Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga
Fidel Castro Ruz[1]
Adabsi ulang dari: http://indomarxist.tripod.com/00000055.htm
[1]
Pidato Fidel Castro Ruz,
Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada
Pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan
yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000. Komentar Gus
Dur terhadap pidato ini: terlalu bertele-tele dan membosankan.
Yang mulya,
Para delegasi dan tamu-tamu yang terhormat,
Dalam kehidupan manusia, baru sekarang ini lah
bisa dicapai potensi ilmu-pengetahuan dan teknologi yang begitu mengagumkan,
hingga mencapai kemampuan yang luarbiasa untuk menghasilkan kekayaan,
kelimpahan dan kesejahteraan; namun demikian, pada saat yang sama, tak pernah
terjadi sebelumnya juga, semakin mempertajam kesenjangan dan ketidakadilan di
dunia.
Kehebatan teknologi yang walaupun, dalam hal
komunikasi dan jarak, bisa menautkan seluruh planet ini, namun nyatanya semakin
memperlebar kesejangan antara yang makmur dengan yang miskin, antara yang maju
dengan yang terbelakang.
Globalisasi adalah suatu realitas obyektif yang bisa lebih
memperjelas fakta bahwa kita sebenarnya merupakan penumpang dalam satu kapal
yang sama, yakni, bumi tempat kita hidup. Tapi, para penumpang kapal tersebut
mengadakan perjalanannya dengan kondisi-kondisi yang sangat berbeda.
Minoritas-kecil mengadakan perjalanan di kabin yang sangat mewah,
dilengkapi fasilitas internet, telepon selular, dan memiliki akses ke
jaringan-jaringan komunikasi golabal. Mereka bisa menikmati makanan yang
bergizi, sehat, dan berlimpah, serta bisa mendapatkan pasokan air bersih.
Mereka memperoleh pelayanan atau perawatan kesehatan yang canggih dan bisa
menikmati kebudayaan.
Sementara,
mayoritas-berlimpah yang sengsara mengadakan perjalanan dalam kondisi seperti
pada zaman perdagangan budak (yang mengenaskan) dari Afrika ke Amerika di zaman
kolonial pada masa yang lalu. Sebagain besar penumpang kapal tersebut, yakni
sekitar 85 %, berada dalam kabin yang penuh sesak dan kotor, kelaparan,
penyakitan dan tak ada yang menolong.
Jelas sekali, bahwa kapal yang sarat dengan
ketidakadilan, yang sedang mengarungi jalur irasional dan tak masuk akal
mustahil bisa tetap mengapung dan bisa selamat ke pelabuhan yang dituju.
Pelayaran seperti itu ditakdirkan akan menabrak gunung es, dan karam. Dan bila
itu terjadi, kita semua akan tenggelam bersama kapal karam tersebut.
Pimpinan negara dan pimpinan pemerintahan
yang hadir di sini, yang mewakili mayoritas-melimpah yang sengsara tersebut,
bukan saja berhak tapi juga berkewajiban menyelamatkan mereka dan mengarahkan
jalur kapal yang membahayakan tersebut ke arah yang benar. Adalah tugas kita
bersama untuk memperoleh tempat yang aman, agar semua penumpang bisa mengadakan
perjalanan dalam suasana solidaritas, persamaan dan keadilan.
Selama dua dekade terakhir ini, Dunia Ketiga
berulang-ulang dicekoki, harus selalu mendengarkan, hanya satu wacana
simplistik, yang hanya menghasilkan satu kebijakan.
Selalu, kita diceritai bahwa deregulasi
pasar, swastanisasi maksimum dan melepaskan campurtangan negara dalam aktivitas
ekonomi merupakan prinsip-prinsip menguntungkan yang dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial.
Degan Garis kebijakan seperti itu,
negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan
transnasional akan lebih diuntungkan dan IMF, yang selama dua dekade terakhir
ini telah merancang tatanan ekonomi dunia, sangat menentang kemajuan
negeri-negeri kita dan kemampuan kita untuk tetap bertahan—dalam melidungi
masyarakat dan menyelamatkan lingkungan.
Globalisasi telah
ditautkan, diidentikan, dengan neoliberalisme; dengan demikian, bukan kemajuan
atau kesejahteraan yang disebarluaskan secara global tapi kemiskinan; bukan
kedaulatan bangsa yang dihargai tapi dominasi; bukan solidaritas di antara
rakyat kita tapi sauve qui peut (sebisa-bisanya menyelamatkan diri
mereka sendiri) dalam kompetisi tak seimbang di pasar bebas.
Dua dekade pelaksanaan
apa yang mereka namakan penyesuaian struktural hanya lah mewariskan kegagalan
pembangunan ekonomi dan kerusakan sosial. Tugas para politisi yang bertanggung
jawab dalam menghadapi persoalan tersebut adalah mengambil keputusan yang
sanggup memberikan landasan yang kondusif bagi Dunia Ketiga agar bisa keluar
dari lorong yang gelap.
Kegagalan pembangunan
ekonomi merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Di bawah kebijakan-kebijakan
neoliberalisme, ekonomi Dunia mengalami pertumbuhan global antara tahun 1975
hingga tahun 1988, tidak sampai setengahnya dari pertumbuhan yang dicapai
antara tahun 1945 hingga 1975—saat menjalankan kebijakan-kebijakan Keynesian
dan negara berpartisipasi aktif dalam kehidupan ekonomi.
Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme
diterapkan sebagai lampiran doktrin, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pada
tahap/masa neoliberal tidak lah lebih tinggi ketimbang yang dicapai oleh
kebijakan pembangunan (negara) sebelumnya. Setelah PD II, Amerika Latin tak
memiliki hutang sama sekali, tapi sekarang berhutang sebesar 1 trilyun dolar.
Itu merupakan hutang per kapita tertinggi di dunia. Kesenjangan pendapatan antara
si kaya dan si miskin juga yang terbesar di dunia. Saat ini, Amerika Latin,
mengalami saat yang paling berat sepanjang sejarahnya karena semakin banyak
orang miskin, pengangguran, dan yang kelaparan,.
Sebenar-benarnya, di
bawah kebijakan neoliberalisme, ekonomi dunia ternyata tidak mengalami
pertumbuhan ekonomi yang pesat; tapi, malahan lebih sering tidak stabil, lebih
banyak spekulasi, peningkatan hutang luar negeri dan pertukaran/perdagangan
yang tak setara. Demikian juga, terdapat kecenderungan lebih besar semakin
seringnya terjadi krisis keuangan, sementara kemiskinan, ketidakadilan dan
kesenjangan antara negeri-negeri Utara (yang makmur) dengan negeri-negeri
Selatan (yang dimiskinkan) malah semakin melebar.
Dalam dua tahun terakhir
ini, krisis, instabilitas, kekacauan dan ketidakpastian merupakan kalimat yang
biasa digunakan untuk menjelaskan tatanan ekonomi dunia.
Deregulasi—yang melekat
dalam neoliberalisme—dan liberalisasi nilai kapital telah memberikan dampak negatif
sangat mendalam terhadap ekonomi dunia karena mengakibatkan ledakan spekulasi
mata uang dan pasar-pasar yang terkena dampaknya, yang transaksi hariannya
(sebagian besar spekulatif) bernilai tidak kurang dari 3 trilyun
dolar.
Negeri kita diharuskan lebih transparan dalam memberikan
informasinya dan lebih efektif dalam pengawasan bank, sedangkan lembaga-lembaga
keuangan seperti penyandang dana, yang tak memberikan informasi tentang
kegiatan-kegiatannya, benar-benar, absolut, tak bisa dibatasi aturan dan
malahan mengatur semua kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh cadangan devisa
yang tersimpan di bank-bank negeri-negeri Selatan.
Dalam atmosfir spekulasi
yang tak terbatas, gerakan-gerakan kapital jangka-pendek akan menyebabkan
negeri-negeri-negeri Selatan rentan terhadap ketidakpastian yang datang dari
luar.
Dunia Ketiga dipaksa menghentikan mobilisasi
sumber keuangannya sendiri agar cadangan devisanya merupakan hutang luar negeri
yang, katanya, dapat digunakan untuk mempertahankan serangan dari para
spekulator. Dalam beberapa tahun terakhir ini, lebih 20 % dari pendapatan
kapital yang diperoleh dihentikan mobilisasinya, dijadikan sekadar cadangan
devisa, namun tak juga cukup untuk menahan serangan para spekulator—terbukti
bila dilihat dari krisis finansial yang terjadi di Asia Tenggara.
Sekarang ini, sejumlah
727 milyar dolar yang berasal dari bank-bank pusat cadangan devisa dunia
tersimpan di Amerika Serikat. Hal tersebut akan mengarah pada paradok:
negeri-negeri miskin, dengan cadangan devisanya, akan menawarkan pinjaman
jangka-panjang yang murah untuk membiayai negeri-negeri makmur dan paling
berkuasa di dunia, padahal cadangan tersebut sebenarnya bisa (lebih baik)
digunakan untuk membiayai pembangunan ekonomi dan sosial mereka.
Alasan mengapa Kuba bisa
berhasil menjalankan program-program pendidikannya, pelayanan kesehatannya,
kebudayaannya, ilmu-pengetahuannya, olah raganya dan program-program
lainnya—yang tak seorang pun di dunia ini menyangsikannya, walau diblokade
secara ekonomi dalam empat dekade—dan, dalam lima tahun terakhir ini, kami
berhasil meningkatkan nilai mata uang kami (terhadap dolar) sebanyak tujuh
kali, itu karena posisi terhormat kami sebagai bukan anggota IMF—terima kasih
atas perlakuan tersebut.
Sistim finansial yang secara paksa menahan
mobilisasi sumber keuangan yang begitu besar—yang sebenarnya sangat dibutuhkan
oleh negeri-negeri Dunia Ketiga untuk melindungi dirinya dari instabilitas yang
disebabkan oleh sistim yang diarahkan agar si miskin membiayai si kaya—harus
dienyahkan.
IMF merupakan simbul organisasi sistem
moneter yang ada sekarang, dan Amerika Serikat memiliki hak veto terhadap
segala keputusannya.
Sepanjang berbicara mengenai krisis keuangan yang baru saja
terjadi, IMF menunjukkan kelemahannya dalam memprediksi dan tak memiliki
kemampuan untuk menangani situasi tersebut. IMF mendesakkan aturan-aturan
pengkondisian yang melumpuhkan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial
pemerintah, sehingga menciptakan ancaman domestik yang serius dan menghambat
akses terhadap sumberdaya-sumberdaya penting ketika sangat dibutuhkan.
Sudah saatnya Dunia
Ketiga menuntut dengan keras agar lembaga tersebut—yang tak bisa memberikan
jaminan stabilitas bagi ekonomi Dunia Ketiga, yang juga tak bisa memasok dana
pada negeri-negeri debitor agar bisa mengatasi krisis likuiditasnya—dibubarkan;
lembaga tersebut hanya lah diarahkan untuk melindungi dan menyelamatkan
negeri-negeri kreditor.
Dimana kah letak kerasionalan dan etika
tatanan moneter internasional bila hanya memberikan kesempatan pada para
teknokrat—yang posisinya tergantung pada dukungan Amerika Serikat—untuk
merancang program-program penyesuaian ekonomi, yang identik dengan Washington,
guna diterapkan di berbagai negeri demi mengatasi problem-problem khusus Dunia
Ketiga?
Siapakah yang harus
bertanggung jawab bila program-program penyesuaian tersebut menimbulkan
kekacauan sosial, sehingga melumpuhkan dan medestabilisasi bangsa-bangsa yang
memiliki sumberdaya alam dan manusia yang besar seperti terjadi di Indonesia
dan Ekuador?
Ini lah saat yang
penting bagi Dunia Ketiga untuk bekerja membubarkan lembaga yang jahat
tersebut, dan selain itu juga melenyapkan dasar filsafatnya yang masih
bertahan, menggantikannya dengan badan pengatur keuangan internasional yang
akan beroperasi di landasan demokratik dan tak seorang pun punya hak veto.
Suatu Lembaga yang tak akan sekadar membela kepentingan para kreditor kaya dan
tak akan memaksakan kondisi-kondisi penuh campur tangan, akan tetapi mengizinkan
aturan-aturan dalam pasar finasial sehingga bisa menahan spekulasi yang tak
terkendali.
Cara yang tepat dalam
menjalankannya adalah dengan mengenakan pajak yang tidak cuma 0,1%—seperti yang
dianjurkan oleh si cerdas Tuan Tobin—tapi sebesar minimal sebesar 1 %, yang tak
disangsikan lagi bisa mengumpulkan dana yang sedemikian besarnya—melebih nilai
normal, yakni sebesar 1 trilyun dolar setiap tahunnya—guna mengembangkan
pembangunan Dunia Ketiga yang nyata, berkelanjutan dan konprehensif.
Hutang luar negeri
bangsa-bangsa berkembang sangat lah mencengangkan, tidak saja karena hutang
tersebut begitu besarnya tapi juga karena mekanismenya yang keji—mendominasi
dan mengeksploitasi—serta formula yang ditawarkan negeri-negeri maju untuk
mengatasinya tak masuk akal, absur.
Hutang luar negeri
bangsa-bangsa berkembang jumlahnya sudah tak normal lagi, telah mencapai 2,5
trilyun dolar dan, dekade sekarang ini, lebih membahayakan ketimbang pada tahun
1970-an. Sebagian besar Hutang baru tersebut dengan mudahnya bisa berpindah
tangan di pasar sekunder dan; kini, hutang tersebut lebih berserakan dan lebih
sulit untuk dijadwalkan kembali.
Sekali lagi aku harus
mengulangi apa yang telah kami katakan sejak tahun 1985: hutang tersebut
sebenarnya sudah bisa kita bayar jika nilai tukarnya dolarnya sama dengan nilai
kontraknya, tak terganggu oleh perubahan dan kenaikan serampangan nilai mata
uang dolar dalam beberapa dekade yang lalu, dan tak terganggu oleh penurunan
harga komoditi pokok—sumber pendapatan utama bagi negeri-negeri berkembang.
Hutang terus menerus digunakan untuk membayar hutang (to feed on itself),
dalam lingkaran setan gali lubang tutup lubang, hutang digunakan untuk membayar
bunga hutang.
Sekarang, jadi lebih
jelas dari sebelumnya, bahwa hutang bukan sekadar issue ekonomi tapi juga issue
politik, karenanya, harus diselesaikan secara politik. Tak mungkin terus
menerus memanipulasi fakta bahwa jalan keluar bagi problem tersebut harus
secara mendasar diatasi oleh negeri-negeri yang seolah-olah memiliki sumberdaya
dan kekuatan, yakni, negeri-negeri makmur.
Apa yang disebut sebagai
Inisiatif Pengurangan Hutang Negeri-negeri Miskin yang Terbelit Hutang hanya
lah gagah namanya saja tapi jelek hasilnya. Tak lain dan tak bukan: upaya goblok
yang cuma mengurangi 8,3% total hutang negeri-negeri Selatan; tapi, selama
hampir empat tahun setelah pelaksanaan program tersebut hanya empat negeri
saja—di antara 33 negeri termiskin—yang sanggup melewati proses yang rumit
untuk mengurangi hutangnya sekadar sebesar 2, 7 milyar dolar, atau hanya
sebesar 33 % dari pembelanjaan Amerika Serikat yang digunakan untuk mempermanis
citra dirinya.
Sekarang ini, hutang
eksternal merupakan salah satu hambatan terbesar dalam pembangunan dan
merupakan bom yang, pada saat krisis ekonomi, setiap saat bisa meledakkan
fondasi ekonomi dunia.
Sumberdaya yang
dibutuhkan untuk mengatasi akar persoalan tersebut tidak lah besar jika
dibandingkan dengan kesejahteraan dan biaya-biaya yang dinikmati dan
dikeluarkan oleh negeri kreditor. Setiap tahunnya dibutuhkan dana sebesar
800 milyar dollar untuk membiayai persenjataan dan tentara, bahkan melebih
jumlah pendanaan Perang Dingin dan, sementara itu, tak kurang dari 400 milyar
dolar digunakan untuk membeli narkotik serta tambahan 1 milyar milyar lagi
digunakan untuk mendanai publikasi komersil—yang tak beda fungsinya seperti
narkotik, tidak produktif, teralineasi dari nilai-guna komoditi; itu baru
menyebut tiga contoh saja.
Seperti yang telah kami katakan sebelumnya,
secara jujur dan realistik harus diakui bahwa hutang eksternal negeri-negeri
Dunia Ketiga sudah tak bisa dibayar dan tak bisa dipungut kembali.
Di tangan negeri-negeri
kaya, perdagangan dunia dijadikan sebagai alat dominasi yang, di bawah
globalisasi neoliberal, akan menjadi elemen yang semakin berguna untuk
melanjutkan dan mempertajam ketidakadilan, serta juga merupakan teater yang
mewadahi perselisihan sengit di kalangan negeri-negeri maju saat berebutan
hendak menguasai pasar yang ada sekarang dan pasar di kemudian hari.
Wacana neoliberal menyarankan bahwa
liberalisasi komersial merupakan cara terbaik dan formula satu-satunya bagi
efesiensi dan pembangunan. Menurut wacana tersebut, seluruh bangsa harus
menghapuskan segala instrumen proteksi terhadap pasar domestiknya tak perduli
sebesar apapun perbedaan derajat pembangunan mereka, merupakan jalan
keluar—satu-satunya jalan keluar—yang ditawarkan, yang tak boleh dibatasi oleh
keabsyahan perbedaan apapun, walaupun tak bisa menawarkan kemungkinan jalan
keluar lainnya. Setelah melalui perdebatan sengit dalam sidang WTO,
negeri-negeri termiskin hanya diberikan perbedaan jedah-waktu sedikit saja
untuk sepenuhnya bisa memahami sistem yang jahat tersebut.
Sementara neoliberalism
terus menerus mengulang-ulang wacananya—karena memperoleh kesempatan menguntungkan
dengan adanya perdagangan bebas—parisipasi negeri-negeri terbelakang dalam
dunia ekspor, pada tahun 1998, mengalami penurunan ketimbang pada tahun 1953,
atau, 45 tahun yang lalu. Dengan luas area 8, 5 juta kilometer persegi, dengan
jumlah penduduk sebanyak 168 juta orang, dan dengan nilai ekspor sebesar 51, 1
milyar dolar selama tahun 1998, nilai ekspor Brazil lebih kecil ketimbang nilai
ekspor Belanda pada tahun yang sama, 198, 7 milyar dolar—padahal luas
wilayahnya hanya sebesar 41.803 kilometer persegi, dan jumlah penduduknya hanya
sebanyak 15, 7 juta orang.
Pada intinya,
liberalisasi perdagangan berisi instrumen-instrumen untuk, secara sepihak,
menghapuskan proteksi oleh negeri-negeri Selatan. Sementara, di sisi lain,
bangsa-bangsa maju tidak melakukan hal yang sama: mempersulit ekspor Dunia
Ketiga ke pasar-pasar mereka.
Bangsa-bangsa maju telah
mendorong terjadinya liberalisasi dalam sektor-sektor strategis terutama yang
bertalian dengan teknologi maju sehingga, dengan semakin bebasnya pasar,
mereka bisa menikmati keuntungan yang sedemikian besar. Lihat saja kasus-kasus
klasik: sektor jasa, teknologi informasi, bioteknologi dan telekomunikasi telah
lama dideregulasikan.
Di sisi lain, sektor
pertanian dan tekstil—dua sektor khusus yang sangat penting bagi negeri
kita—masih belum sanggup menghapuskan pembatasan-pembatasan tersebut dalam
pertemuan Uruguay Round karena sektor-sektor tersebut tidak menjadi kepentingan
negeri-negeri maju.
Dalam (kebijaksanaan)
OECD—klub negeri-negeri kaya—rata-rata tarif yang diterapkan pada ekspor
barang-barang manufaktur dari negeri-negeri berkembang empat kali lebih tinggi
ketimbang yang diterapkan pada ekspor negeri-negeri anggota OECD. Jadi,
tembok-nyata hambatan non-tarif terletak di negeri-negeri Selatan itu sendiri.
Sementara itu, dalam
perdagangan internasional, wacana hipokrit ultra-liberal memperoleh
pembenarannya karena sesuai dengan proteksionisme selektif yang diterapkan oleh
negeri-negeri Utara.
Komoditi-komoditi pokok masih merupakan rantai
yang paling lemah dalam perdagangan dunia. Dalam kasus yang terjadi di 67
negeri-negeri Selatan, komoditi-komoditi tersebut nilainya belum sampai 50%
dari nilai total pendapatan eskpor mereka.
Gelombang neoliberal
telah melibas skema-skema pertahanan-diri yang sebenarnya terdapat pada
komoditi-komoditi pokok. Diktum tertinggi ruang-pasar tidak bisa mentelorir
distorsi apapun, karenanya, Kesepakatan Komoditi-komoditi Pokok dan formula
pertahanan-diri lainnya—yang sebenarnya dirancang untuk menghadapi pertukaran
yang tidak adil—dilanggar atau diabaikan begitu saja. Itu lah alasan mengapa
sekarang daya beli komoditi-komoditi tersebut, seperti gula, coklat, kopi, dan
lain-lainnya, hanya bernilai 20% dibandingkan dengan nilai pada tahun 1960;
konsekuensinya, negeri-negeri tersebut tak bisa lagi menutup (bahkan)
biaya-biaya produksinya.
Perlakuan istimewa dan
perlakuan berbeda terhadap negeri-negeri miskin diberikan bukan atas dasar
pertimbangan (tindakan mendasar) keadilan dan merupakan suatu keharusan yang
tak boleh diabaikan, tapi atas dasar pertimbangan (tindakan temporer) karitas,
belas-kasih. Sebenarnya, perlakuan berbeda tersebut bukan saja merupakan
pengakuan atas banyaknya perbedaan dalam pembangunan—yang membutuhkan ukuran
yang berbeda pula dalam menangani pembangunan di negeri-negeri kaya dan di
negeri-negeri miskin—tapi seharusnya juga merupakan pengakuan bahwa (secara
historis) kolonialisme negeri-negeri kaya terhadap negeri-negeri miskin di masa
lalu dituntut memberikan konpensasi.
Kegagalan pertemuan
Seattle membuktikan bahwa oposisi sudah bosan terhadap kebijakan-kebijakan
neoliberal—bila dilihat dari opini umum yang semakin meluas ke berbagai sektor,
baik di negeri-negeri Selatan maupun negeri-negeri Utara sendiri.
Amerika Serikat menyelenggarakan pertemuan
kesepakatan perdagangan, yang seharusnya dimulai di Seattle, sebagai langkah
yang lebih jauh lagi untuk meliberalisasikan perdagangan tak peduli, atau
mungkin melupakan, bahwa Undang-undang Perdagangan Luar Negeri mereka, yang
agresif dan diskriminatif, masih berlaku. Undang-undang tersebut memiliki
aturan pelengkapnya—”Super-3101”—yang memberikan gambaran nyata tentang
diskriminasi dan tindakan untuk menerapkan sanksi terhadap negeri-negeri lain
dengan alasan untuk menindak mereka yang diasumsikan menentang/melanggar
benteng-benteng yang melindungi produk-produk orang-orang Amerika, padahal
asumsi-asumsinya didasari kualifikasi yang sewenang-wenang, sudah ditentukan
sebelumnya, dan sering sinis—bahwa pemerintah memutuskan memberikan
keistimewaan pada negeri-negeri lainnya atas dasar pertimbangan hak-hak azasi
manusia.
Di Seattle, ada pemberontakan terhadap
neoliberalisme. Contoh yang paling baru dalam menolak pemaksaan diberlakukannya
Kesepakatan Multilateral dalam Investasi. Hal itu membuktikan bahwa
fundamentalisme pasar yang agresif, yang menyebabkan kerusakan parah di
negeri-negeri kita, sudah dilawan dengan keras dan gigih di dunia.
Sebagai tambahan bagi data bencana ekonomi yang
telah disebutkan di atas: walau harga minyak meningkat secara signifikan, namun
kenaikannya tersebut justru memberikan sumbangan terhadap memburuknya kondisi
di negeri-negeri Selatan sebagai impotir-bersih sumberdaya alam yang sangat
vital tersebut. Dunia Ketiga menghasilkan minyak sekitar 80 % dari total
perdagangan dunia, dan sekitar 80 % dari jumlah tersebut diekspor ke
negeri-negeri maju.
Bangsa-bangsa makmur
mampu membayar seberapapun tingginya harga komoditi energi tersebut—yang mereka
boroskan untuk mempertahankan tingkat konsumsi mewah mereka dan yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan. Konsumsi minyak Amerika Serikat sekitar 8,1
ton per kapita, sementara Dunia Ketiga mengkonsumsi sekitar 0,8 ton per kapita,
dan negeri termiskin Dunia Ketiga mengkonsumsi cuma sekitar 0,3 ton.
Dan harga minyak yang tiba-tiba melonjak, dari US $12
menjadi US $ 30 per barel, atau lebih, justru memiliki dampak yang sangat
merusak bangsa-bangsa Dunia Ketiga—dan ini merupakan tambahan masalah terhadap
masalah-masalah yang sudah ada, seperti masalah hutang eksternal, rendahnya
harga komoditi-komoditi pokok, krisis finansial dan ketidakadilan dalam
menanggung beban dampak negatif krisis. Sekarang, kita mengalami sebuah situasi
buruk yang sama, yang merupakan tambahan masalah baru di kalangan bangsa-bangsa
Selatan.
Minyak merupakan
komoditi vital yang, secara universal, sangat dibutuhkan, yang bisa lari dari
hukum-hukum pasar. Dengan satu atau lain cara, perusahaan-perusahaan
transnasional dengan negeri-negeri Dunia Ketiga pengekspor minyak berupaya
menghimpun dirinya agar bisa sama-sama mempertahankan kepentingan dirinya dalam
bentuk menentukan harga minyak.
Rendahnya harga minyak
lebih banyak menguntungkan negeri-negeri kaya yang sangat boros dalam
penggunaan energi minyak, sehingga mereka terus menerus melakukan penelitian
untuk mendapatkan deposit-deposit minyak baru yang dapat diekploitasi, demikian
pula mereka berupaya mengembangkan teknologi yang dapat mengurangi konsumsi dan
dapat melindungi lingkungan; dan itu mempengaruhi ekportir-eksportir Dunia
Ketiga. Di sisi lain, tingginya harga minyak, yang menguntungkan para
eksportir, dengan mudah bisa ditanggung oleh negeri-negeri kaya namun sangat
membahayakan karena bisa menghancurkan sebagian besar ekonomi dunia kita.
Itu lah contoh yang baik
untuk menunjukkan bahwa perlakuan yang berbeda terhadap negeri-negeri yang
memiliki tahap pembangunan berlainan harus lah menjadi prinsip keadilan yang
tak dapat dipisahkan dalam perdagangan dunia. Sangat lah tak adil bila negeri
Dunia Ketiga seperti Mozambique, yang hanya memiliki US$ 84 per kapita GDP,
harus mengeluarkan dana yang sama—untuk membeli komoditi vital tersebut—dengan
negeri Switzerland, yang memiliki US$ 43.400 per kapita GDP, 516 kali (lebih
tinggi) per kapita GDP negeri Mozambique.
Perjanjian San José,
yang ditandatangani 20 tahun yang lalu oleh Venezuela dan Mozambique bersama
sekelompok kecil negeri-negeri pengimpor minyak dalam regional tersebut,
memberikan contoh yang baik tentang apa yang bisa dan harus ada dalam benak
kita, benak setiap bangsa Dunia Ketiga, yang memiliki situasi yang sama—namun,
walaupun demikian, pada saat ini kita harus menghindari kondisi-kondisi apapun
sehubungan dengan perbedaan perlakuan yang mungkin akan mereka terima.
Beberapa negeri berada dalam keadaan tak
mampu membeli lebih dari US$ 10 per barelnya, yang lainnya tak mampu membeli
lebih dari US$ 15 per barelnya, dan tak satu pun negeri yang mampu membeli
lebih dari US$ 20 per barelnya.
Bagaimanapun juga,
negeri-negeri dunia kaya, yang cenderung membelanjakan uangnya dalam jumlah
besar dan memiliki tingkat konsumerisme yang tinggi, mampu membeli lebih dari
US$ 30 per barelnya tanpa mengakibatkan kehancuran pada negeri mereka. Karena
mereka mengkonsumsi 80% ekspor negeri-negeri Dunia Ketiga, maka kelebihan harga
dan keuntungan dari penjualan ke negeri-negeri kaya tersebut bisa menutupi
kerugian akibat harga penjualan yang lebih rendah ke sebagian besar bangsa
miskin lainnya, yang memang seharusnya hanya membeli US$ 20 per barelnya.
Itu lah jalan kongkrit dan
ampuh yang bisa merubah kerjasama Selatan-Selatan menjadi instrumen yang memiki
kekuatan besar bagi pembangunan Dunia Ketiga. Mengambil jalan yang lain berarti
menghancurkan diri sendiri.
Dalam tingkatan dunia global, dimana
pengetahuan merupakan kunci bagi pembangunan, kesenjangan teknologi antara
Utara dan Selatan cenderung semakin melebar dengan meningkatnya swastanisasi
penelitian ilmiah dan hasil-hasilnya.
Negeri-negeri maju,
dengan populasi penduduk sekitar 15 % total penduduk dunia, sekarang ini mengkonsentrasikan
88% pengguna internet. Hanya di Amerika Serikat saja, terdapat lebih banyak
komputer ketimbang di belahan bumi lainnya. Negeri-negeri tersebut menguasai
97% hak paten dunia dan menerima 90% hak lisensi internasional sementara, bagi
sebagian besar negeri Selatan, penerapan hak pemilikan intelektual (intellectual
property rights) belum ada atau sangat sulit dilakukan.
Dalam penelitian swasta,
faktor keuntungan lebih didahulukan ketimbang faktor kebutuhan; adanya hak
pemilikan intelektual mengakibatkan negeri-negeri terbelakang tak bisa memiliki
akses terhadap pengetahuan, dan aturan hak paten tidak mengakui transformasi
pengetahuan serta sistem-sistim kepemilikan tradisional, padahal sangat penting
bagi negeri-negeri Selatan.
Penelitan swasta hanya mengabdi pada kebutuhan
para konsumen-konsumen kaya.
Vaksin telah menjadi
teknologi yang sangat efisien dan sangat murah untuk menjaga kesehatan karena
bisa mencegah penyakit hanya dengan sekali dosis. Namun demikian, karena
keuntungan yang diperoleh melalui pemakaian vaksinasi seperti itu akan semakin
rendah, maka mereka membuat vaksin yang membutuhkan pemakaian berkali-kali,
lebih dari sekali dosis.
Pengobatan baru, benih terbaik dan, secara
umum, teknologi terbaik sudah dijadikan barang dagangan yang harganya hanya
mampu ditanggung oleh negeri-negeri kaya.
Dampak buruk sosial
perlombaan neoliberal tersebut sangat kasat mata. Di lebih 100 negeri,
pendapatan per kapita lebih rendah ketimbang 15 tahun yang lalu. Sekarang ini,
1, 6 milyar orang hidup sangat mengenaskan ketimbang awal 1980-an.
Lebih dari 820 juta
orang menderita kekurangan gizi, yang 790 jutanya hidup di Dunia Ketiga.
Diperkirakan 507 juta orang yang hidup di Selatan sekarang ini tak akan
merayakan hari ulang tahunnya yang ke-40, mati.
Di negeri-negeri Dunia
Ketiga—yang perwakilannya hadir saat ini—2 dari setiap 5 anak menderita
gangguan pertumbuhan, dan 1 dari setiap 3 anak kekuarangan berat badan; 30.000
sekarat setiap harinya, walaupun bisa disematkan; 2 juta anak-anak perempuan
terpaksa terjerumus ke pelacuran; 130 juta anak-anak tak memiliki akses pada
pendidikan dasar; dan 250 juta anak di bawah umur 15 tahun terpaksa harus
bekerja.
Tatanan ekonomi dunia hanya mengabdi pada 20 %
dari penduduk yang ada, dengan mengabaikan, merendahkan, dan menyingkirkan 80 %
sisanya.
Kita tak bisa
gampang-gampangan menerima begitu saja masuk ke abad berikutnya sebagai negeri
yang terbelakang, miskin dan terhisap; korban kejahatan rasisme dan senopobia
bisa menghambat akses terhadap pengetahuan dan menderita alienasi akibat
kabar-kabar (yang sangat beorientasi pada konsumen) yang disampaikan
orang-orang asing dan diglobalkan oleh media.
Sebagai anggota kelompok
G 77, sudah tak saatnya lagi mengemis dari negeri-negeri maju, tunduk,
menyerah, menghiba-hiba pada mereka, atau terpecah belah saling menghancurkan.
Saatnya lah sekarang untuk memulihkan kembali semangat juang kita, kesatuan
kita dan bersatu padu mempertahankan tuntutan-tuntutan kita
Lima puluh tahun yang lalu, kita dijanjikan bahwa suatu hari kelak
tak akan ada lagi kesenjangan antara negeri-negeri maju dan negeri terbelakang.
Kita dijanjikan dengan roti (kesejahteraan) dan keadilan; tapi, hingga saat
ini, kita, negeri-negeri berkembang, hanya mendapatkan penderitaan, kelaparan
dan semakin banyak ketidakadilan.
Dunia bisa saja
diglobalkan di bawah kekuasaan neoliberal, tapi tak mungkin menguasai milyaran
orang yang lapar kesejahteraan dan keadilan.
Gambaran ibu-ibu dan
anak-anak yang mengalami ketakutan akan musim kemarau dan penderitaan lainnya
di seluruh regional Afrika mengingatkan kita pada kamp konsentrasi Nazi Jerman;
kondisi tersebut membangkitkan kembali ingatan kita pada tumpukan mayat
laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak yang sekarat.
Dibutuhkan perjanjian
Nuremberg lainnya untuk mengadili kejahatan tatanan ekonomi yang dipaksakan
pada kita, sebagaimana mereka memerintahkan pembunuhan orang-orang yang lapar
dan tak mendapatkan perlidungan dari penyakit, baik laki-laki, perempuan,
maupun anak-anak, setiap tiga tahunnya, lebih banyak ketimbang pembunuhan enam
tahun Perang Dunia II.
Di sini, kita harus
mendiskusikan apa yang harus kita lakukan untuk mengatasinya.
Kami, di Kuba, biasanya
mengatakan: “Tanah air atau Mati!” Dalam pertemuan Pimpinan-pimpinan puncak
negeri-negeri Dunia Ketiga, kita harus mengatakan: Bersatu dan pererat lah
kerjasama, atau mati!”
Terimakasih banyak.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus