DANGDUT KOPLO &
TENAGA PROGRESSIV
(Catatan ringan
tentang Transformasi Musik Koplo Indonesia)
By Vladimir Ageu DE SAFI'I
Untuk memahami
lahirnya Musik Dangdut Koplo (MDK) tentu tidak bisa dilepaskan dari munculnya
gerakan kreativitas seni tradisional Jawa (Gamelan) yang bernama CAMPURSARI.
Sesuai dengan namanya, campursari merupakan rangkuman dari beberapa roh
music-musik non gamelan. Intinya, memasukkan beberapa unsure music elektronik.
Emha Ainun Najib
dengan kelompok Kyai Kanjengnya, atau Waljinah dengan duetnya bersama Cryse,
serta beberapa seniman lainnya merupakan bentuk-bentuk karya seni yang sarat
dengan kreativitas progressive. Mereka mencoba keluar dari pakem atau aturan
music-musik tradisional.
Kreativitas
progeresiv ini, yang selanjutnya dimanfaatkan oleh pelaku industry music
(liberal), seiring dengan mulai terbukanya kran demokrasi di Indonesia,
khususnya dengan munculnya beberapa Stasion Televisi swasta, memoles kreativitas
progresiv tersebut menjadi semata-mata pada keuntungan entertainment.
Dalam
perkembangannya, campursari sempat membuming di hamper seluruh wilayah Jawa
Timur, sebagian Jawa Tengah, hingga Sunda (Jawa Barat). Bagi pelaku bisnis
entertainment, ini merupakan peluang bisnis yang menjanjikan. Akhirnya,
Campursari yang sebelumnya didominasi oleh unsure Gamelan, diputar 180 derajat:
instrument elektronik menjadi dominan, sedangkan unsure gamelan yang diambil
hanya KENDANG-nya saja.
Dalam tradisi music
gamelan Jawa Timur (jawatimuran), dikenal istilah ‘KENDANG KEMPUL’, selanjutnya
kendang dan kempulannya inilah yang dikawinkan dan dipenetrasikan ke bentuk
‘aliran’ music baru, atau yang kita kenal saat ini dengan istilah: DANGDUT
KOPLO.
Musik dangdut
merupakan jenis music India yang berkmbang di Nusantara yang beradaptasi dengan
tradisi suku melayu. Hingga tidak mengherankan, bila dangdut dikenal dengan
istilah Musik Melayu.
Pemakaian Bahasa
Melayu menjadi Bahasa Nasional Indonesia membawa konsekuensi bagi eksistensi
dan status social untuk music melayu tersebut. Pada saat itu, segala sesuatu
yang berbau Melayu berarti identik dengan Inlander atau Jajahan/budak/pribumi. Maka
tidak mengherankan, bila berkembang anggapan di sebagian masyarakat Indonesia
yang menyebut music Melayu atau Dangdut sebagai music KAMPUNGAN alias NDESO
KESA-KESO.
Campursari yang walaupun
mencoba ditarik ke permukaan public, namun dalam kenyataannya mencoba bergerak
mengikuti hokum dialektikannya tersendiri. Kenyataannya, music ini lebih cepat
perkembangannya dan berevolusi menjadi Musik Dangdut Koplo, justru mengikuti
induk semangnya: di pedesaan.
Eksploitasi terhadap
kreativitas progressive tersebut mulai menemukan bentuknya, ketika bisnis
narkoba memasuki area ini. Beberapa obat-obatan kelas kampungan seperti ‘DK’
yang era 90-an hanya di jual 3 biji per 750 rupiah, dipake oleh golongan pemuda
pedesaan untuk meramaikan setiap konser campursari. Semakin banyaknya para
penganut “teler’ ini membawa konsekuensi pada sebutan music dangdut campursari
menjadi Dangdut Koplo (mengingat banyak yang koplo alias yang sok pekok).
Sementara itu, terkait
Musik Dangdut Koplo identik dengan “Goyang Erotis” dan “Sawerannya”,
sesungguhnya tradisi ini sudah lama tumbuh berkembang dalam masyarakat
Indonesia, khususnya yang mendiami daratan Pulau Jawa. Sekitar 20 tahun yang
lalu, tradisi saweran tidak seperti saat ini. Pada waktu itu (gamelan-tayupan),
para penari (undangan) memberikan uang kepada para sinden (bahasa lamongan
biasa disebut JOGET) dengan cara menaruh uang ke dalam nampan. Melalui
nampanlah, para undangan memesan lagu kesukaannya.
Perubahan saweran
dengan nuansa saat ini (dimana memberikan uang langsung pada si
penyanyi/joget/sinden dengan cara mengguyurnya seperti air hujan atau dengan
cara menyisipkankan secara langsung ke dalam payudaranya, bahkan ada pula yang
memasukkan ke area “lembah antah berantah”) merupakan penetrasi dari
orang-orang yang menjadikan seni kreativitas progresiv ini menjadi bisnis
pribadi atau kelompok belaka. Pada akhirnya, cara apapun selama dapat
menghasilkan uang, maka selama itu pula akan selalu dilekatkan dalam Musik
Dangdut Koplo (MDK).
Jadi, MDK adalah
sebuah produk progresif dari tenaga-tenaga kreativ progresif negeri ini yang
selanjutnya dimanfaatkan atau dieksploitasi oleh roh liberalism. Sudah pasti,
setiap revolusi akan melahirkan perubahan: suka atau tidak; terima atau tidak.***