, yang rata-rata usianya sudah berusia puluhan ribu tahun
lalu.
[2] Dalam bahasa Tetum, kata-kata ‘halo’ yang kemudian yang dalam
pengucapannya ketika digabung dengan kata lain, biasanya akan diperpendek
menjadi ‘ha’, seperti habelar (halo belar—membuat luas), hadomi atau hadomin
(halo domin---membuat cinta), hamanas (halo manas---membuat panas), dan
sebagainya.
[3]
Era Indonesia, Kota Baucau dijuluki sebagai ‘Kota Karang/Coral’ mengingat
kondisi tipografi Baucau yang berbatu dan berkarang. Di Baucau sendiri juga
diketemukan adanya lukisan yang hampir sama, atau yang dalam bahasa Makasa’e
(mayoritas etnik Baucau) dikenal dengan sebutan ‘Lie Kere’ dan ‘Lie Siri.’
[4]
Saya berharap dapat membuat sebuah artikel mengenai kisah buaya sebagai leluhur
masyarakat Timor Leste.
[5]
Masyarakat Timor Leste dan juga Fataluku percaya jika daratan Timor ini
merupakan daratan hasil penjelmaan seekor buaya sebagai ucapan terima kasih
kepada seorang pemuda yang telah menyelamatkannya dari kematian yang disebabkan
oleh bencana alam. Konon Sang Buaya dan Sang Manusia pertama ini berasal dari
daratan seberang. Ephos buaya yang hampir serupa juga diyakini oleh masyarakat
yang mendiami Kepulauan Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Jawa hingga masyarakat
Mesir Kuno.