Sesuai dengan rencana yang sudah dijadwalkan, maka sore ini
(9/15), Presiden Timor-Leste Francisco Guterres Lu-Olo (sekaligus Presiden
FRETILIN) akan melantik Mari Alkatiri sebagai Perdana Menteri untuk periode
2017-2022. Ini berarti untuk kedua kalinya, Mari Alkatiri memegang jabatan
strategis tersebut.
Pada awalnya, saya pribadi kurang tertarik dengan sosok yang
bernama Mari bin Amude Alkatiri ini. Ketidaktertarikan ini disebabkan kurangnya
mengenal sosok satu ini, khususnya di era perjuangan pembebasan tanah air
Timor-Leste (pra 1999). Bahkan, pada waktu itu, banyak anak-anak muda
Timor-Leste sendiri yang kurang mengenal nama dan sosok Mari Alkatiri.
Kebanyakan, nama-nama yang sering dibicarakan adalah Nicolau Lobato (almarhum),
Francisco Xavier do Amaral (almarhum), dan Xanana Gusmão.
Nama Mari Alkatiri mulai mencuat ke publik Timor-Leste, juga dunia
internasional pasca 1999, khususnya semenjak dia menjabat sebagai Perdana
Menteri pada Pemerintahan Konstitusional Pertama pada tahun 2002-2006. Semenjak
itu pula, Mari Alkatiri menjadi salah satu actor principal dalam perpolitikan
nasional Timor-Leste, yang keberadaannya sejajar dengan Xanana Gusmao. Bahkan,
persepsi umum beranggapan bahwasannya perpolitikan nasional Timor-Leste hanya
“ditentukan” oleh 2 elit politik ini saja: Xanana Gusmao dan Mari Alkatiri.
Mari Alkatiri adalah penduduk Timor-Leste keturunan Arab-Yaman,
yang lahir di Dili pada tanggal 26 November 1946 (71 tahun). Mari Alkatiri
terlahir dari 10 bersaudara. Sesuai dengan nama dan asalnya, Mari Alkatiri
beragama Islam. Pendidikan dasar dan menengah formalnya ditempuh di Dili,
sedangkan perguruan tingginya di Angola dan Mozambik (Afrika). Menjelang invasi
Militer Indonesia, dia beserta istrinya meninggalkan Timor-Leste pada tanggal 4
Desember 1975. Mari Alkatiri memiliki 3 orang anak dari hasil perkawinannya dengan
Marina Ribeiro (Duta Besar
Timor-Leste untuk Mozambik), yakni Nurima Alkatiri, Solok Alkatiri dan Lukito
Alkatiri.
Mari Alkatiri merupakan salah satu aktor intelektual gerakan
kemerdekaan nasional Timor-Leste baik dari penjajahan Portugis maupun
Indonesia. Salah satu kreator bagi organisasi prokemerdekaan ASDT (Asosiasi
Sosial Demokrat Timor) yang kemudian bertransformasi menjadi FRETILIN (Front
Revolusioner untuk Kemerdekaan Timor) 1974. Secara ideologis, Mari Alkatiri
adalah pengikut sosial-demokrat (sosdem). Semenjak Kongres Luar Biasa pada Juli
1999 hingga sekarang, Mari Alkatiri menempati posisi sebagai Sekretaris
Jenderal FRETILIN.
Mari Alkatiri menjabat sebagai Perdana Menteri pada 2002-2007.
Namun, pada tahun 2006 seiiring dengan munculnya krisis politik, Mari Alkatiri DIPAKSA
oleh Xanana Gusmao untuk melepaskan jabatannya. Selanjutnya, jabatan Perdana
Menteri dilanjutkan oleh Estanislau da Silva dan Jose Ramos Horta hingga tahun
2007.
Pada pemilu parlementar 2017, FRETILIN berhasil memenangkan
pemilihan, disusul CNRT (partai politik yang dipimpin oleh Xanana Gusmao).
Sebelumnya, yakni pemilu 2012, FRETILIN dikalahkan oleh CNRT. Meskipun di tengah-tengah
krisis politik nasional, FRETILIN berhasil memenangkan pemilu 2007. Walau
memenangkan pemilu 2007, FRETILIN tidak bisa membentuk pemerintahan.
Selanjutnya, sejak tahun 2007 hingga 2017, pemerintahan dibentuk oleh CNRT
melalui koalisi di Parlemen Nasional.
Dinamika politik, mengubah komposisi kekuasaan. Pada awal tahun
2015, Xanana Gusmao mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri
dan menyerahkan posisi ini kepada Rui Araujo (anggota Komite Sentral FRETILIN).
Perubahan komposisi ini juga tidak terlepas dari KOMPROMI politik antara Mari
Alkatiri dengan Xanana Gusmao. Intinya, tidak ada kompromi yang sifatnya
gratis. Ini merupakan kompromi “tukar guling”, di mana Mari Alkatiri dan
FRETILIN mendapatkan jatah di pemerintahan dan proyek. Sebaliknya, Mari dan
FRETILIN diharuskan untuk mendukung alias tidak menggoyang kekuasaan Xanana
Gusmao. Sebagai konsekuensi dari kompromi ini, Xanana Gusmao harus memecat
beberapa menteri yang dipegang oleh PD (Partai Demokrat). Puncak dari tukar
guling ini adalah Xanana memberikan dukungan politiknya kepada Lu-Olo sebagai
calon Presiden Timor-Leste dan berhasil.
“Keharmonisan” antara Mari Alkatiri dengan Xanana Gusmao mulai
retak kembali setelah melihat hasil pemilu parlementar bulan Juli lalu, di mana
FRETILIN berhasil unggul tipis dibanding CNRT. Sesuai dengan Konstitusi RDTL,
maka FRETILIN (walaupun unggul tipis) memiliki hak untuk membentuk
pemerintahan.
Agar pemerintahan yang akan dibentuk stabil, mau tidak mau,
FRETILIN harus merangkul partai politik lainnya. Akhirnya, 4 partai politik
(CNRT, PLP, PD & KHUNTO) dipanggil oleh FRETILIN. Partai politik yang sejak
awal menolak berkoalisi dengan FRETILIN adalah CNRT. Selanjutnya, disusul PLP,
yakni partai yang dipimpin oleh Taur Matan Ruak (Presiden RDTL 2012-2017).
Akhirnya, 2 parpol (PD & KHUNTO) bersedia membangun koalisi dengan
FRETILIN. Koalisi ini, kemudian mengantarkan anggota Komite Sentral FRETILIN
sebagai Ketua Parlemen Nasional. Dalam perjalanannya, koalisi 3 parpol ini
tidak bertahan lama. Kemarin (13/9), KHUNTO menyatakan menarik diri dari
koalisi. Dengan demikian, tinggallah FRETILIN dan PD saja. Keluarnya KHUNTO,
pada akhirnya mengubah komposisi di Parlemen Nasional. Koalisi FRETILIN (23)
& PD (7) berjumlah 30 kursi, sedangkan oposisi lebih besar, yakni 35 kursi
(CNRT = 22, PLP = 8, & KHUNTO = 5).
Kembali ke sosok Mari Alkatiri. Dia dikenal sebagai politisi yang
keras kepala dan bertangan besi dan tidak kenal kompromi (meskipun faktanya melakukan
kompromi dengan Xanana Gusmao dengan menerima proyek Oequssei/Ambeno, termasuk
juga berkompromi dengan pihak Australia terkait dengan pembagian minyak di
Celah Timor).
Ketika menjabat sebagai Perdana Menteri, Mari Alkatiri melakukan
politik konfrontasi dengan pihak gereja Katholik. Akibat sikapnya ini, maka
pihak gereja kemudian memobilisi umatnya untuk menjatuhkan Mari Alkatiri pada
tahun 2005. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan “demo gereja” ini juga
mendapatkan dukungan aktif dari partai politik seperti PD. Selain itu, juga
didukung oleh Xanana Gusmao. Mari Alkatiri gagal digulingkan.
Memasuki awal tahun 2006, konflik politik pun berlanjut. Kali ini,
terjadi di dalam tubuh institusi militer (F-FDTL). F-FDTL didera isu
kedaerahan/primodial antara militer bagian barat (loromonu) dan bagian timur
(lorosae). Puncaknya, lebih dari 500 anggota F-FDTL (petisioner) yang berasal
dari bagian loromonu mengajukan petisi kepada pemerintah. Sebagai respon, maka
pemerintah yang dipimpin oleh Mari Alkatiri melalui Panglima F-FDTL Taur Matan
Ruak menyatakan memecat semua militer yang terlibat dalam pemberian petisi
tersebut. Karena dipecat, maka para Petisioner tersebut melakukan aksi
demonstrasi yang berujung pada tindak kekerasan. Aksi ini selanjutnya memicu lahirnya
konflik horizontal antar anggota mayarakat. Sebagaimana aksi ketidakpuasan
sebelumnya, maka protes 2006 ini juga mendapatkan dukungan penuh dari pihak
gereja, PD, dan juga Xanana Gusmao. Dan sebagai puncaknya, Xanana Gusmao yang
menjabat sebagai Presiden Timor-Leste akhirnya menawarkan dua opsi kepada Mari
Alkatiri, yakni mundur dengan sukarela atau dipaksa untuk mundur. Hasil
akhirnya adalah Mari Alkatiri mengundurkan diri.
Banyak yang beranggapan bahwasannya konflik politik yang terjadi
di Timor-Leste ini sesungguhnya adalah konflik antara 2 orang saja, yakni
antara Mari Alkatiri dengan Xanana Gusmao. Lebih luasnya lagi, antara FRETILIN
dengan Xanana Gusmao.
Secara historis, Xanana Gusmao tidak masuk dalam lingkaran elit
principal 1974 yang dimotori oleh Mari Alkatiri cs. (Nicolau Lobato, Xavier do
Amaral, Ramos Horta, dll). Xanana Gusmao sendiri baru menunjukkan perannya
sejak Indonesia invasi serta setelah dia berhasil melakukan reorganisasi dan
restrukturisasi (RERA) FRETILIN pada tahun 1980-an pasca kematian Nicolau
Lobato. Politik RERA ala Xanana inilah yang kemudian secara tidak langsung
menegasikan (meniadakan) eksistensi FRETILIN. Akibatnya, banyak anggota dan
pimpinan FRETILIN yang “sakit hati” terhadap Xanana. Politik RERA Xanana terus
berlanjut hingga dibentuknya CNRT (Resistensi) pada tahun 1997. Ini adalah
konflik terkait dengan “ego-legitimasi”, di mana dipihak Mari Alkatiri
menyatakan bahwa “FRETILIN sebagai satu-satunya wadah perjuangan yang sah”,
sedangkan di pihak Xanana menyatakan bahwa “yang sah adalah CNRT.”
Memang, dibanding dengan Xanana Gusmao, maka Mari Alkatiri kalah
popular. Kekalahan Mari Alkatiri ini lebih banyak disebabkan karena sejak tahun
1975 dia tidak lagi tinggal di Timor-Leste. Sejak saat itu hingga 1999, Mari
Alkatiri menjadi “bagian” dari anggota Front Diplomatik atau orang-orang
Timor-Leste yang berjuang di luar negeri. Dia mulai dikenal luas semenjak
menjabat sebagai Sekretaris Jenderal FRETILIN 1999, yakni sebuah jabatan yang
dipegang hingga detik ini.
Secara fisik, Mari Alkatiri bertemu dengan Xanana Gusmão sebelum Desember 1975. Dan,
keduanya bertemu kembali menjelang referendum 1999. Tanda-tanda konflik pun
mulai mengemuka manakala pihak PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) hanya mengakui
CNRT sebagai satu-satunya organisasi yang akan dicetak di kertas pemungutan
suara. Ketika itu, Mari Alkatiri beserta FRETILIN “kurang seberapa tunduk”
kepada Xanana Gusmão dan CNRT (FRETILIN juga menjadi
anggota CNRT).
Pada pemilu Dewan Konstituante 2001, FRETILIN berhasil memborong
55 kursi dari total 88 kursi yang diperebutkan. Dewan ini bertugas untuk
membuat Konstitusi (UUD) Timor-Leste. Salah satu point terpenting dari
Konstitusi ini adalah Timor-Leste menganut system semipresidensial atau
semiparlementar. Konsekuensinya, terdapat 2 kekuasaan eksekutif yang dipegang
oleh 2 orang yang berbeda. Selanjutnya, awal 2002, melalui perwakilan
administrasi PBB (UNTAET), maka digelarlah pemilu presiden, dan Xanana Gusmão keluar sebagai pemenang
berhadapan dengan Francisco Xavier do Amaral.
Untuk mengimbangi kekuatan FRETILIN dan hegemoni Mari Alkatiri,
maka Xanana Gusmão mendukung didirikannya sebuah
partai politik yang menyatakan diri sebagai “anaknya FRETILIN”, yakni PD. Pada
saat yang hampir bersamaan, sosdem-nya FRETILIN juga dideklarasikan, yakni ASDT
(Francisco Xavier do Amaral) dan PSD (Mario Viegas Carascalao). Selain itu,
beberapa tahun sebelumnya, “Marxisme-Leninismenya FRETILIN” juga
diproklamirkan, yakni PST (Partai Sosialis Timor) yang menyatakan diri masih memiliki
hubungan ideologis dengan PMLF (Partai Marxisme-Leninisme FRETILIN) yang
didirikan oleh Xanana Gusmão pada tahun
1981. Di luar partai politik, juga dideklarasikan organisasi CPD-RDTL (FRETILIN
Movemento atau FRETILIN Pergerakan/Perjuangan).
Aksi ketidakpuasan terhadap pemerintahan Mari Alkatiri dan
FRETILIN, sudah mulai mengemuka sejak Desember 2002. Rumah Mari Alkatiri
dibakar oleh massa. Selanjutnya pada pertengahan April 2004, mantan anggota
FALINTIL (Tentara Pembebasan Nasional Timor-Leste) yang dipimpin oleh L-7
melakukan aksi protes. Tidak hanya ini saja, sebagaimana sudah dijelaskan di
atas, kekuasaan Mari Alkatiri digoyang oleh pihak gereja dan pihak oposisi
(khususnya PD).
Berbagai macam isu penggoyangan terhadap Mari Alkatiri dan
FRETILIN terus dihembuskan mulai dari isu rasialis (Mari Alkatiri orang Arab),
agama (Mari Alkatiri orang Islam), ideologis (Mari Alkatiri seorang komunis)
hingga isu keterlibatan anggota keluarganya sebagai bagian dari kekuatan
pro-otonomi.
Perpecahan di internal FRETILIN sendiri juga mulai muncul. Sebuah
kelompok mendirikan FRETILIN MUDANSA/Perubahan. Akhirnya, kelompok ini
mendeklarasikan keluar dari FRETILIN dengan membentuk partai Frenti-Mudansa
pada tahun 2007. Pada tahun ini juga, Xanana Gusmão mendeklarasikan berdirinya CNRT (Rekontruksi). Selain itu, organisasi
pecahan FRETILIN lainnya juga didirikan, yakni UNDERTIM (L-7).
Meski digoyang dengan berbagai isu dan aksi, Mari Alkatiri masih
kokoh bertengger di kursi kekuasaan FRETILIN. Banyak yang beranggapan bahwa
selama dipimpin oleh Mari Alkatiri, maka FRETILIN tidak akan pernah menang.
Kenyataannya, Mari Alkatiri selalu menjadi Sekretaris Jenderalnya, dan FRETILIN
menang 2 kali pada pemilu parlementar tahun 2007 dan 2017.
Mari Alkatiri bukanlah figur populis sebagaimana Xanana Gusmão. Dia membangun kekuatan dan
hegemoninya di FRETILIN melalui kemampuan “politik administrasi” yang
dimilikinya. Ia bersama FRETILIN seakan-akan menjadi tembok yang susah untuk
dirobohkan. Dan kali ini, tembok ini kembali diuji. Mari Alkatiri dan FRETILIN harus
rela berbagi kue kekuasaan dengan sebuah partai politik yang sebelumnya sangat
alergi dan anti terhadap mereka, yakni PD. Banyak yang beranggapan bahwa
pemerintahan baru hasil Koalisi FRETILIN-PD (KFP) ini tidak akan bertahan lama.
Lama dan tidaknya tergantung pada 2 hal, factor internal dan eksternal.
Faktor internalnya adalah “perkawinan” FD harus mampu menghapuskan
memori hitam atau rasa tidak suka antara FRETILIN dengan PD yang terjadi selama
kurang lebih selama 15 tahun. Ini adalah beban psikologis politik yang berat
bagi Mari Alkatiri. Mengingat, PD adalah organisasi yang secara politik dan
emosional memiliki hubungan yang kuat dengan Xanana Gusmão.
Selain itu, Mari Alkatiri harus berhadapan dengan kekuatan oposisi
seperti CNRT, PLP, dan kemungkinan besar
KHUNTO, yang jumlahnya lebih besar di Parlemen Nasional.
Dan, yang lebih penting lagi adalah pemerintahan Mari Alkatiri cs
harus berhadapan dan mampu menghadapi persoalan obyektif yang sedang menimpa
negeri ini, seperti stagnasi (kemacetan) produksi ekonomi nasional, dominasi
kekuatan modal China, bertambahnya angka pengangguran intelektual, ketidakjelasan
pengembangan sumber daya manusia (sektor pendidikan), dan sebagainya. Apalagi,
ketika harus berhadapan dengan segala bentuk dan praktek KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme).
Benar. FRETILIN dan PD selama kampanye sama-sama meneriakkan “Viva
Povu Maubere atau Hidup Rakyat Maubere.” Kenyataannya, banyak kebijakan mereka
yang justru menyengsarakan kehidupan rakyat Maubere (Lei Pensaun Vitalisia,
dll). Memang, mereka sama-sama anti terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Namun, sayangnya mereka tidak anti terhadap kapitalisme.
Dan, ini yang nggak kalah pentingnya berkaitan dengan “bertahan
dan tidaknya pemerintahan Mari Alkatiri:
- Apakah Xanana Gusmão (CNRT), Taur Matan Ruak (PLP), dan KHUNTO (Naimori) benar-benar akan menjalankan fungsinya sebagai oposisi yang 100 persen? Ataukah hanya oposisi setengah hati sebagaimana yang sudah ditunjukkan selama ini oleh FRETILIN?
- Apakah rakyat Timor-Leste MASIH TERTARIK dengan keadaan politik yang berlangsung selama ini, baik ketertarikan untuk mendukung atau menolak kebijakan pemerintahan yang ada? Mengingat bahwa semua actor di pemerintahan baru ini adalah pemain lama?
Facebook: https://web.facebook.com/vladimir.desafii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar