Sabtu, 07 Maret 2015
Kamis, 12 Februari 2015
BABAK BARU DRAMA POLITIK REMODELASAUN
BABAK
BARU DRAMA POLITIK REMODELASAUN[1]
Husi Vladimir A. SAFI’I
Setelah berlarut-larut,
akhirnya drama politik remodelasaun inipun memasuki babak baru. Presiden Taur
Matan Ruak memutuskan untuk menerima dan menyetujui permohonan pengunduran diri
Xanana Gusmão dari jabatan PM-nya, dan menyatakan Governu Bloku Koligasaun
berstatus demisioner. Pada awalnya, drama politik ini sempat menimbulkan
berbagai macam spekulasi dan juga persepsi yang beragam di tengah-tengah
masyarakat. Meskipun begitu, mengenai bagaimana hasil akhirnya, cerita drama politik
inipun, sebenarnya sudah dapat diprediksi.
Sebuah pertanyaan cukup
mengganggu terkait dengan proses resignasaun PM, yakni: “Jika pada akhirnya
Xanana harus resigna, lalu untuk apa remodelasaun yang sudah dilakukan
sebelumnya? Bukankah ini hanya membuang-buang waktu, tenaga dan juga pikiran
saja? Bukankah dari segi waktu, tenaga dan juga pikiran, bahwa resignasaun ini
bisa dilakukan sejak awal Janeiru yang kemudian dilanjutkan dengan prosesu
forma governu yang baru?” Inilah politik. Sesuatu yang pendek bisa menjadi
panjang, yang sederhana berubah menjadi rumit. Dalam hukum materialismu
dialektika, maka proses politik yang berlangsung ini disebut “negasi ke negasi”
atau “meniadakan untuk ditiadakan.”
Sejak awal pembentukannya,
kabinet Xanana Gusmão yang diberi nama Governu Bloku Koligasaun (GBK) ini sudah
menimbulkan kontroversial berkaitan dengan jumlah Membru Governu yang mencapai
55 posisi jabatan. Sebuah jumlah yang dinilai terlalu besar dan berlebihan
untuk ukuran Timor-Leste dengan derajad kerumitan dan permasalahan yang
sesungguhnya sudah terpetakan. Banyak pihak yang menilai, bahwasannya jumlah
tersebut akan berdampak pada besarnya penggunaan Orsamentu Jeral serta hanya
akan menjadikan kinerja governu justru semakin tidak efesien dan efektif.
Dengan logika yang sederhana bahwa “orang yang gendut, cenderung susah untuk
bergerak dengan cepat dan mudah dihinggapi penyakit.”
Jumlah tersebut merupakan
konsekuensi dari pemilu parlementar 2012 yang tidak menghasilkan pemenang maioria
absoluta, dimana CNRT hanya memperoleh suara sebesar 172,909 suara atau sebesar
36.68 porzen. Posisi nomer dua diduduki oleh FRETILIN dengan suara 140,904 atau
29.89 porzen. Selanjutnya adalah PD dengan jumlah 48,579 suara atau 10.30
porzen, dan FRENTI-MUDANÇA mendapatkan 14,648 suara atau 3.11 porzen. Akhirnya, CNRT, PD dan Frenti-Mudansa
membentuk aliansi politik pasca pemilu di Parlemen dengan tujuan utama
membentuk sebuah pemerintahan. Berangkat dari koalisi inilah, jumlah membru
governu berasal.
Konsekuensi dari koligasaun
ini adalah “bagi-bagi jatah kursi kekuasaan.” Semangat mendasar dari koligasaun
adalah Partai A mendapatkan posisi apa dan Partai B pun demikian. Dari koligasaun
ini, CNRT mendapatkan jatah 29 posisi, PD mendapatkan 12 posisi, dan
Frenti-Mudansa sebanyak 6 posisi. Sisanya, diisi oleh independen (meskipun
begitu, kecenderungan politiknya adalah CNRT).
Jadi tidaklah mengherankan
apabila governu hasil koligasaun ini tidak berjalan sesuai dengan harapan
rakyat. Disamping terlalu gendut dan hanya bersisi bagi-bagi kue kekuasaan,
juga tidak berangkat dan diikat oleh suatu program atau plataforma politik yang
jelas.
Mensikapi situasi ini,
FRETILIN yang tidak berhasil menuju tampuk kekuasaan sejak pemilu parlementar
2007 dan 2012 menempatkan diri sebagai partai oposisi. Jika pada periode
Aliansi Maioria Parlementar (AMP 2007-2012), FRETILIN mengkampanyekan perlunya
Eleisaun Antisipada, maka pada periode GBK 2012-2017 ini, agenda FRETILIN
adalah menuntut kepada Xanana agar melakukan Remodelação do Governo sejak tahun
pertama masa kerja GBK. Kali ini, agenda FRETILIN berhasil.
Sikap oposisi FRETILIN
sendiri mulai berubah memasuki tahun kedua masa kerja GBK. Perubahan ini
diawali dengan dinobatkannya Sekretaris Jeral Mari Al-katiri sebagai
“Presidennya” orang Oequssei. Dan semakin menunjukkan sebagai partai pendukung
pemerintah pada saat dilaksanakannya pembahasan OJE 2015, di mana FRETILIN
sepenuhnya menyetujui dan mendukung. Tentunya, perubahan sikap ini bukan tanpa
sebab. Sikap anti GBK (thesa) berubah menjadi pro GBK (antithesa) melahirkan
sebuah sinthesa yang bernama konsesi politik yang berupa FRETILIN masuk dalam
susunan membru governu hasil remodelasaun.
Sebagai langkah politik
(konsekuensi kompromi dengan FRETILIN), maka untuk kesekian kalinya, pada awal Janeiru
2015, Xanana kembali menegaskan bahwa dirinya akan rezigna-an dan melakukan
remodelasaun sebelum tanggal 18 Fevereiru 2015 atas GBK. Statemen yang dinilai
sebagian kalangan sebagai ‘gertak sambal’ ini, pada akhirnya benar-benar
direalisasikan, di mana Xanana selaku Primeiru Ministru berkirim surat kepada
semua membru GBK untuk bersedia mengundurkan diri secara sukarela pada akhir Janeiru
2015.
Hal yang sangat mengejutkan
adalah bahwasannya rencana remodelasaun ini sepenuhnya tidak didiskusikan
terlebih dahulu dengan anggota koligasaun. Secara hukum, langkah PM Xanana ini
sah-sah saja (konstitusionil) mengingat ministru dan sekretariu estadu adalah
pembantu PM. Namun secara politik, langkah ini dinilai kurang etis (walaupun
sah juga mengingat etika juga bersifat normative dan relative).
Hal lain yang tak kalah
mengejutkan adalah sikap PD dan Frenti-Mudansa yang cenderung “pasrah menerima
takdir politik” tersebut. Sebuah takdir politik yang menyakitkan (sakitnya tuh
di sini…!!!), lebih-lebih dengan diremodela kedua top lider partai politik
tersebut dari GBK. Meskipun begitu, sikap PD dan Frenti-Mudansa di awal Fevereiru
2015 ini masih tetap memberikan dukungan kepada GBK dan mengusulkan nama Agio
Pereira sebagai kandidat PM. Sikap ini yang selanjutnya mendapatkan respon dari
FRETILIN melalui Sekjen Mari Al-katiri bahwa Xanana memanggil Rui Araujo
(membru CCF) untuk dinominasikan sebagai PM yang baru.
Ditengah-tengah tarik ulur
rencana komposisi membru governu baru, PM Xanana menyampaikan surat pengunduran
dirinya kepada Presidente da Republika Taur Matan Ruak pada tanggal 5 Fevereiru
2015. Jika pada awalnya, Presiden TMR kurang setuju dengan rencana mundurnya
Xanana, maka sikap kekurangsetujuan ini pada akhirnya berubah menjadi setuju.
Governu Bloku Koligasaun pun dinyatakan demisioner. Lalu, timbul pertanyaan:
apakah dengan demisionernya GBK ini, secara otomatis juga membuat bubarnya
Bloku Koligasaun (BK) antara CNRT, PD dan Frenti-Mudansa?
Dengan melihat perkembangan politik sejak
awal, kemungkinan besar BK masih eksis bahkan diperluas keanggotaannya dengan
masuknya FRETILIN. CNRT sebagai pemenang pemilu parlementar 2012 tetap sebagai
pihak yang berhak untuk membentuk pemerintahan baru pasca GBK untuk periode
2015-2017. Dalam konteks ini, Xanana muncul sebagai sosok kunci masuknya
FRETILIN dalam pemerintahan. Dengan demikian, maka tidaklah mustahil bila
anggota CCF Rui Araujo menduduki posisi orang nomer satu di kabinet baru yang
akan dibentuk. Ketidakmustahilan ini lebih banyak disebabkan karena lemahnya
posisi tawar PD dan Frenti-Mudansa di hadapan Xanana/CNRT dan juga Mari/FRETILIN.
Situasi politik yang
berkembang saat ini, telah menempatkan
PD dan Frenti-Mudansa dalam posisi yang terjepit dan bagai telur di ujung
tanduk. Keduanya tidak masuk dalam kategori sebagai organisasi politik yang
berani berseberangan pandangan politiknya dengan Xanana. Dengan demikian,
apapun keputusan yang diambil oleh Xanana (termasuk apabila Xanana menggandeng
FRETILIN untuk berkoalisi), maka PD dan Frenti-Mudansa akan tetap menerima.
Lalu, siapakah yang akan
membentuk governu yang baru? Terdapat beberapa opsi politik: pertama, Xanana
(CNRT) tetap memperpanjang kontrak dengan PD dan Frenti-Mudansa. Artinya, GBK
jilid kedua. Namun, ini mustahil dilakukan dengan melihat perkembangan politik
yang telah terjadi. Kedua, Xanana (CNRT) melakukan koalisi dengan FRETILIN
dengan menceraikan secara total PD dan Frenti-Mudansa. Opsi kedua ini
kemungkinan dapat saja dilakukan. Tetapi, dengan melihat adanya beberapa orang
PD dan Frenti-Mudansa yang kabarnya akan duduk kembali sebagai membru governu,
maka opsi kedua ini akan menjadi pilihan terakhir. Ketiga, Xanana (CNRT) melakukan
koalisi dengan semua partai politik yang ada di Parlementu Nasional (FRETILIN,
PD, dan Frenti-Mudansa). Sebuah pemerintahan baru dalam bentuk
unidade/persatuan politik (Guvernu Unidade Nasional). Opsi ini juga berpeluang
dipilih. Ketiga opsi tersebut dalam koridor hukum konstitusional sebagaimana
diamanatkan dalam Konstitusi Artigu 106, yang intinya menyatakan bahwa
pemerintahan dibentuk oleh koalisi partai di Parlemen apabila tidak ada
pemenang maioria absoluta dalam eleisaun jeral. Opsi yang terakhir atau keempat
adalah Xanana (CNRT) membentuk pemerintahan sendirian tanpa adanya koalisi
secara formal dengan ketiga partai politik yang ada. Dengan catatan, Xanana
mendapatkan kesepakatan atau persetujuan politik dengan elit-elit partai
politik yang ada “kesepakatan di bawah meja.” Opsi keempat ini merupakan opsi
politik bukan hokum konstitusional. Jika opsi keempat yang ditempuh, maka
politik di Timor-Leste telah menempatkan Xanana sebagai satu-satunya manusia
yang paling berkuasa sejak awal hingga akhir hayatnya meskipun Xanana sendiri
sudah tidak lagi berada atau memegang kekuasaan.
Semoga saja, pemerintahan
baru yang akan dibentuk nantinya, benar-benar mempertimbangan tentang realitas
obyektif permasalahan kehidupan rakyat Timor-Leste, seperti: uang minyak yang
pada akhirnya akan habis, ketiadaannya lapangan pekerjaan, peningkatan angka
pengangguran dalam setiap tahunnya, stagnasi ekonomi, dan sebagainya. Artinya, kita
semua berharap semoga pemerintahan baru yang akan dibentuk didasarkan pada semangat
mengedepankan kepentingan dan permasalahan rakyat, bukan sekedar “bagi-bagi
kursi kekuasaan” dan semangat menumpuk logistik untuk eleisaun jeral 2017.***
[1]
Artikel ini sudah dipublikasikan di Surat Khabar “Jornal Independente” pada
tanggal 12 Februari 2015
Selasa, 10 Februari 2015
REMODELASAUN ALA BREWOK
REMODELASAUN ALA
BREWOK[1]
Vladimir A. SAFI’I
[1] Artikel
sudah pernah dipublikasikan di Surat Kabar “Jornal Independente” pada tanggal
10 Februari 2015
Artikel ini penulis awali dengan
kesimpulan mengenai motif seseorang duduk di kekuasaan: pertama, bahwa
seseorang duduk di kekuasaan karena faktor warisan (herança), baik karena hubungan kekerabatan maupun hubungan lainnya
(balas budi atau belas kasihan). Kedua, karena faktor pengabdian (dedicação) baik terhadap rakyat, negara,
atau ideology yang dianutnya. Ketiga, faktor lapangan pekerjaan (campo do trabalho). Keempat, faktor
keinginan untuk merampok (roubar)
uang rakyat secara legal.
Politik adalah cara/seni dan sekaligus
ilmu untuk meraih kekuasaan, baik secara konstitusional maupun
non-konstitusional. Sebagai sebuah seni atau cara, maka ini sangat terkait
dengan karakter orang yang sedang berpolitik (cenderung subyektif). Sedangkan
sebagai ilmu, maka ini sangat berkaitan dengan rasionalitas dan kaidah-kaidah
keilmuan yang berlaku (cenderung obyektif). Dengan demikian, sadar atau tidak
sadar, maka semua orang sudah terlibat dalam kegiatan politik sehari-hari baik
dalam urusan pemerintahan maupun non-pemerintahan.
Sebuah masyarakat, bangsa dan negara
dapat eksis dan bertahan lama dikarenakan politiknya. Begitu juga sebaliknya,
dapat runtuh tak berbekas karena sikap, aktivitas dan peristiwa politik yang
terjadi di dalamnya. Runtuhnya sebuah negara sudah pasti berpengaruh pada
keruntuhan bangsa yang berada di dalamnya. Ini disebabkan, karena identitas
“kebangsaan” mulai ada dan dibangun semenjak ide tentang perlunya dibangun
sebuah “negara” di suatu wilayah. Yang sudah barang tentu, pada akhirnya ini
akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi masyarakatnya yang cenderung
beragam. Timor-Leste adalah entitas dari berkumpulnya beragam etnik masyarakat
(Fataluku, Makasae, Mambai, dll), yang mencoba mentransformasikan diri menjadi
entitas baru bernama ‘bangsa/nation/nasaun’ melalui wadah yang bernama
‘Republika Demokratika Timor-Leste’.
Tercatat, sudah banyak peristiwa politik
yang cenderung destruktif yang menimpa negara ini. Sebutlah salah satunya
adalah krisis 2006, yang belum hilang sepenuhnya dari ingatan masyarakat. Saat
ini, sebuah peristiwa politik (yang cenderung dramatik) kembali dan sedang
berlangsung: remodelação do gabinete/cabinet reshuffle/perombakan kabinet yang
dipimpin oleh Primeiru Ministru Xanana Gusmão.
Secara umum, remodelação do gabinete mengandung
pengertian sebagai sebuah peristiwa politik dalam pemerintahan di mana kepala
pemerintahan (dalam konteks semi parlementar seperti sistem pemerintahan di
Timor-Leste adalah Primeiru Ministru) melakukan penggantian atau pemindahan
posisi terhadap seorang atau sebagian menteri atau anggota kabinet dengan
tujuan utama untuk mensolidkan dan meningkatkan kinerja pemerintahan yang ada
demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Biasanya, remodelasaun dilakukan
berdasarkan berbagai alasan, diantaranya adalah menteri atau anggota kabinet
lainnya dinilai telah gagal dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, terjadi
karena ada anggota kabinet yang didakwa/diduga telah menyalahgunakan
wewenang/kekuasaan (abusa de poder). Untuk kasus restrukturisasi dengan
pengurangan jumlah anggota kabinet, biasanya didasarkan pada persoalan
efesiensi anggaran keuangan negara. Sementara dalam kasus sebuah pemerintahan
yang dibangun oleh koalisi antara partai politik, remodelasaun dilakukan
berdasarkan alasan “untuk saling merasakan,” alias menjabat secara bergiliran.
Serta masih banyak alasan lainnya.
Dalam sejarahnya (RDTL), peristiwa politik
remodelação do gabinete sudah pernah terjadi pada pemerintahan yang dipimpin
oleh PM Mari Al-katiri, Ramos Horta dan Estanislau (periode 2002-2007). Mari
Al-katiri sempat melakukan restrukturisasi pemerintahan pada bulan Maret 2003
dan Juli 2005. Selanjutnya, diawali dengan peristiwa politik lainnya (krisis
2006), Kabinet Mari Al-katiri dibubarkan dan diganti dengan Kabinet Ramos Horta
pada bulan Juli 2006. Kira-kira setahun kemudian, tepatnya pada bulan Mei 2007,
Kabinet Ramos Horta dibubarkan dan diganti dengan Kabinet Estanislau da Silva.
Lalu, sebuah remodelação do gabinete yang sedang berlangsung saat ini (Gabinete
Bloku Koligasaun yang dipimpin oleh PM Xanana Gusmão). Selain terdapat unsur
kesamaan, juga terdapat unsur perbedaan antara peristiwa remodelação do
gabinete pada periode 2002-2007 dengan apa yang terjadi pada saat ini (periode
2012-2017).
Perbedaannya adalah pembubaran Kabinet
Mari Al-katiri dipicu dari adanya konflik politik kepentingan antara elit
politik (khususnya antara kubu Mari dengan kubu Xanana) pada saat itu dan
munculnya chaos politik yang melibatkan masyarakat hingga menimbulkan banyaknya
korban nyawa dan harta benda. Sementara itu, remodelasaun di era Xanana (2014),
dapat dikatakan hampir tidak ada konflik politik kepentingan antara elit yang
ada (selain kasus Mauk Moruk), lebih-lebih semenjak Mari Al-katiri “ditidurkan”
dengan proyek Oequssei.
Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam
kasus remodelasaun 2006 terjadi secara otomatis (diikuti bubarnya para menteri)
ketika Mari Al-katiri selaku PM menyatakan mundur (rezignasaun) dari jabatannya,
begitu juga dengan Kabinet Ramos Horta sehingga tidak menimbulkan polemik yang
berkepanjangan. Sementara itu, untuk kasus remodelasaun ala Xanana dilakukan
dengan cara menyuruh para menterinya untuk mengundurkan diri, dan Xanana
sendiri masih menjabat sebagai PM (sebelumnya, rencana rezigna-an telah
disampaikan beberapa kali). Bahkan, niat mundurnya Xanana ini juga kurang
mendapat persetujuan dari Presidente da Republica Taur Matan Ruak (walaupun
pada akhirnya, Sexta, 6/2/2014, Xanana memberikan surat pengunduran dirinya
kepada Presiden).
Selanjutnya, yang membedakan adalah
bahwa Kabinet Mari Al-katiri merupakan kabinet yang dibentuk oleh Fretilin
(satu partai) yang menang maiora absolute dalam pemilihan umum Asembleia Konstituente
tahun 2001, sedangkan Kabinet Xanana dibentuk oleh koligasaun 3 partai politik
(CNRT, PD, dan Frenti-Mudansa) sebagai hasil pemilu parlementar 2012.
Sementara itu, sebagai unsur kesamaannya
adalah bahwa semua peristiwa politik remodelasaun yang ada (Mari dan Xanana) sama-sama
tidak melewati proses politik di lembaga legislative (Parlementu Nasional).
Proses politik yang dimaksud berkaitan dengan tidak adanya mosi tidak percaya
(moção de censura) atau impeachment (impugnação) dari anggota PN kepada
pemerintah. Dalam kasus remodelasaun ala Xanana saat ini, justru yang terjadi
adalah sebaliknya, di mana pemerintahan Xanana mendapatkan dukungan dan
kepercayaan yang penuh dari semua anggota Parlementu Nasional dengan
disetujuinya Orsamentu Jeral de Estadu 2015.
Faktor proses politik di Parlementu
Nasional ini sangat penting mengingat dengan system semi-parlementar yang
dianut Timor-Leste mengharuskan pemerintah (Primeiru Ministru & Ministru
sira) bertanggungjawab kepada Parlementu (Konstitusi RDTL, Artigu 107), selain
juga kepada Presidente da Republica. Dengan mencermati proses politik yang
terjadi selama 2 tahun Kabinet Bloku Koligasaun, maka sesungguhnya
pertanggungjawaban tahunan yang diberikan kepada Parlementu Nasional berjalan
mulus dan lancar-lancar saja. Artinya, unsur moção de censura atau impugnação
tidak ada. Dengan demikian, secara politik formal institusional, maka tidak ada
tuntutan perlunya perombakan Kabinet oleh para anggota PN kepada Kabinet
Xanana. Inilah kejanggalan (embaraço) pertama terkait dengan dasar politik apa
yang dijadikan alasan mengenai perlunya remodelasaun.
Kejanggalan kedua adalah berkaitan
dengan fakta bahwa secara politik dan de jure, Governo Bloco Koligação ini
dibentuk melalui aliansi maioria parlementar dari 3 partai politik (CNRT, PD
dan Frenti-Mudansa). Dari kabar yang terdengar bahwa proses remodelasaun ini
(rencana dan proses pemberhentian para menteri yang dilakukan oleh PM Xanana) tidak
melibatkan partai politik anggota koalisi. Artinya, ini merupakan sebuah
inisiatif dan tindakan sepihak (unilateral) dari PM Xanana sendiri. Secara
hukum, langkah ini sah-sah saja mengingat para menteri adalah pembantu PM.
Namun, secara politik (etika), langkah politik yang ditempuh oleh PM Xanana
(yang juga Presidente CNRT) ini kurang etis (walaupun sah-sah saja). Celakanya
lagi adalah hingga detik ini tidak terdapat sikap protes dari pihak PD dan
Frenti-Mudansa. Kedua partai ini lebih memilih bersikap “pasrah dan menerima
takdir politik” tersebut. Fakta ini menunjukan bahwa selama 2 tahun ini
ternyata tidak ada komunikasi politik yang transparan diantara partai politik
yang tergabung dalam secretariat bersama Bloku Koligasaun. Seharusnya,
secretariat ini benar-benar dapat dijadikan sebagai tempat dan instrument untuk
membangun sebuah proses komunikasi politik yang harmonis, apalagi semua
pimpinan partai politik juga menduduki posisi di kabinet (informasi yang
penulis dengar, Sekretariat Bersama Bloku Koligasaun ini hanya berfungsi pada
saat pembahasan Orsamentu Jeral de Estadu saja). Kesimpulannya adalah bahwa
wadah ini tidak berjalan secara maksimal.
Kejanggalan yang ketiga adalah masyarakat
umum tidak mengetahui mengenai alasan dilakukannya remodelasaun: mengapa
Menteri A dipertahankan dan Menteri B diberhentikan? Atau, mengapa PM Xanana
harus rezigna-an? Dan, mengapa harus diganti oleh Agio Pereira atau Rui
Araujo? Tentunya, tidak diumumkannya
faktor-faktor atau alasan tersebut, lebih banyak didasarkan pada pertimbangan
etika semata.
Tidak adanya penjelasan resmi dari pihak
PM Xanana, pada akhirnya menimbulkan berbagai macam spekulasi dan persepsi yang
beragam dalam masyarakat. Ada yang berpandangan bahwa Menteri yang
diberhentikan dinilai telah gagal dalam menjalankan tugasnya. Artinya, sukses
dalam mengeksekusi orsamentu setiap tahunnya, tetapi gagal dalam
mentransformasikan anggaran keuangan tersebut dalam bentuk program kementerian
yang nyata dan berhasil dirasakan oleh rakyat. Ada juga yang berpandangan bahwa
banyaknya pejabat yang diberhentikan karena banyaknya kasus “negative” yang
dilakukan oleh para menteri seperti ada menteri yang selingkuh kanan-kiri,
menteri terlibat dalam skandal video/foto porno, menteri yang terlibat dalam
perselingkuhan dengan pengusaha (KKN), dan sebagainya. Persepsi lainnya adalah
bahwa jumlah membru governu yang mencapai 55 orang dinilai terlalu banyak. Di
samping menyebabkan pemborosan keuangan negara, juga dapat menimbulkan
ketidakefektifan kerja. Selain itu, ada juga persepsi yang beranggapan bahwa
rendahnya kinerja Kabinet Bloku Koligasaun telah menurunkan citra PM Xanana.
Dengan remodelasaun diharapkan ada kenaikan citra Xanana dimata publik. Di
samping itu, ada persepsi bahwa remodelasaun ini mengemban misi khusus dari
Xanana terkait dengan perjuangan Timor-Leste atas minyak. Dan masih banyak
persepsi lainnya.
Dengan demikian, apapun alasan yang dijadikan
pertimbangan untuk remodelasaun (berkaitan dengan kinerja), maka sesungguhnya
bukan semata-mata kesalahan seorang Ministro atau Sekretario do Estado
melainkan sebuah kesalahan kolektiv. Benar, bahwa secara personal terdapat
menteri yang kurang memiliki kapasitas dalam bekerja atau berhadapan dengan masalah
tertentu, namun dilihat dari sudut pandang organisasi, maka posisi seorang
Ministro atau Sekretario do Estado tetaplah dengan status sebagai bawahan atau
anak buah atau pembantu seorang PM. Karenanya, seorang PM selaku pimpinan juga
harus turut bertanggung jawab.
Kejanggalan yang keempat adalah
sebagaimana diatur dalam Konstitusi Artigu 105 bahwasannya membru governu
berada dalam satu mekanisme organisasi yang namanya Conselho do Ministro.
Pertanyaannya adalah mengapa jika disinyalir atau diduga ada kesalahan yang
dilakukan oleh seorang menteri tidak dilakukan evaluasi (teguran atau
peringatan) di forum Conselho do Ministro ini? Mengapa harus menunggu 2 tahun
baru diadakan pemberhentian?
Kesemua kejanggalan-kejanggalan di atas,
mencerminkan adanya sikap ambiguitas/kebingungan dalam diri PM. Sikap ambigu
ini nampak terlihat dengan jelas manakala Xanana melakukan pertemuan dengan
elit partai politik (PD dan Frenti-Mudansa) pasca kemunduran semua membru
governu. Padahal, pada awalnya kedua partai politik tersebut ditinggalkan atau
tidak dilibatkan. “Keterlambatan politik” inilah, pada akhirnya menimbulkan
adanya spekulasi public mengenai dugaan akan sikap Xanana (CNRT) yang tidak
lagi mau berkoalisi dengan PD dan Frenti-Mudansa, dan beralih untuk “kawin”
dengan FRETILIN. Indikasi bahwa Xanana hendak melakukan koalisi “di bawah meja”
dengan FRETILIN terlihat dengan dipanggilnya beberapa elit politik FRETILIN
untuk masuk ke dalam kabinet baru yang akan dibentuk.
Bagi FRETILIN sendiri, situasi ini
sangat menentukan dan menguntungkan. Sudah barang tentu situasi politik yang
berkembang saat ini merupakan bagian dari konsesi dan kompensasi politik dari
Xanana terhadap FRETILIN atas sikap FRETILIN yang dalam setahun terakhir tidak
lagi memposisikan dirinya sebagai partai oposisi di PN, malah sebaliknya
menjadi motor penggerak utama disetujuinya Orsamentu Jeral (APBN) 2015. Alias,
tidak ada dukungan yang gratis. FRETILIN juga membutuhkan amunisi untuk
eleisaun jeral 2017.
Di sisi yang lain, Xanana juga terlihat
hendak bermain “aman”. Artinya, meskipun secara terang-terangan meninggalkan
dua partai pendukung GBK (PD dan Frenti-Mudansa), Xanana juga masih
“melibatkan” mereka dalam pembicaraan mengenai jumlah membru governu yang baru
serta PM yang baru, di mana mereka mengusulkan nama Agio Pereira sebagai PM.
Selain itu, juga masih memasukkan beberapa nama menteri lama untuk masuk ke
dalam kabinet yang baru.
Melihat situasi ini, FRETILIN melalui
Sekretaris Jenderalnya, Mari Al-katiri menyatakan bahwa PM Xanana telah
memanggil Rui Araujo untuk dipromosikan sebagai PM yang baru. Langkah politik
Xanana dan Statemen Mari ini, nampak jelas mengindikasikan bahwasannya di
antara kedua elit ini telah ada kesepakatan di bawah meja yang hanya tinggal
menunggu momentum yang tepat saja untuk mengentuk palu sebagai symbol
terbentuknya koalisi yang baru: CNRT-FRETILIN.
Pada akhirnya, pihak manakah yang
berpeluang menanggung beban politik yang berat ini? Selain rakyat Timor-Leste
sendiri, juga Presiden Taur Matan Ruak. Presiden harus menghadapi dan menerima
3 bola liar yang ditendang oleh Xanana: a) Xanana mengundurkan diri dari PM; b)
PD dan Frenti-Mudansa mengajukan Agio Pireira sebagai PM; dan c) FRETILIN
mengajukan Rui Araujo sebagai PM.
Jika perkembangan politik yang sedang
berlangsung ini, semata-mata dipahami sebagai “permainan”, maka akhir dari
permainan adalah adanya pro dan kontra atas 3 bola liar tersebut. Dengan asumsi
bahwa bola liar tersebut tidak bisa dikendalikan, maka sebagai “pemenang dalam
permainan” ini adalah Xanana kembali menjadi PM dengan catatan Presiden Taur
menolak surat pengunduran diri Xanana. Konsekuensi dari kembalinya Xanana
sebagai PM adalah dibentuknya sebuah Pemerintahan Persatuan (CNRT, FRETILIN,
PD, dan Frenti-Mudansa). Namun, apabila bola liar ini dapat dikendalikan
(Presiden menerima surat pengunduran diri Xanana), berarti pemerintahan yang
baru akan dipimpin oleh Rui Araujo sebagai sikap kompromi terhadap FRETILIN,
dengan tetap mengakomodir partai politik pendukung koalisi sebelumnya.
Dengan mencermati proses dan polemik
yang ada, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: pertama, bahwa
proses remodelasaun ini, meskipun tetap berada dalam koridor hukum
konstitusional yang ada, namun telah menempatkan “etika politik” sebagai
sesuatu yang dikesampingkan. Kedua, nampak jelas bahwa remodelasaun ini hanya
mendasarkan diri pada kepentingan para elit politik saja bukan berdasarkan
kepentingan rakyat banyak. Ketiga, remodelasaun hanya berisi tentang “politik
bagi-bagi kue kekuasaan” di antara para elit politik. Keempat, dapat dipastikan
bahwa berapapun jumlah keseluruhan membru governu yang akan dibentuk, maka
orang-orang yang mengisinya adalah para pemain lama. Dengan demikian,
remodelasaun ini hanya merombak orangnya, bukan mentalitasnya.
Fakta politik yang sedang berlangsung,
pada akhirnya melejitimasi ungkapan bernada pesimis sebagian orang: “Hanesan
deit, Maun!” Meskipun begitu, di tengah-tengah lautan pesimisme ini, tentunya
kita tetap berharap, semoga pemerintahan baru yang akan dibentuk betul-betul
mampu menyelesaikan beberapa persoalan yang mendasar yang sedang dihadapi
rakyat negeri ini. Berharap pada harapan! (Espero com Esperança!) ***
Langganan:
Postingan (Atom)