Sejarah Demokrasi di
Timor Leste
Bagian Kedua
By Vladimir Ageu DE SAFI'I
Sejarah dan proses perkembangan
demokrasi di Timor Leste untuk pertama kalinya dapat dipastikan bermula pada
era 1970-an. Ini seiring dengan perubahan politik dalam negeri Portugal yang
pada saat itu sedang dilanda revolusi sosial: revolusi bunga. Keberhasilan
dalam menggulingkan rezim lama oleh rezim revolusioner yang dimotori oleh
militer ini, secara politik telah juga membawa perubahan kebijakan menyangkut
status pemerintahan negeri-negeri jajahan. Selain itu, mulai kuatnya ide
kemerdekaan di masing-masing negeri jajahan, juga turut mempercepat proses
penyebaran ide pembebasan nasional.
Di Timor Leste sendiri, ide dan gerakan
perlawanan yang lebih modern dengan melibatkan kekuatan yang relative massif
dimulai sejak meletusnya pemberontakan yang dipimpin oleh Liurai Manufahi, Dom
Boventura, antara tahun 1910-1912. Selain pemberontakan tersebut, peristiwa
Viequeque pada tahun 1959, juga cukup banyak mengispirasi ide-ide dan peristiwa
di masa selanjutnya. Peristiwa-peristiwa inilah yang mengilhami lahirnya
tokoh-tokoh perlawanan muda, yang selanjutnya di era sekarang kita sebut
sebagai generasi 1975. Di samping itu juga, mulai diberlakukannya kebijakan dan
akses rakyat dibidang pendidikan (meskipun masih sebatas bagi golongan atas)
oleh penguasa Portugis secara kultura telah membuka dan munculnya golongan
masyarakat terpelajar. Dari sini pula, pengetahuan-pengetahuan tentang ide-ide
kemerdekaan serta demokrasi mulai muncul.
Selanjutnya, ide dan konsep demokrasi
mulai menemukan institusi pertamanya di negeri ini seiring dengan dipakainya
istilah demokrasi untuk nama organisasi social politik pada bulan Mei 1974,
seperti Union Demokrasia Timorense (UDT), Asosiasaun Sosial Demokrasia
Timorense (ASDT), dan Asosiasaun Popular Demokrasia Timorense (APODETI). Terlepas
dari tujuan politik dan aksi-aksi politik yang dilakukan, maka dapat dikatakan
bahwa ketiga pendiri dan organisasi tersebut adalah pelopor disosialisasikannya
ide demokrasi. Dan ide demokrasi ini semakin menemukan bentuk formalnya, ketika
pada tanggal 28 November 1975 secara resmi dipakai sebagai nama Negara:
Republika Demokratika Timor Leste.
Penjelasan di atas merupakan fase awal
di mana ide demokrasi muncul bersamaan dengan gerakan pembebasan nasional
menentang praktek kolonialisme Portugal. Ide-ide demokrasi bercampur dengan
semangat nasionalisme dan patriotisme; bercampur dengan semangat anti
penjajahan.
Peristiwa invasi militer Indonesia pasca
proklamasi kemerdekaan menjadi babak baru atas perkembangan demokrasi di Timor
Leste. Ini menjadi pertanda ditutupnya fase pertama. Memasuki fase kedua ini,
meskipun dalam situasi yang hampir sama, yakni sama-sama di bawah kekuasaan
pemerintah kolonialis (pra 1975: Portugis, pasca 1975: Indonesia), namun
terdapat perbedaan kebijakan terhadap negeri jajahan. Dengan diresmikannya
Timor Timur sebagai Propinsi ke-27 Indonesia, membawa konsekuensi diterapkannya
sistem dan kebijakan yang dijalankan pemerintahan Jakarta. Sebagaimana
propinsi-propinsi lainnya, Timor Timur pun diharuskan untuk melaksanakan apa yang
menjadi kebijakan pemerintah pusat.
Singkatnya, di era Indonesia tersebut,
rakyat Timor Leste mulai memasuki babak baru dengan diperkenalkannya ide-ide
demokrasi dalam doktrin ‘Demokrasi Pancasila’ dengan gaya rezim Orde Baru:
militeristik. Untuk pertama kalinya di era Indonesia ini, rakyat Timor Timur
diharuskan untuk mengikuti pemilihan umum guna memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat/DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD Tingkat I Propinsi dan DPRD
Tingkat II Kabupaten/Kotamadya pada tahun 1982. Selanjutnya, berturut-turut
pada Pemilu 1987, 1992, 1997, dan 1999.
Jadi, berbicara mengenai demokrasi di
Timor Leste tidak bisa dilepaskan dari aktivitas gerakan pembebasan nasional.
Jika di era Timor Portugis, demokrasi dijadikan sebagai nilai utama pembentukan
negara RDTL pada tahun 1975, maka pada era Timor Indonesia, demokrasi juga
dipakai di samping sebagai nilai-nilai perjuangan juga sekaligus strategi
perjuangan pembebasan nasional oleh para pejuang dan aktivis.
Di kalangan kelompok klandestin, khususnya
yang bergerak di Indonesia (Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) para
aktivis mahasiswa dan pemuda Timor Timur (IMPETTU/Ikatan Mahasiswa dan Pelajar
Timor Timur koorditorat IMPETTU se Idonesia terus DPP IMPETTU langsung dibawah
maun bot KY Xanana, RENITIL/Resistensia Estudante Nasional Timor Leste,
AST/Asosiasaun Sosialista de Timor, GMTTP/Gerakan Mahasiswa Timor Timur untuk
Perdamaian, dan sebagainya) menggunakan demokrasi sebagai salah satu strategi
perjuangan guna memerdekakan Timor Leste. Para aktivis beranggapan bahwa
terbukanya peluang dan adanya proses demokratisasi yang meluas di Indonesia
akan memberikan peluangan bagi kebebasan bergerak para aktivis dan rakyat Timor
Leste. Karenanya, kerjasama antar pejuang Timor Leste dengan gerakan kelompok
pro demokrasi di Indonesia harus dilakukan. Pada akhirnya, strategi ini
terbukti cukup efektif dan berhasil.
Peristiwa Mei 1998 dengan tergulingnya
Soeharto dari jabatan Presidennya, menjadi titik/tonggak awal bagi terwujudnya
kemerdekaan Timor Leste. B.J. Habibie selaku Presiden pengganti Soeharto
memutuskan dengan melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
menyatakan perlunya diadakan referendum untuk penentuan nasib sendiri bagi
rakyat Timor Leste. Selanjutnya, pada akhir tahun 1999 dengan pemantauan badan
internasional PBB, sebuah referendum dilaksanakan di Timor Timur, dan hasilnya
adalah Timor Timur berdiri sebagai negara sendiri dengan nama RDTL, yang
kemudian dikukuhkan secara formal pada tanggal 20 Mei 2002. (Bersambung)****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar