SISI LAIN KEHIDUPAN RAKYAT
TIMOR LESTE
(Maubereismo: Marxismo Timor?)
Pada tahun 2003, aku bertemu dengan seorang anak yang bernama Marcos.
Saat itu usianya sekitar 8 tahun. Ia anak suku bangsa Mambai. Ia tinggal
di Tuana Laran (Dili) dengan orang tuanya. Ia tidak bersekolah, dan ia
lebih memilih untuk menjadi seorang maubere tulen: maubere ai-leba
(golongan masyarakat yang mempertahankan kehidupan
dengan menggunakan pikulan dari kayu untuk berjualan sayur mayor atau
buah-buahan).
Ia berjualan sabraka/jeruk saat musim sabraka, atau
menjual pisang kala musim pisang, sesekali juga mangga. Ia berjualan
dengan cara dipikul dengan cirri khas kehidupan anak-anak maubere
lainnya: berjalan kaki dengan tanpa alas kaki.
2010, aku kembali bertemu
dengannya di sebuah rumah di kawasan Vila Verde (Dili) setelah lebih
dari 6 tahun tidak melihatnya. Ia sudah besar. Tubuhnya kekar. Rambutnya
dibiarkan memanjang. Ia sudah 14 tahun.
Tetap. Marcos tetap si anak
yang berjalan kaki, bedanya ia kini menggunakan alas kaki: sandal jepit
seharga 0,75 cent. Tetap. Ia menggunakan kayu pikulan: ai-leba. Tetap.
Ia tetap seorang anak ai-leba yang tumbuh menjadi remaja ai-leba. Ia
menawarkan padaku: sayur kangkung. Aku pun bertanya padanya: “Marcos,
kini kamu sudah besar dan tetap dengan memikul barang dagangan…!?”
Dengan santai, ia menjawab: “Kakak, aku jadi ai-leba, bukan karena
keinginanku. Ini adalah warisan dari nenek moyangku. Mereka
mempertahankan dan melanjutkan kehidupan pada kami dengan cara sebagai
seorang ai-leba. Memang, aku sempat bertanya pada Bapakku: ‘mengapa aku
harus menjadi seorang anak ai-leba?’ Bapakku menjawab: ‘Dulu, kakekmu
adalah seorang ai-leba di zaman Portugis. Lalu, kakekmu mewariskan
kehidupan ini pada bapakmu untuk menjadi seorang ai-leba juga pada zaman
Indonesia. Karena kakekmu adalah ai-leba, bapakmu juga seorang ai-leba,
maka dirimu juga harus tetap melanjutkan tradisi kehidupan ai-leba di
era kemerdekaan ini.’ Inilah, kenapa aku tetap menjadi seorang Ai-leba.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar