Selasa, 13 November 2012

Organização da Luta Massa Universitario (Povo) de Timor Leste

Organização da Luta Massa Universitario (Povo) de Timor Leste
Vladimir Ageu DE SAFI'I
ORGANISASI PERJUANGAN 
MASSA MAHASISWA (RAKYAT) 
TIMOR LESTE

 Organização da Luta Massa Universitario (Povo) de Timor Leste
By Vladimir Ageu DE SAFI’I




 
1.   Sepintas Kondisi Sosial-Politik Timor Leste
Dari Masyarakat Budak ke Manusia Merdeka: 
Komplikasi Mentalitas Sosial

Vladimir, Lavan, Kina
Foto: Bersama Keluarga
Sejak diresmikan dan diakuinya Timor Leste sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat oleh dunia internasional pasca referendum/konsultasi popular 1999, maka terdapat sebuah peningkatan sirkulasi kapital di negeri ini. Timor Leste mendadak berubah menjadi negara yang bermandikan uang (dollar). Baik pihak internasional maupun pihak pemerintah Timor Leste sendiri, terlihat begitu mudah membagi-bagikan uang kepada “rakyat”. Alasan mereka seragam: kondisi emergensi! Tentu saja, situasi ini membawa dampak perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat Timor Leste.
Sebenarnya, hidup bergelimang dan dimanjakan oleh uang ini tidak terjadi di era kemerdekaan saja, di era Propinsi Timor Timur, pemerintah Indonesia juga begitu “menganakemaskan” masyarakat Timor Leste. Pemerintah Indonesia berperan sebagai peletak batu pertama terhadap mentalitas pemanjaan ini. Tentunya, kebijakan ini mengakibatkan timbulnya “keterkejutan social”.
Shock! Masyarakat Timor Leste yang hidup lebih dari 400 tahun di bawah sistem perbudakan kolonialisme Portugal dengan status sebagai budak. Situasi ini berubah manakala Indonesia masuk dengan kebijakan yang berlainan. Sejak invasi Indonesia tahun 1975, masyarakat Timor Leste menjadi masyarakat yang memegang uang. Artinya, babak kehidupan dengan pola baru dijalankan oleh penduduk ini.
Timor Girls
Anak-anak muda di Ibukota Dili
Dengan dua system yang berbeda yang diterapkan oleh dua kolonialis yang berbeda ini pada akhirnya membentuk struktur social dan mentalitas masyarakat sebagaimana yang kita lihat saat ini: sebuah mentalitas seperti budak[1] dan sekaligus pengemis[2].
Sistem kolonialisme dengan pola perbudakan yang diterapkan oleh Portugal tidak memungkinkan bagi bangsa ini untuk tumbuh sebagai manusia yang bebas. Jadi, sebuah lompatan psikologis dari “status budak” di era kolonialisme ke “status sebagai manusia yang merdeka” di era kemerdekaan.
Dengan melihat pada perkembangan yang ada saat ini, maka indikasi meningkatnya mentalitas ketergantungan dan kemanjaan masyarakat terhadap santuanan/pemberian “sedekah” semakin menemukan tempatnya, manakala pemerintah memposisikan dirinya sebagai MAJIKAN yang penuh welas-asih dengan mengimplementasikan program-program yang bernafaskan “ketergantungan”.
Dengan alasan memberikan pekerjaan kepada penduduk serta memulihkan kondisi pascakonflik April 2006, pemerintah memobilisasi masyarakat untuk melakukan kerja bakti dengan upah US$ 3 perhari di bairo-bairo/perkampungan-perkampungan. Dampak negativ dari program ini adalah “masyarakat menjadi semakin malas untuk bekerja, sekalipun untuk membersihkan rumput di halaman rumahnya sendiri”. Mereka baru termotivasi atau tergerak untuk bekerja bila ada upah/imbalannya.
Pasir Putih, Dili
Gadis Pantai
Proses pensistematikan mentalitas ketergantungan ini dapat pula dilihat dari program-program pemerintah yang lain. Pada sector pertanian, dengan alasan untuk mengubah pola produksi pertanian masyarakat dari pola produksi subsisten ke modern, maka pemerintah membagi-bagikan secara gratis peralatan pertanian beserta perawatannya (mulai dari traktor, mesin perontok padi/gabah, mesin giling padi, mesin giling jagung, mesin parut kelapa, mesin giling kopi, dan sebagainya) hingga bibit dan juga obat-obatannya. Tentu, kebijakan demikian sangat kontradiktif dengan kondisi obyektif yang sebenarnya. Di mana masyarakat yang pola produksi dan pikirnya masih SUBSISTEN “dipaksa” untuk diarahkan menjadi pola produksi KOMERSIIL.
Pensistematikan lainnya, yang cukup signifikan adalah terkait dengan kebijakan pemerintah dibidang infrastruktur. Proyek-proyek pembangunan sarana infrastruktur dilakukan secara besar-besaran, walaupun dengan hasil akhir yang kurang maksimal alias “fakar osan”---bagi-bagi uang melalui proyek pemerintahan. Kondisi ini telah melahirkan tumbuhnya segolongan KELAS MENENGAH yang tidak berdaya: sebuah kelas menengah yang sangat tergantung pada proyek pemerintah. Jika kita perhatikan secara cermat, maka kebijakan pemerintah ini bukanlah untuk memajukan rakyat Timor Leste, melainkan untuk melanjutkan dan mengintensifkan penghisapan kembali atas praktek kolonialisme terhadap rakyat Timor Leste (Neo-kolonialisme).
District Lospalos
Traditional dances of Timor Leste: "Tebe-Tebe"
Pemerintah secara sengaja mendorong dan memberikan peluang bagi didirikannya badan-badan usaha di bidang bisnis (kebijakan mendirikan perusahaan pribadi) dengan maksud untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintahan. Dari sekitar 5.000 perusahaan pribadi yang ada, dapat dibilang 99 persen hanya bermodalkan proposal, artinya tanpa dibarengi dengan kepemilikan kapital dan property lainnya. Selain itu, tak ada kompetisi yang sehat dalam hal-hal mendapatkan proyek pemerintahan. Mayoritas, semua proyek yang “dimenangkan” oleh semua perusahaan tersebut melalui penunjukkan atau mengikuti “Jalur clik dot com.”
Inilah barisan kelas menengah yang hendak dibangun di negeri ini. Segolongan kelas menengah yang rapuh dan sangat dependen/tergantung pada kekuasaan politik. Di samping itu, mereka adalah segolongan calon kelas menengah (calon borjuasi) yang jauh dari karakter kapitalis. Segolongan manusia yang sangat boros dan tidak tahu mengelola akan kapital yang telah dimiliki dari hasil pengerjaan proyek pemerintah yang didapat sebelumnya. Segolongan kelompok masyarakat yang hanya tahu akan cara menghabiskan uang: menang proyek langsung beli mobil baru, pergi liburan. Pulang dari liburan, uang proyek turut ludes/habis---kembali ke asal!
Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya investor asing---tepatnya pengusaha-pengusaha asing, mengingat keberadaan mereka di Timor Leste bukan untuk melakukan investasi modal, melainkan mencari modal dari proyek-proyek pemerintah yang ada. Kebanyakan para “investor asing” ini melakukan aktivitas pengerukan modal dengan cara menggaet satu atau lebih perusahaan yang dimiliki oleh pribumi (Peraturan tentang investasi juga mengharuskan syarat demikian). Sudah pasti, harapan dari pemerintah adalah agar pengusaha pribumi mendapatkan pengalaman dan pembagian modal ketika bekerjasama dengan pengusaha asing tersebut. Tetapi mungkinkah?
Jelas tidak mungkin. Dalam kasus REKANAN BISNIS antara pengusaha pribumi dan asing, untuk pertama-tama didirikan berdasarkan pada KETIDAKSEJAJARAN dalam segala hal. Intinya, pengusaha pribumi berada dalam posisi yang rendah dan lemah. Ini disebabkan karena mereka berangkat dengan tanpa kapasitas modal dan pengalaman/profesionalisme pekerjaan: modal lobby dan nekat!
Dengan demikian, eksistensi dari calon kelas menengah yang hendak dibangun ini bersifat sangat lemah, labil, dan cenderung tidak bertahan lama. Dampak lainnya adalah bahwa muncul kecenderungan “potensi konflik” di antara sesama mereka. Konflik yang ada cukup varian dengan tensi yang hampir sama.

Dili: Organização da Luta Massa Universitario (Povo) de Timor Leste
Performance Girl, Dili Beach
Pertama-tama akan terjadi di masing-masing internal perusahaan yang ada. Kongsi internal akan dilanda perpecahan terkait dengan pembagian keuntungan hasil proyek. Kedua, konflik di antara sesama pengusaha pribumi. Konflik ini dipicu oleh persaingan di dalam mendapatkan proyek pemerintahan serta perebutan status social/gaya hidup. Ketiga,  konflik antara pengusaha pribumi yang sendiri dengan pengusaha pribumi yang menjadi rekanan bisnis pebisnis asing. Keempat, konflik antara sesama pengusaha pribumi yang menjadi rekanan bisnis pengusaha asing.
Pada sisi yang lain, kebijakan penguatan kelas menengah ini juga memicu terhadap semakin lebarnya jarak gap social masyarakat. Pada satu sisi, kebijakan ini melahirkan segolongan orang yang hidup bergelimang harta, sementara di sisi lain semakin menyebabkan golongan masyarakat miskin menjadi semakin termarjinalkan.
Pelan-pelan dan pasti, kontradiksi di antara dua (2) golongan ini mulai menemukan bentuk: golongan kaya versus miskin. Faktor kecemburuan sosial akan menjadi pemicu awal terhadap meletusnya ketegangan social dari golongan-golongan tersebut.
Sedikitnya jumlah penduduk dan sempitnya wilayah Timor Leste menjadikan segala sesuatu yang terjadi dengan segala perubahan yang ada, akan dengan cepat diketahui oleh penduduk lainnya. Tetangga rumah akan cepat mengetahui dan segera berkomentar bahwa tetangga lain yang tinggal di sebelah rumahnya---sebelumnya adalah sebuah keluarga yang miskin atau kondisinya sama dengan dirinya--- mendadak berubah menjadi keluarga yang kaya setelah mendapatkan proyek pemerintah.
Bukan hanya hal-hal sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, perubahan hidup masyarakat dengan tingkat dependensinya yang tinggi, juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam hal pemberian santunan bagi golongan tertentu. Banyak anggota masyarakat, khususnya para veteran kemerdekaan, yang mendadak kaya setelah dinobatkan menjadi “veteran”. Setiap bulan, golongan ini (juga bagi para janda dan anak-anak yatim piatu) mendapatkan uang santunan. Selain itu, dengan bermodalkan “lebel veteran” ini, mereka juga ikut-ikutan mendirikan perusahaan untuk ikut dalam perebutan proyek pemerintah.
Celakanya, hampir terjadi kecenderungan yang sama dalam hal mentalitas dari Golongan Kaya Baru Timor Leste ini, yakni sama-sama tidak memiliki kemampuan di dalam mengelola keuangan.

Pemuda dan Pengangguran
District Lospalos
Anak-anak sedang berdansa di Distrik Lospalos
Persoalan social serius yang saat ini sedang mengancam situasi nasional Timor Leste adalah berhubungan dengan jumlah pemuda dan pengangguran. Berdasarkan sensus 2010, jumlah pemuda lebih dari sepertiga total populasi yang ada atau lebih dari 300 ribu jiwa. Mayoritas para pemuda ini hidup dengan tanpa pekerjaan. Keberadaan mereka menyebar di 13 distrik, namun jumlah terbesar berada di Ibukota Dili.
Sementara itu, jumlah pengangguran sendiri, secara statistik tidak pasti, meskipun ada data sensus. Namun, sebuah angka pengangguran meningkat secara pasti dalam setiap tahunnya terkait dengan lulusan SMA, di mana dalam setiap tahunnya mencapai 15 ribu jiwa. Angka pengangguran dengan alasan tidak bisa melanjutkan ke jenjang universitas atau tidak mendapatkan pekerjaan sendiri dari angka tersebut sekitar 9 ribu jiwa. Angka 9 ribu jiwa ini berasal dari asumsi bahwa dari 15 ribu – (dikurangi) sekitar 4 ribu yang melanjutkan ke bangku universitas baik dalam maupun luar negeri, lalu – (dikurangi) 1 ribu yang mendapatkan pekerjaan pekerjaan tetap, dan – (dikurangi) 1 ribu lagi yang bekerja di pedesaan (petani). Dengan asumsi demikian, maka dalam 5 tahun ke depan angka pengangguran dari lulusan SMA ini akan mencapai sekitar 45 ribu jiwa.
Selain itu, jumlah pengangguran akan juga naik di lulusan perguruan tinggi, baik lulasan dalam negeri maupun luar negeri. Dalam setiap tahunnya, jumlah lulusan yang telah mendapatkan graduasi bisa mencapai 1.000 sarjana. Sementara, pemerintah memiliki keterbatasan dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi para sarjana ini.
Dengan mengambil pengalaman sebelumnya, kebijakan pemerintah terkait dengan penciptaan lapangan pekerjaan (campo do trabalho) ini hanya memakai 3 pola, yakni (1) Penerimaan pegawai negeri (funçionario public), baik sipil, militer maupun polisi (jumlahnya sangat terbatas); (2) Jalur proyek-proyek infrastruktur pemerintahan. Dengan jalur ini diharapkan dapat menampung secara temporer para desemprego/pengangguran; (3) Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri (jumlahnya sangat terbatas).
Sementara itu, upaya-upaya penciptaan lapangan kerja di sektor pertanian dan industri, dapat dikatakan: praktis kurang berhasil. Kebijakan dan program pertanian yang selama ini dijalankan ternyata tidak mampu menarik minat penduduk desa, khususnya pemuda pedesaan, untuk tetap bekerja di sektor pertanian. Program pertanian kurang mampu membangkitkan semangat para penduduk desa sebagai jaminan kelangsungan hidup dan pertarungan status sosial di masa yang akan datang. Produk-produk pertanian dinilai kurang dapat memberikan janji perbaikan kehidupan sosial jika dibandingkan dengan orang-orang yang selama ini bekerja sebagai pegawai negeri, tenaga kerja luar negeri serta mendirikan perusahaan untuk tender. Celakanya lagi, pada saat yang bersamaan pemerintah juga membiarkan produk-produk pertanian impor membanjiri pasaran dalam negeri.
Intinya, 3 pola yang dijalankan pemerintah tersebut bukan suatu jawaban permanen untuk mampu mengatasi lonjakan angka tenaga kerja produktif. Dengan demikian, resep ini sifatnya hanya menahan sementara, menahan meletusnya konflik social akibat ketidakseimbangan kehidupan social.

Sektor Pendidikan

Massa Fretilin-LuOlo: Organização da Luta Massa Universitario (Povo) de Timor Leste
Massa Kampanye FRETILIN
Sebagai sebuah negara baru dengan sistem birokrasinya, sudah pasti Timor Leste membutuhkan para pegawai negeri professional untuk menjalankan administrasi pemerintahan dengan gelar kesarjanaan. Melihat realitas tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, maka pemerintah membuat kebijakan: (1) Mengirim pelajar ke luar negeri, baik untuk S-1 atau S-2; (2) Membiarkan tumbuhnya universitas-universitas swasta di dalam negeri. 
Intinya, tuntutan pembangunan di bidang pendidikan menjadi focus tersendiri atas kebijakan pemerintahan. Mahasiswa Timor Leste, lahir dari proses ini. Intinya, mahasiswa Timor Leste dilahirkan bukan untuk menjadi sosok manusia intelektual yang humanis, melainkan untuk memenuhi dan mendukung sirkualsi kapital tersebut.
Jika dicermati secara lebih mendalam lagi, semua kurikulum pendidikan di semua nivel--- departemento e fakuldade iha universidade (UNTL, UNPAZ, UNDIL, IOB, DIT, dan lainnya)---yang dibuka lebih banyak mengabdi untuk kepentingan kelompok penguasa dan kelompok bisnisman. Kurikulum yang diberlakukan, jauh sekali dari kalimat “mencerminkan kehidupan dan kepentingan obyektif” rakyat Timor Leste, yang notabene adalah povo maubere. Dengan situasi yang demikian, maka ke depannya, institusaun edukasaun formal akan berevolusi sebagai agen pembodohan rakyat yang secara sengaja dan dilegalkan oleh Negara. “Mengapa hal ini dapat terjadi?”
Sebagaimana kita ketahui bahwa kebutuhan kapitalisme (baca: dunia bisnis) saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam jumlah besar merangsang tumbuh dan berekspansinya universidade  secara cepat.  Dengan berdalih/berargumentasi pada konsep ‘profesionalisme’, maka program-program studi yang dibuka di sebuah universidade sama sekali tidak  berhu­bungan dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia. Justru sebaliknya, hanya memproduksi atau menghasilkan "proletarianisasi/pemiskinan"  tenaga  intelektual, yang tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis (intelektual yang teralienasi/terasing dari disiplin ilmu yang dipelajarinya). Hingga detik ini, kita tidak tahu persis mengenai angka pengangguran intelektual di Timor Leste. Namun, yang pasti adalah bahwa dalam setiap tahunnya angka lulusan Sarjana S-1 dan S-2 terus bertambah, di tengah-tengah ketiadaannya kampu servisu.
Lider Adat Ainaro
Bersama tokoh adat di Distrik Ainaro
Secara langsung, institusaun edukasaun formal, bersama-sama dengan negara, telah menjalankan fungsi yang berkebalikan (kontradiksi) dengan fungsi dan niatan awal didirikan/dibutuhkannya instituto edukasaun formal. Sekolah atau universidade hanya menjalankan satu fungsi: memintarkan anak didik (halo matenek deit), bukan membuat mengerti anak didik (laos halo komprende). Anak didik hanya pintar mengucapkan/menghapalkan bilangan perkalian 1 x 1 = 1, namun tak mengerti mengapa 1 x 1 = 1.  Seorang Sarjana Strata 1 (S-1) yang telah menyelesaikan kelanjutannya pada jenjang S-2 hanya tahu bahwa setelah S-1 adalah S-2 dan selanjutnya S-3. Atau S-2 yang ditempuhnya hanya dipahami sekedar sebagai syarat formalidade kenaikan pangkat jabatan kepegawaian pemerintahan dari nivel 4/5 ke nivel 6 terkait dengan besaran salari yang diterima dalam setiap bulannya, tanpa mengetahui dan mengerti mengapa “aku harus naik ke nivel 6? Salariku harus naik? Dan jabatanku adalah Direktur A?” Inilah salah satu potret dari pendidikan di negeri kita, serta negara-negara yang dicengkeram oleh sistem kapitalisme.
Cepat atau lambat, realitas dunia pendidikan sebagaimana dijelaskan diatas, pada akhirnya akan memunculkan lahirnya janin-janin perlawanan dari golongan intelektual itu sendiri. Golongan intelektual yang memberontak atas ketidaksingkronan antara harapan yang diimpikan dengan realitas yang dirasakan. Bibit-bibit ini, meskipun masih dalam ukuran yang relative kecil dan belum terorganisir secara ideologis (sporadis dan spontanitas), namun karena mewakili kepentingan masa depan juga sudah mulai nampak akan kekuatannya. Aksi protes baik di dalam kampus maupun dengan cara turun ke jalan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa UNDIL, UNTL menjadi cikal-bakal dan sekaligus bukti bahwa kontradiksi di dalam sistem pendidikan yang kapitalistik akan berdampak pada dilahirkannya anak-anak anti kapitalisme itu sendiri. 
Dengan demikian, guna menghindari terjadinya aksi-aksi perlawanan yang tak bermasa depan, maka seyogyanya, gerakan-gerakan tersebut harus pula dibekali dengan pemahaman dan pengetahuan yang memadai akan teori gerakan. Jadi, gerakan mahasiswa yang ada akan mampu bersinergis dengan gerakan rakyat maubere secara keseluruhan, yang pada dasarnya juga merasakan hal yang serupa: tertindas tetapi tidak menyadari jika dirinya ditindas!

Massa Politic
Populasaun Distrito Ainaro
Pelan-pelan dan pasti, pengaruh kapitalisme merasuk ke dalam masyarakat Timor Leste, yang mendorong lahirnya kelas-kelas baru dalam masyarakat Timor Leste, yaitu: golongan rakyat miskin (proletariat), golongan borjuasi kecil/kelas menengah (intelektual dan pengusaha-pengusaha instan), dan golongan elit (borjuasi Timor Leste yang bekerjasama dan menjadi agen dari konsorsium-konsorsium internasional).
Satu hal yang cukup mencemaskan atas perkembangan situasi social tersebut adalah tidak diikutinya dengan adanya pengorganisasian terhadap rakyat. Partai-partai politik yang ada hanya memanfaatkan suara rakyat untuk mendapatkan dukungannya pada pemilihan umum. Permasalahan-permasalahan rakyat sekedar dijadikan isu-isu politik (konsumsi politik) oleh para anggota Parlemen di gedung Parlemen Nasional demi kepentingan pembangunan citra dan penguatan posisi social politiknya dalam masyarakat. Dalam situasi seperti inilah, peranan mahasiswa Timor Leste akan sangat menentukan.
Pembangunan organisasi dan program perjuangan gerakan massa mahasiswa Timor Leste harus berangkat dari kondisi obyektif sebagaimana diungkapkan di atas. Organisasi ini harus memiliki visi dan misi ke depan. Sebuah misi liberta povuMuabere---Pembebasan Rakyat Maubere!
Saat ini, Timor Leste sedang kehilangan pegangan. Seperti dalam kisah Nabi Musa, maka rakyat Timor Leste tidak memiliki tongkat sebagai pegangan/penunjuk jalan. Karenanya, menjadi sangat mendesak untuk selekas mungkin menemukan rumusan baru; ideologi atau paradigma baru; semangat baru sebagai tongkat penunjuk arah bagi masa depan rakyat Timor Leste.  Dalam konteks inilah, “maubereisme” harus direkontruksi. Perekontruksian atas konsep ini akan memudahkan bagi kawan-kawan Mauberista dalam membaca, menganalisa, dan mengubah realitas yang dihadapi Povu Maubere. Ini mengandung pengertian, bahwa teori Maubereisme akan membimbing dan memberikan petunjuk dalam gerakan dan perjuangan nasional.
Pekerjaan perekontruksian ini, tentunya tidak mudah. Ini juga membutuhkan waktu yang relative lama. Selain, disebabkan akan keterbatasan mengenai data-data atau dokumen-dokumen tentang perilaku dan kehidupan kaum maubere, juga disebabkan lemahnya aktivitas dan lemahnya gerakan maubereisme itu sendiri. Kernyataan lainnya adalah juga dihadapkan pada banyaknya orang yang merasa alergi mendengar istilah ‘maubere’ apalagi ‘maubereisme. Namun, semua ini, tentunya tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk ditinggalkannya pekerjaan penulisan dalam rangka perekontruksian ideology maubereisme.

2. Pengertian dan Tujuan
Dili Performance
Gadis Timor Leste
Mahasiswa di belahan dunia manapun juga merupakan segolongan anggota masyarakat yang memiliki kekuatan progressif guna melakukan perubahan. Karakter biologis dan sosialnya, sangat memungkinkan bagi para mahasiswa untuk tampil sebagai kekuatan di masa-masa selanjutnya. Dan ini merupakan panggilan sekaligus tugas sejarah yang harus dilaksanakan. Tetapi, tugas ini hanya dapat dijalankan manakala para mahasiswa tersebut tumbuh dan berada dalam kondisi yang TERORGANISIR. Mahasiswa yang terorganisir adalah ANAK RAKYAT yang memulai karir KEPELOPORAN-nya.
Organisasi Perlawanan Massa Mahasiswa adalah sebuah alat perjuangan para mahasiswa guna membebaskan dirinya dari ketertindasan intelektual dan social.
Maksud dari ketertindasan intelektual adalah sebuah praktek penindasan yang dilakukan oleh actor-aktor pendidikan di sebuah negara dengan cara mendominasi dan menghegemoni sistem pendidikan guna memiskinkkan manusia (para murid/mahasiswa) oleh kelompok manusia lain (intelektual lain) demi terbangunnya supremasi kerja-kerja intelektual penindas tersebut.
Dengan bercermin pada pandangan  Paulo Freire dengan pendidikan gaya ‘bank’-nya (Banking Concept Of Education) yang mengungkapkan bahwa dunia pendidikan kapitalisme telah mengkondisikan guru untuk memberikan pelajaran pada para muridnya sebagai upaya melipatgandakan hasil dengan menjadikan para anak didik tersebut sebagai robot-robot penghafal materi pelajaran. Apa yang terjadi pada pendidikan semacam ini akan menimbulkan kecintaan dan kebanggaan pada sesuatu yang tidak jelas, semu, dan mudah terbius oleh citra alias  kecintaan terhadap sesuatu yang tidak berjiwa/roh.
Dunia dan sistem pendidikan di Timor Leste dibangun dengan tidak mendasarkan diri serta tidak berorientasi untuk membebaskan para murid (estudantes), melainkan “meninabobokkan” saja. Para estudantes diberi janji-janji tentang cerahnya masa depan dengan tanpa melihat kondisi lingkungan social sekitarnya. Dunia dan system pendidikan di Timor Leste tidak diarahkan pada dibangunnya kerangka berpikir yang mendasar, maju dan kritis. Akibatnya, lahir dan terjadilah sekelompok generasi yang ‘bingung’ tentang apa yang harus dilakukan dengan ilmu yang telah dihapalkan di bangku sekolahan tersebut. Dunia dan system pendidikan di negeri ini tidak menciptakan bagi lahirnya pionir-pionir/pelopor-pelopor bagi kemajuan bangsa, negara dan kemanusiaan (umat manusia).
Sudah pasti, situasi ketertindasan intelektual ini tidak bisa dibiarkan, melainkan harus direspon dan dilawan. Kerja-kerja peresponan dan perlawanan ini bisa dilakukan secara sederhana dengan cara membangun organisasi-organisasi perlawanan mahasiswa dengan misi dan visi utama untuk membebaskan diri dari keterindasan intelektual dan sosial demi terwujudnya peradaban manusia yang baru.
Jadi, organisasi perlawanan massa mahasiswa adalah sekolah-sekolah politik bagi massa mahasiswa yang selanjutnya ditransformasikan menjadi sekolah-sekolah politik bagi massa rakyat.
Peran dan fungsi organisasi massa mahasiswa:
  1. Sebagai instrument untuk mengorganisir para mahasiswa dan rakyat;
  2. Sebagai instrument untuk melakukan pendidikan-pendidikan politik bagi mahasiswa dan rakyat;
  3. Sebagai instrument untuk melatih dan mendidik diri bagi tampilnya kader-kader dan pemimpin-pemimpin yang berjiwa progressif dan revolusioner;
  4. Sebagai instrument untuk melawan system pendidikan yang kapitalistik, khususnya. Secara umum untuk melawan dan menghancurkan system social-ekonomi yang kapitalistik;
  5. Sebagai instrument untuk menyebar-luaskan faham-faham progressif dan revolusioner;
  6. Sebagai instrument untuk menyebarluaskan dan memimpin bagi jalannya revolusi popular---revolusinya kaum Maubere di Timor Leste;
  7. Sebagai sentral penyebaran aktivitas agitasi dan propaganda bagi pembebasan rakyat Maubere yang tertindas;

3. Prinsip Gerakan Mahasiswa
Traditional dances: Organização da Luta Massa Universitario (Povo) de Timor Leste
Simpatisan Partidu Demokratiku dalam acara HUT PD di Mercado Lama
Sejak awal hingga kapanpun, maka yang menjadi prinsip bagi gerakan mahasiswa di Timor Leste adalah GERAKAN MASSA.
Gerakan mahasiswa Timor Leste, meskipun diawali oleh satu atau dua orang mahasiswa, maka tetap tidak dibenarkan untuk tumbuh dan mendeklarasikan dirinya sebagai GERAKAN ELIT alias hanya dijadikan sebagai instrument politik bagi segelintir aktivis mahasiswa.
Realitas actual menunjukkan bahwa terdapat gerakan dan organisasi kemahasiswaan yang sengaja dibuat untuk dijadikan sebagai alat kepentingan politik dari para elit politik. Bukan rahasia umum lagi, bahwa dibalik universidade-universidade yang ada di Timor Leste berdiri tokoh-tokoh politik tertentu. Setiap universidade yang ada akan selalu diidentikkan dengan kepentingan dari elit dan organisasi politik yang berada di belakangnya. Sudah pasti, situasi demikian jika terlalu lama dibiarkan hanya akan menjadikan para mahasiswa sebagai “ayam potong” yang pada awalnya dipelihara dengan baik-baik, namun pada akhirnya akan dipotong juga.
Karenanya, yang menjadi prinsip mendasar dari gerakan mahasiswa adalah dan hanyalah gerakan massa. Prinsip ini akan selalu menyadarkan secara moral bagi para aktivis gerakan mahasiswa akan sejarah sosial yang melatarbelakangi kelahirannya. Satu-satunya kepentingan yang harus dijunjung tinggi dan dikedepankan adalah kepentingan massa mahasiswa dan massa rakyat.
Hanya berprinsip dan berpegang teguh pada prinsip massa inilah, maka gerakan mahasiswa akan mampu keluar sebagai kekuatan yang tiada tara; kekuatan yang tidak mudah dibelokkan dan dipatahkan.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa organisasi perlawanan mahasiswa adalah sebuah organisasi kader (diisi oleh kader-kader pelopor) yangf berbasiskan pada massa mahasiswa dan rakyat.
Agar mampu tumbuh dan tampil sebagai organisasi kader yang berbasiskan pada massa, maka prinsip moral yang harus dijalankan adalah senantiasa hidup bersama-sama dengan massa baik dalam keadaan duka maupun suka. Massa mahasiswa dan massa rakyat haruslah dipimpin. Hanya dengan melalui kepemimpinan aktif yang dilakukan oleh para kader progressif dan revolusionerlah, maka gerakan massa mahasiswa dan rakyat tidak akan menjadi anarkhi dan mudah ditunggangi oleh kepentingan politik segelintir elit politik.

4. Prinsip Garis Perjuangan Massa Mahasiswa
Traditional Dances: Organização da Luta Massa Universitario (Povo) de Timor Leste
Kultural Timor Leste
Dalam banyak kasus, di Negara manapun, lebih-lebih  di Timor Leste, kita sering menjumpai mengenai tidak terarahnya perjuangan yang dilakukan oleh para mahasiswa. Ketidakterarahan ini disebabkan karena perjuangan yang dilakukan selama ini tidak memiliki GARIS PERJUANGAN yang jelas.   
Lalu, apa yang menjadi garis perjuangan bagi pergerakan mahasiswa di Timor Leste?
Jawabannya hanya satu: GARIS REVOLUSI. Yang dimaksud dengan garis revolusi adalah pokok-pokok pikiran dan program-program perjuangan revolusi.
Pokok-pokok pikiran dan program-program perjuangan revolusi sendiri ada dan dibuat berdasarkan realitas obyektif yang dihadapi dan terjadi pada masyarakat Timor Leste. Untuk merumuskannya, tentunya bukan pekerjaan yang mudah. Mengingat, membutuhkan analisis yang matang.
Garis Revolusi adalah sebuah jalan yang akan kita jalani dan sekaligus sebagai penunjuk arah bagi pergerakan revolusi itu sendiri. Ini merupakan pedoman perjuangan bagi pembebasan rrakyat tertindas.

 

Jadi, inti dari semua penjelasan di atas adalah:
“Organisasi perlawanan massa mahasiswa adalah instrument perjuangan para kader dan pemimpin yang berjiwa progresif dan revolusioner yang melandaskan diri pada prinsip gerakan massa dan garis revolusi demi pembebasan rakyat Maubere yang tertindas melalui perjuangan revolusioner.”
-------------A Luta Continua-------------
Organização da Luta Massa Universitario (Povo) do Timor Leste


[1] Mentalitas budak adalah sikap dan pikiran yang baru akan melakukan suatu pekerjaan setelah dicambuk (diberi arahan, diteriaki, instruktif, dan diancam terlebih dahulu). Orang-orang budak adalah segolongan orang yang secara fisik dan pikiran tidak merdeka. Segolongan manusia yang tidak terbiasa dengan inisitif dan kreativitas.
[2] Mentalitas pengemis adalah sikap dan pikiran yang meminta-minta. Segolongan orang yang mengharapkan hidup enak (memiliki uang) dengan tanpa terlebih dahulu melalui proses bekerja. Atau sebuah pikiran yang mengharapkan adanya imbalan yang besar dengan cukup mengeluarkan sedikit keringat.

4 komentar:

  1. ulasan yang menarik dan cerdas!

    BalasHapus

  2. assalamualaikum wr, wb.AKI saya:IRFAN MARIA dan SEKELUARGA mengucapkan banyak2
    terimakasih kepada AKI JAYA BAYA atas angka togel yang di
    berikan “4D” alhamdulillah ternyata itu benar2 jebol dan berkat
    bantuan AKI JAYA BAYA saya bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya yang
    ada di BANK dan bukan hanya itu AKI alhamdulillah sekarang saya
    sudah bisa bermodal sedikit untuk mencukupi kebutuhan keluarga saya
    sehari2. itu semua berkat bantuan AKI JAYA BAYA sekali lagi makasih banyak
    yah AKI… yang ingin merubah nasib seperti saya hubungi AKI JAYA BAYA di
    nomor: (((_085319486041_)))

    dijamin 100% jebol saya sudah buktikan…sendiri….

    Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!

    1″Dikejar-kejar hutang

    2″Selaluh kalah dalam bermain togel

    3″Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel

    4″Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat

    5″Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
    tapi tidak ada satupun yang berhasil..

    Solusi yang tepat jangan anda putus aza….AKI JAYA BAYA akan membantu
    anda semua dengan Angka ritwal/GHOIB:
    butuh angka togel 2D_3D_4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol
    Apabila ada waktu
    silahkan Hub: AKI JAYA BAYA DI NO: (((_+6285319486041_)))

    BalasHapus
  3. Nama: __ Hendi Zikri Didi
    Bandar: _______________ Melaka
    pekerjaan: _ Pemilik perniagaan
    Sebarang notis: ____ hendidi01@gmail.com

    Halo semua, sila berhati-hati tentang mendapatkan pinjaman di sini, saya telah bertemu dengan banyak peminjam palsu di internet, saya telah menipu saya hampir menyerah, sehingga saya bertemu seorang rakan yang baru saja memohon pinjaman dan dia mendapat pinjaman tanpa tekanan, jadi dia memperkenalkan saya kepada legitamate AASIMAHA ADILA AHMED LOIR FIRM, saya memohon Rm1.3 juta. Saya mempunyai pinjaman saya kurang dari 2 jam hanya 1% tanpa cagaran. Saya sangat gembira kerana saya diselamatkan daripada mendapatkan hutang miskin. jadi saya nasihat semua orang di sini memerlukan pinjaman untuk menghubungi AASIMAHA dan saya memberi jaminan bahawa anda akan mendapat pinjaman anda.

    Pusat Aplikasi / Hubungi
    E-mail: ._________ aasimahaadilaahmed.loanfirm@gmail.com
    WhatsApp ____________________ + 447723553516

    BalasHapus