BABAK
BARU DRAMA POLITIK REMODELASAUN[1]
Husi Vladimir A. SAFI’I
Setelah berlarut-larut,
akhirnya drama politik remodelasaun inipun memasuki babak baru. Presiden Taur
Matan Ruak memutuskan untuk menerima dan menyetujui permohonan pengunduran diri
Xanana Gusmão dari jabatan PM-nya, dan menyatakan Governu Bloku Koligasaun
berstatus demisioner. Pada awalnya, drama politik ini sempat menimbulkan
berbagai macam spekulasi dan juga persepsi yang beragam di tengah-tengah
masyarakat. Meskipun begitu, mengenai bagaimana hasil akhirnya, cerita drama politik
inipun, sebenarnya sudah dapat diprediksi.
Sebuah pertanyaan cukup
mengganggu terkait dengan proses resignasaun PM, yakni: “Jika pada akhirnya
Xanana harus resigna, lalu untuk apa remodelasaun yang sudah dilakukan
sebelumnya? Bukankah ini hanya membuang-buang waktu, tenaga dan juga pikiran
saja? Bukankah dari segi waktu, tenaga dan juga pikiran, bahwa resignasaun ini
bisa dilakukan sejak awal Janeiru yang kemudian dilanjutkan dengan prosesu
forma governu yang baru?” Inilah politik. Sesuatu yang pendek bisa menjadi
panjang, yang sederhana berubah menjadi rumit. Dalam hukum materialismu
dialektika, maka proses politik yang berlangsung ini disebut “negasi ke negasi”
atau “meniadakan untuk ditiadakan.”
Sejak awal pembentukannya,
kabinet Xanana Gusmão yang diberi nama Governu Bloku Koligasaun (GBK) ini sudah
menimbulkan kontroversial berkaitan dengan jumlah Membru Governu yang mencapai
55 posisi jabatan. Sebuah jumlah yang dinilai terlalu besar dan berlebihan
untuk ukuran Timor-Leste dengan derajad kerumitan dan permasalahan yang
sesungguhnya sudah terpetakan. Banyak pihak yang menilai, bahwasannya jumlah
tersebut akan berdampak pada besarnya penggunaan Orsamentu Jeral serta hanya
akan menjadikan kinerja governu justru semakin tidak efesien dan efektif.
Dengan logika yang sederhana bahwa “orang yang gendut, cenderung susah untuk
bergerak dengan cepat dan mudah dihinggapi penyakit.”
Jumlah tersebut merupakan
konsekuensi dari pemilu parlementar 2012 yang tidak menghasilkan pemenang maioria
absoluta, dimana CNRT hanya memperoleh suara sebesar 172,909 suara atau sebesar
36.68 porzen. Posisi nomer dua diduduki oleh FRETILIN dengan suara 140,904 atau
29.89 porzen. Selanjutnya adalah PD dengan jumlah 48,579 suara atau 10.30
porzen, dan FRENTI-MUDANÇA mendapatkan 14,648 suara atau 3.11 porzen. Akhirnya, CNRT, PD dan Frenti-Mudansa
membentuk aliansi politik pasca pemilu di Parlemen dengan tujuan utama
membentuk sebuah pemerintahan. Berangkat dari koalisi inilah, jumlah membru
governu berasal.
Konsekuensi dari koligasaun
ini adalah “bagi-bagi jatah kursi kekuasaan.” Semangat mendasar dari koligasaun
adalah Partai A mendapatkan posisi apa dan Partai B pun demikian. Dari koligasaun
ini, CNRT mendapatkan jatah 29 posisi, PD mendapatkan 12 posisi, dan
Frenti-Mudansa sebanyak 6 posisi. Sisanya, diisi oleh independen (meskipun
begitu, kecenderungan politiknya adalah CNRT).
Jadi tidaklah mengherankan
apabila governu hasil koligasaun ini tidak berjalan sesuai dengan harapan
rakyat. Disamping terlalu gendut dan hanya bersisi bagi-bagi kue kekuasaan,
juga tidak berangkat dan diikat oleh suatu program atau plataforma politik yang
jelas.
Mensikapi situasi ini,
FRETILIN yang tidak berhasil menuju tampuk kekuasaan sejak pemilu parlementar
2007 dan 2012 menempatkan diri sebagai partai oposisi. Jika pada periode
Aliansi Maioria Parlementar (AMP 2007-2012), FRETILIN mengkampanyekan perlunya
Eleisaun Antisipada, maka pada periode GBK 2012-2017 ini, agenda FRETILIN
adalah menuntut kepada Xanana agar melakukan Remodelação do Governo sejak tahun
pertama masa kerja GBK. Kali ini, agenda FRETILIN berhasil.
Sikap oposisi FRETILIN
sendiri mulai berubah memasuki tahun kedua masa kerja GBK. Perubahan ini
diawali dengan dinobatkannya Sekretaris Jeral Mari Al-katiri sebagai
“Presidennya” orang Oequssei. Dan semakin menunjukkan sebagai partai pendukung
pemerintah pada saat dilaksanakannya pembahasan OJE 2015, di mana FRETILIN
sepenuhnya menyetujui dan mendukung. Tentunya, perubahan sikap ini bukan tanpa
sebab. Sikap anti GBK (thesa) berubah menjadi pro GBK (antithesa) melahirkan
sebuah sinthesa yang bernama konsesi politik yang berupa FRETILIN masuk dalam
susunan membru governu hasil remodelasaun.
Sebagai langkah politik
(konsekuensi kompromi dengan FRETILIN), maka untuk kesekian kalinya, pada awal Janeiru
2015, Xanana kembali menegaskan bahwa dirinya akan rezigna-an dan melakukan
remodelasaun sebelum tanggal 18 Fevereiru 2015 atas GBK. Statemen yang dinilai
sebagian kalangan sebagai ‘gertak sambal’ ini, pada akhirnya benar-benar
direalisasikan, di mana Xanana selaku Primeiru Ministru berkirim surat kepada
semua membru GBK untuk bersedia mengundurkan diri secara sukarela pada akhir Janeiru
2015.
Hal yang sangat mengejutkan
adalah bahwasannya rencana remodelasaun ini sepenuhnya tidak didiskusikan
terlebih dahulu dengan anggota koligasaun. Secara hukum, langkah PM Xanana ini
sah-sah saja (konstitusionil) mengingat ministru dan sekretariu estadu adalah
pembantu PM. Namun secara politik, langkah ini dinilai kurang etis (walaupun
sah juga mengingat etika juga bersifat normative dan relative).
Hal lain yang tak kalah
mengejutkan adalah sikap PD dan Frenti-Mudansa yang cenderung “pasrah menerima
takdir politik” tersebut. Sebuah takdir politik yang menyakitkan (sakitnya tuh
di sini…!!!), lebih-lebih dengan diremodela kedua top lider partai politik
tersebut dari GBK. Meskipun begitu, sikap PD dan Frenti-Mudansa di awal Fevereiru
2015 ini masih tetap memberikan dukungan kepada GBK dan mengusulkan nama Agio
Pereira sebagai kandidat PM. Sikap ini yang selanjutnya mendapatkan respon dari
FRETILIN melalui Sekjen Mari Al-katiri bahwa Xanana memanggil Rui Araujo
(membru CCF) untuk dinominasikan sebagai PM yang baru.
Ditengah-tengah tarik ulur
rencana komposisi membru governu baru, PM Xanana menyampaikan surat pengunduran
dirinya kepada Presidente da Republika Taur Matan Ruak pada tanggal 5 Fevereiru
2015. Jika pada awalnya, Presiden TMR kurang setuju dengan rencana mundurnya
Xanana, maka sikap kekurangsetujuan ini pada akhirnya berubah menjadi setuju.
Governu Bloku Koligasaun pun dinyatakan demisioner. Lalu, timbul pertanyaan:
apakah dengan demisionernya GBK ini, secara otomatis juga membuat bubarnya
Bloku Koligasaun (BK) antara CNRT, PD dan Frenti-Mudansa?
Dengan melihat perkembangan politik sejak
awal, kemungkinan besar BK masih eksis bahkan diperluas keanggotaannya dengan
masuknya FRETILIN. CNRT sebagai pemenang pemilu parlementar 2012 tetap sebagai
pihak yang berhak untuk membentuk pemerintahan baru pasca GBK untuk periode
2015-2017. Dalam konteks ini, Xanana muncul sebagai sosok kunci masuknya
FRETILIN dalam pemerintahan. Dengan demikian, maka tidaklah mustahil bila
anggota CCF Rui Araujo menduduki posisi orang nomer satu di kabinet baru yang
akan dibentuk. Ketidakmustahilan ini lebih banyak disebabkan karena lemahnya
posisi tawar PD dan Frenti-Mudansa di hadapan Xanana/CNRT dan juga Mari/FRETILIN.
Situasi politik yang
berkembang saat ini, telah menempatkan
PD dan Frenti-Mudansa dalam posisi yang terjepit dan bagai telur di ujung
tanduk. Keduanya tidak masuk dalam kategori sebagai organisasi politik yang
berani berseberangan pandangan politiknya dengan Xanana. Dengan demikian,
apapun keputusan yang diambil oleh Xanana (termasuk apabila Xanana menggandeng
FRETILIN untuk berkoalisi), maka PD dan Frenti-Mudansa akan tetap menerima.
Lalu, siapakah yang akan
membentuk governu yang baru? Terdapat beberapa opsi politik: pertama, Xanana
(CNRT) tetap memperpanjang kontrak dengan PD dan Frenti-Mudansa. Artinya, GBK
jilid kedua. Namun, ini mustahil dilakukan dengan melihat perkembangan politik
yang telah terjadi. Kedua, Xanana (CNRT) melakukan koalisi dengan FRETILIN
dengan menceraikan secara total PD dan Frenti-Mudansa. Opsi kedua ini
kemungkinan dapat saja dilakukan. Tetapi, dengan melihat adanya beberapa orang
PD dan Frenti-Mudansa yang kabarnya akan duduk kembali sebagai membru governu,
maka opsi kedua ini akan menjadi pilihan terakhir. Ketiga, Xanana (CNRT) melakukan
koalisi dengan semua partai politik yang ada di Parlementu Nasional (FRETILIN,
PD, dan Frenti-Mudansa). Sebuah pemerintahan baru dalam bentuk
unidade/persatuan politik (Guvernu Unidade Nasional). Opsi ini juga berpeluang
dipilih. Ketiga opsi tersebut dalam koridor hukum konstitusional sebagaimana
diamanatkan dalam Konstitusi Artigu 106, yang intinya menyatakan bahwa
pemerintahan dibentuk oleh koalisi partai di Parlemen apabila tidak ada
pemenang maioria absoluta dalam eleisaun jeral. Opsi yang terakhir atau keempat
adalah Xanana (CNRT) membentuk pemerintahan sendirian tanpa adanya koalisi
secara formal dengan ketiga partai politik yang ada. Dengan catatan, Xanana
mendapatkan kesepakatan atau persetujuan politik dengan elit-elit partai
politik yang ada “kesepakatan di bawah meja.” Opsi keempat ini merupakan opsi
politik bukan hokum konstitusional. Jika opsi keempat yang ditempuh, maka
politik di Timor-Leste telah menempatkan Xanana sebagai satu-satunya manusia
yang paling berkuasa sejak awal hingga akhir hayatnya meskipun Xanana sendiri
sudah tidak lagi berada atau memegang kekuasaan.
Semoga saja, pemerintahan
baru yang akan dibentuk nantinya, benar-benar mempertimbangan tentang realitas
obyektif permasalahan kehidupan rakyat Timor-Leste, seperti: uang minyak yang
pada akhirnya akan habis, ketiadaannya lapangan pekerjaan, peningkatan angka
pengangguran dalam setiap tahunnya, stagnasi ekonomi, dan sebagainya. Artinya, kita
semua berharap semoga pemerintahan baru yang akan dibentuk didasarkan pada semangat
mengedepankan kepentingan dan permasalahan rakyat, bukan sekedar “bagi-bagi
kursi kekuasaan” dan semangat menumpuk logistik untuk eleisaun jeral 2017.***
[1]
Artikel ini sudah dipublikasikan di Surat Khabar “Jornal Independente” pada
tanggal 12 Februari 2015