MASSA MAHASISWA (RAKYAT)
TIMOR LESTE
Organização da Luta Massa Universitario (Povo) de Timor Leste
By Vladimir Ageu DE
SAFI’I
1.
Sepintas Kondisi Sosial-Politik Timor Leste
Dari Masyarakat Budak
ke Manusia Merdeka:
Sejak
diresmikan dan diakuinya Timor Leste sebagai sebuah negara yang merdeka dan
berdaulat oleh dunia internasional pasca referendum/konsultasi popular 1999,
maka terdapat sebuah peningkatan sirkulasi kapital di negeri ini. Timor Leste
mendadak berubah menjadi negara yang bermandikan uang (dollar). Baik pihak
internasional maupun pihak pemerintah Timor Leste sendiri, terlihat begitu
mudah membagi-bagikan uang kepada “rakyat”. Alasan mereka seragam: kondisi
emergensi! Tentu saja, situasi ini membawa dampak perubahan yang cukup
signifikan dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat
Timor Leste.
Sebenarnya,
hidup bergelimang dan dimanjakan oleh uang ini tidak terjadi di era kemerdekaan
saja, di era Propinsi Timor Timur, pemerintah Indonesia juga begitu
“menganakemaskan” masyarakat Timor Leste. Pemerintah Indonesia berperan sebagai
peletak batu pertama terhadap mentalitas pemanjaan ini. Tentunya, kebijakan ini
mengakibatkan timbulnya “keterkejutan social”.
Shock!
Masyarakat Timor Leste yang hidup lebih dari 400 tahun di bawah sistem perbudakan
kolonialisme Portugal dengan status sebagai budak. Situasi ini berubah manakala
Indonesia masuk dengan kebijakan yang berlainan. Sejak invasi Indonesia tahun
1975, masyarakat Timor Leste menjadi masyarakat yang memegang uang. Artinya,
babak kehidupan dengan pola baru dijalankan oleh penduduk ini.
Anak-anak muda di Ibukota Dili |
Sistem
kolonialisme dengan pola perbudakan yang diterapkan oleh Portugal tidak
memungkinkan bagi bangsa ini untuk tumbuh sebagai manusia yang bebas. Jadi,
sebuah lompatan psikologis dari “status budak” di era kolonialisme ke “status
sebagai manusia yang merdeka” di era kemerdekaan.
Dengan
melihat pada perkembangan yang ada saat ini, maka indikasi meningkatnya
mentalitas ketergantungan dan kemanjaan masyarakat terhadap santuanan/pemberian
“sedekah” semakin menemukan tempatnya, manakala pemerintah memposisikan dirinya
sebagai MAJIKAN yang penuh welas-asih dengan mengimplementasikan
program-program yang bernafaskan “ketergantungan”.
Dengan
alasan memberikan pekerjaan kepada penduduk serta memulihkan kondisi
pascakonflik April 2006, pemerintah memobilisasi masyarakat untuk melakukan
kerja bakti dengan upah US$ 3 perhari di bairo-bairo/perkampungan-perkampungan.
Dampak negativ dari program ini adalah “masyarakat menjadi semakin malas untuk
bekerja, sekalipun untuk membersihkan rumput di halaman rumahnya sendiri”.
Mereka baru termotivasi atau tergerak untuk bekerja bila ada upah/imbalannya.
Gadis Pantai |
Pensistematikan
lainnya, yang cukup signifikan adalah terkait dengan kebijakan pemerintah
dibidang infrastruktur. Proyek-proyek pembangunan sarana infrastruktur
dilakukan secara besar-besaran, walaupun dengan hasil akhir yang kurang
maksimal alias “fakar osan”---bagi-bagi uang melalui proyek pemerintahan.
Kondisi ini telah melahirkan tumbuhnya segolongan KELAS MENENGAH yang tidak
berdaya: sebuah kelas menengah yang sangat tergantung pada proyek pemerintah. Jika
kita perhatikan secara cermat, maka kebijakan pemerintah ini bukanlah untuk
memajukan rakyat Timor Leste, melainkan untuk melanjutkan dan mengintensifkan
penghisapan kembali atas praktek kolonialisme terhadap rakyat Timor Leste (Neo-kolonialisme).
Traditional dances of Timor Leste: "Tebe-Tebe" |
Inilah
barisan kelas menengah yang hendak dibangun di negeri ini. Segolongan kelas
menengah yang rapuh dan sangat dependen/tergantung pada kekuasaan politik. Di
samping itu, mereka adalah segolongan calon kelas menengah (calon borjuasi)
yang jauh dari karakter kapitalis. Segolongan manusia yang sangat boros dan
tidak tahu mengelola akan kapital yang telah dimiliki dari hasil pengerjaan
proyek pemerintah yang didapat sebelumnya. Segolongan kelompok masyarakat yang
hanya tahu akan cara menghabiskan uang: menang
proyek langsung beli mobil baru, pergi liburan. Pulang dari liburan, uang
proyek turut ludes/habis---kembali ke asal!
Pada
saat yang bersamaan, pemerintah juga membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya
investor asing---tepatnya
pengusaha-pengusaha asing, mengingat keberadaan mereka di Timor Leste bukan
untuk melakukan investasi modal, melainkan mencari modal dari proyek-proyek
pemerintah yang ada. Kebanyakan para “investor asing” ini melakukan
aktivitas pengerukan modal dengan cara menggaet satu atau lebih perusahaan yang
dimiliki oleh pribumi (Peraturan tentang investasi juga mengharuskan syarat
demikian). Sudah pasti, harapan dari pemerintah adalah agar pengusaha pribumi
mendapatkan pengalaman dan pembagian modal ketika bekerjasama dengan pengusaha
asing tersebut. Tetapi mungkinkah?
Jelas
tidak mungkin. Dalam kasus REKANAN BISNIS antara pengusaha pribumi dan asing,
untuk pertama-tama didirikan berdasarkan pada KETIDAKSEJAJARAN dalam segala
hal. Intinya, pengusaha pribumi berada dalam posisi yang rendah dan lemah. Ini
disebabkan karena mereka berangkat dengan tanpa kapasitas modal dan
pengalaman/profesionalisme pekerjaan: modal
lobby dan nekat!
Dengan demikian, eksistensi dari calon kelas menengah yang
hendak dibangun ini bersifat sangat lemah, labil, dan cenderung tidak bertahan
lama. Dampak lainnya adalah bahwa muncul kecenderungan “potensi konflik” di
antara sesama mereka. Konflik yang ada cukup varian dengan tensi yang hampir
sama.
Performance Girl, Dili Beach |
Pertama-tama akan terjadi di masing-masing internal perusahaan yang ada.
Kongsi internal akan dilanda perpecahan terkait dengan pembagian keuntungan
hasil proyek. Kedua, konflik di antara sesama pengusaha pribumi. Konflik ini
dipicu oleh persaingan di dalam mendapatkan proyek pemerintahan serta perebutan
status social/gaya hidup. Ketiga, konflik antara pengusaha pribumi yang sendiri
dengan pengusaha pribumi yang menjadi rekanan bisnis pebisnis asing. Keempat,
konflik antara sesama pengusaha pribumi yang menjadi rekanan bisnis pengusaha
asing.
Pada
sisi yang lain, kebijakan penguatan kelas menengah ini juga memicu terhadap
semakin lebarnya jarak gap social masyarakat. Pada satu sisi, kebijakan ini
melahirkan segolongan orang yang hidup bergelimang harta, sementara di sisi
lain semakin menyebabkan golongan masyarakat miskin menjadi semakin
termarjinalkan.
Pelan-pelan
dan pasti, kontradiksi di antara dua (2) golongan ini mulai menemukan bentuk:
golongan kaya versus miskin. Faktor kecemburuan sosial akan menjadi pemicu awal
terhadap meletusnya ketegangan social dari golongan-golongan tersebut.
Sedikitnya
jumlah penduduk dan sempitnya wilayah Timor Leste menjadikan segala sesuatu
yang terjadi dengan segala perubahan yang ada, akan dengan cepat diketahui oleh
penduduk lainnya. Tetangga rumah akan cepat mengetahui dan segera berkomentar
bahwa tetangga lain yang tinggal di sebelah rumahnya---sebelumnya adalah sebuah
keluarga yang miskin atau kondisinya sama dengan dirinya--- mendadak berubah
menjadi keluarga yang kaya setelah mendapatkan proyek pemerintah.
Bukan
hanya hal-hal sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, perubahan hidup
masyarakat dengan tingkat dependensinya yang tinggi, juga disebabkan oleh
kebijakan pemerintah dalam hal pemberian santunan bagi golongan tertentu.
Banyak anggota masyarakat, khususnya para veteran kemerdekaan, yang mendadak
kaya setelah dinobatkan menjadi “veteran”. Setiap bulan, golongan ini (juga
bagi para janda dan anak-anak yatim piatu) mendapatkan uang santunan. Selain
itu, dengan bermodalkan “lebel veteran” ini, mereka juga ikut-ikutan mendirikan
perusahaan untuk ikut dalam perebutan proyek pemerintah.
Celakanya, hampir terjadi kecenderungan yang sama dalam hal
mentalitas dari Golongan Kaya Baru Timor Leste ini, yakni sama-sama tidak
memiliki kemampuan di dalam mengelola keuangan.
Pemuda dan
Pengangguran
Persoalan
social serius yang saat ini sedang mengancam situasi nasional Timor Leste
adalah berhubungan dengan jumlah pemuda dan pengangguran. Berdasarkan sensus
2010, jumlah pemuda lebih dari sepertiga total populasi yang ada atau lebih
dari 300 ribu jiwa. Mayoritas para pemuda ini hidup dengan tanpa pekerjaan.
Keberadaan mereka menyebar di 13 distrik, namun jumlah terbesar berada di
Ibukota Dili.
Sementara
itu, jumlah pengangguran sendiri, secara statistik tidak pasti, meskipun ada
data sensus. Namun, sebuah angka pengangguran meningkat secara pasti dalam
setiap tahunnya terkait dengan lulusan SMA, di mana dalam setiap tahunnya
mencapai 15 ribu jiwa. Angka pengangguran dengan alasan tidak bisa melanjutkan
ke jenjang universitas atau tidak mendapatkan pekerjaan sendiri dari angka
tersebut sekitar 9 ribu jiwa. Angka 9 ribu jiwa ini berasal dari asumsi bahwa
dari 15 ribu – (dikurangi) sekitar 4 ribu yang melanjutkan ke bangku
universitas baik dalam maupun luar negeri, lalu – (dikurangi) 1 ribu yang
mendapatkan pekerjaan pekerjaan tetap, dan – (dikurangi) 1 ribu lagi yang
bekerja di pedesaan (petani). Dengan asumsi demikian, maka dalam 5 tahun ke
depan angka pengangguran dari lulusan SMA ini akan mencapai sekitar 45 ribu
jiwa.
Selain
itu, jumlah pengangguran akan juga naik di lulusan perguruan tinggi, baik
lulasan dalam negeri maupun luar negeri. Dalam setiap tahunnya, jumlah lulusan
yang telah mendapatkan graduasi bisa mencapai 1.000 sarjana. Sementara,
pemerintah memiliki keterbatasan dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi para
sarjana ini.
Dengan
mengambil pengalaman sebelumnya, kebijakan pemerintah terkait dengan penciptaan
lapangan pekerjaan (campo do trabalho)
ini hanya memakai 3 pola, yakni (1) Penerimaan pegawai negeri (funçionario public), baik sipil, militer
maupun polisi (jumlahnya sangat terbatas); (2) Jalur proyek-proyek
infrastruktur pemerintahan. Dengan jalur ini diharapkan dapat menampung secara
temporer para desemprego/pengangguran; (3) Pengiriman tenaga kerja ke luar
negeri (jumlahnya sangat terbatas).
Sementara
itu, upaya-upaya penciptaan lapangan kerja di sektor pertanian dan industri,
dapat dikatakan: praktis kurang berhasil. Kebijakan dan program pertanian yang
selama ini dijalankan ternyata tidak mampu menarik minat penduduk desa,
khususnya pemuda pedesaan, untuk tetap bekerja di sektor pertanian. Program
pertanian kurang mampu membangkitkan semangat para penduduk desa sebagai jaminan
kelangsungan hidup dan pertarungan status sosial di masa yang akan datang.
Produk-produk pertanian dinilai kurang dapat memberikan janji perbaikan
kehidupan sosial jika dibandingkan dengan orang-orang yang selama ini bekerja
sebagai pegawai negeri, tenaga kerja luar negeri serta mendirikan perusahaan
untuk tender. Celakanya lagi, pada saat yang bersamaan pemerintah juga
membiarkan produk-produk pertanian impor membanjiri pasaran dalam negeri.
Intinya,
3 pola yang dijalankan pemerintah tersebut bukan suatu jawaban permanen untuk
mampu mengatasi lonjakan angka tenaga kerja produktif. Dengan demikian, resep
ini sifatnya hanya menahan sementara, menahan meletusnya konflik social akibat
ketidakseimbangan kehidupan social.
Sebagai
sebuah negara baru dengan sistem birokrasinya, sudah pasti Timor Leste
membutuhkan para pegawai negeri professional untuk menjalankan administrasi
pemerintahan dengan gelar kesarjanaan. Melihat realitas tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah, maka pemerintah membuat kebijakan: (1) Mengirim pelajar
ke luar negeri, baik untuk S-1 atau S-2; (2) Membiarkan tumbuhnya
universitas-universitas swasta di dalam negeri.
Intinya,
tuntutan pembangunan di bidang pendidikan menjadi focus tersendiri atas
kebijakan pemerintahan. Mahasiswa Timor Leste, lahir dari proses ini. Intinya,
mahasiswa Timor Leste dilahirkan bukan untuk menjadi sosok manusia intelektual
yang humanis, melainkan untuk memenuhi dan mendukung sirkualsi kapital
tersebut.
Jika dicermati secara lebih mendalam lagi, semua
kurikulum pendidikan di semua nivel--- departemento e fakuldade iha
universidade (UNTL, UNPAZ, UNDIL, IOB, DIT, dan lainnya)---yang dibuka
lebih banyak mengabdi untuk kepentingan kelompok penguasa dan kelompok
bisnisman. Kurikulum yang diberlakukan, jauh sekali dari kalimat “mencerminkan
kehidupan dan kepentingan obyektif” rakyat Timor Leste, yang notabene adalah
povo maubere. Dengan situasi yang demikian, maka ke depannya, institusaun
edukasaun formal akan berevolusi sebagai agen pembodohan rakyat yang secara
sengaja dan dilegalkan oleh Negara. “Mengapa hal ini dapat terjadi?”
Sebagaimana kita ketahui bahwa
kebutuhan kapitalisme (baca:
dunia bisnis) saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam jumlah besar merangsang tumbuh dan berekspansinya universidade secara cepat. Dengan berdalih/berargumentasi
pada konsep ‘profesionalisme’, maka program-program studi yang dibuka di sebuah
universidade sama sekali tidak berhubungan
dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia. Justru sebaliknya, hanya memproduksi atau menghasilkan "proletarianisasi/pemiskinan" tenaga
intelektual, yang tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis (intelektual yang
teralienasi/terasing dari disiplin ilmu yang dipelajarinya). Hingga detik ini,
kita tidak tahu persis mengenai angka pengangguran intelektual di Timor Leste.
Namun, yang pasti adalah bahwa dalam setiap tahunnya angka lulusan Sarjana S-1
dan S-2 terus bertambah, di tengah-tengah ketiadaannya kampu servisu.
Bersama tokoh adat di Distrik Ainaro |
Cepat atau lambat, realitas dunia pendidikan
sebagaimana dijelaskan diatas, pada akhirnya akan memunculkan lahirnya
janin-janin perlawanan dari golongan intelektual itu sendiri. Golongan
intelektual yang memberontak atas ketidaksingkronan antara harapan yang
diimpikan dengan realitas yang dirasakan. Bibit-bibit ini, meskipun masih dalam
ukuran yang relative kecil dan belum terorganisir secara ideologis (sporadis
dan spontanitas), namun karena mewakili kepentingan masa depan juga sudah mulai
nampak akan kekuatannya. Aksi protes baik di dalam kampus maupun dengan cara
turun ke jalan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa UNDIL, UNTL menjadi
cikal-bakal dan sekaligus bukti bahwa kontradiksi di dalam sistem pendidikan
yang kapitalistik akan berdampak pada dilahirkannya anak-anak anti kapitalisme
itu sendiri.
Dengan
demikian, guna menghindari terjadinya aksi-aksi perlawanan yang tak bermasa
depan, maka seyogyanya, gerakan-gerakan tersebut harus pula dibekali dengan
pemahaman dan pengetahuan yang memadai akan teori gerakan. Jadi, gerakan
mahasiswa yang ada akan mampu bersinergis dengan gerakan rakyat maubere secara
keseluruhan, yang pada dasarnya juga merasakan hal yang serupa: tertindas
tetapi tidak menyadari jika dirinya ditindas!
Populasaun Distrito Ainaro |
Pelan-pelan
dan pasti, pengaruh kapitalisme merasuk ke dalam masyarakat Timor Leste, yang
mendorong lahirnya kelas-kelas baru dalam masyarakat Timor Leste, yaitu: golongan
rakyat miskin (proletariat), golongan borjuasi kecil/kelas menengah (intelektual
dan pengusaha-pengusaha instan), dan golongan elit (borjuasi Timor Leste
yang bekerjasama dan menjadi agen dari konsorsium-konsorsium internasional).
Satu
hal yang cukup mencemaskan atas perkembangan situasi social tersebut adalah
tidak diikutinya dengan adanya pengorganisasian terhadap rakyat. Partai-partai
politik yang ada hanya memanfaatkan suara rakyat untuk mendapatkan dukungannya
pada pemilihan umum. Permasalahan-permasalahan rakyat sekedar dijadikan isu-isu
politik (konsumsi politik) oleh para anggota Parlemen di gedung Parlemen
Nasional demi kepentingan pembangunan citra dan penguatan posisi social
politiknya dalam masyarakat. Dalam situasi seperti inilah, peranan mahasiswa
Timor Leste akan sangat menentukan.
Pembangunan
organisasi dan program perjuangan gerakan massa mahasiswa Timor Leste harus
berangkat dari kondisi obyektif sebagaimana diungkapkan di atas. Organisasi ini
harus memiliki visi dan misi ke depan. Sebuah misi liberta povuMuabere---Pembebasan Rakyat Maubere!
Saat ini, Timor Leste sedang kehilangan pegangan.
Seperti dalam kisah Nabi Musa, maka rakyat Timor Leste tidak memiliki tongkat
sebagai pegangan/penunjuk jalan. Karenanya, menjadi sangat mendesak untuk
selekas mungkin menemukan rumusan baru; ideologi atau paradigma baru; semangat
baru sebagai tongkat penunjuk arah bagi masa depan rakyat Timor Leste. Dalam konteks inilah, “maubereisme” harus
direkontruksi. Perekontruksian atas konsep ini akan memudahkan bagi kawan-kawan
Mauberista dalam membaca, menganalisa, dan mengubah realitas yang dihadapi Povu
Maubere. Ini mengandung pengertian, bahwa teori Maubereisme akan membimbing dan
memberikan petunjuk dalam gerakan dan perjuangan nasional.
Pekerjaan perekontruksian ini, tentunya tidak
mudah. Ini juga membutuhkan waktu yang relative lama. Selain, disebabkan akan
keterbatasan mengenai data-data atau dokumen-dokumen tentang perilaku dan
kehidupan kaum maubere, juga disebabkan lemahnya aktivitas dan lemahnya gerakan
maubereisme itu sendiri. Kernyataan lainnya adalah juga dihadapkan pada
banyaknya orang yang merasa alergi mendengar istilah ‘maubere’ apalagi
‘maubereisme. Namun, semua ini, tentunya tidak dapat dijadikan sebagai alasan
untuk ditinggalkannya pekerjaan penulisan dalam rangka perekontruksian ideology
maubereisme.
2. Pengertian dan Tujuan
Mahasiswa
di belahan dunia manapun juga merupakan segolongan anggota masyarakat yang
memiliki kekuatan progressif guna melakukan perubahan. Karakter biologis dan
sosialnya, sangat memungkinkan bagi para mahasiswa untuk tampil sebagai
kekuatan di masa-masa selanjutnya. Dan ini merupakan panggilan sekaligus tugas
sejarah yang harus dilaksanakan. Tetapi, tugas ini hanya dapat dijalankan
manakala para mahasiswa tersebut tumbuh dan berada dalam kondisi yang
TERORGANISIR. Mahasiswa yang terorganisir adalah ANAK RAKYAT yang memulai karir
KEPELOPORAN-nya.
Organisasi
Perlawanan Massa Mahasiswa adalah sebuah alat perjuangan para mahasiswa guna
membebaskan dirinya dari ketertindasan intelektual dan social.
Maksud
dari ketertindasan intelektual adalah sebuah praktek penindasan yang dilakukan
oleh actor-aktor pendidikan di sebuah negara dengan cara mendominasi dan
menghegemoni sistem pendidikan guna memiskinkkan manusia (para murid/mahasiswa)
oleh kelompok manusia lain (intelektual lain) demi terbangunnya supremasi
kerja-kerja intelektual penindas tersebut.
Dengan
bercermin pada pandangan Paulo Freire
dengan pendidikan gaya ‘bank’-nya (Banking Concept Of Education) yang
mengungkapkan bahwa dunia pendidikan kapitalisme telah mengkondisikan guru
untuk memberikan pelajaran pada para muridnya sebagai upaya melipatgandakan
hasil dengan menjadikan para anak didik tersebut sebagai robot-robot penghafal
materi pelajaran. Apa yang terjadi pada pendidikan semacam ini akan menimbulkan
kecintaan dan kebanggaan pada sesuatu yang tidak jelas, semu, dan mudah terbius
oleh citra alias kecintaan terhadap
sesuatu yang tidak berjiwa/roh.
Dunia
dan sistem pendidikan di Timor Leste dibangun dengan tidak mendasarkan diri
serta tidak berorientasi untuk membebaskan para murid (estudantes), melainkan “meninabobokkan” saja. Para estudantes
diberi janji-janji tentang cerahnya masa depan dengan tanpa melihat kondisi
lingkungan social sekitarnya. Dunia dan system pendidikan di Timor Leste tidak
diarahkan pada dibangunnya kerangka berpikir yang mendasar, maju dan kritis.
Akibatnya, lahir dan terjadilah sekelompok generasi yang ‘bingung’ tentang apa
yang harus dilakukan dengan ilmu yang telah dihapalkan di bangku sekolahan
tersebut. Dunia dan system pendidikan di negeri ini tidak menciptakan bagi
lahirnya pionir-pionir/pelopor-pelopor bagi kemajuan bangsa, negara dan
kemanusiaan (umat manusia).
Sudah
pasti, situasi ketertindasan intelektual ini tidak bisa dibiarkan, melainkan
harus direspon dan dilawan. Kerja-kerja peresponan dan perlawanan ini bisa dilakukan
secara sederhana dengan cara membangun organisasi-organisasi perlawanan
mahasiswa dengan misi dan visi utama untuk membebaskan diri dari keterindasan
intelektual dan sosial demi terwujudnya peradaban manusia yang baru.
Jadi,
organisasi perlawanan massa mahasiswa adalah sekolah-sekolah politik bagi massa
mahasiswa yang selanjutnya ditransformasikan menjadi sekolah-sekolah politik
bagi massa rakyat.
Peran
dan fungsi organisasi massa mahasiswa:
- Sebagai instrument untuk mengorganisir para mahasiswa dan rakyat;
- Sebagai instrument untuk melakukan pendidikan-pendidikan politik bagi mahasiswa dan rakyat;
- Sebagai instrument untuk melatih dan mendidik diri bagi tampilnya kader-kader dan pemimpin-pemimpin yang berjiwa progressif dan revolusioner;
- Sebagai instrument untuk melawan system pendidikan yang kapitalistik, khususnya. Secara umum untuk melawan dan menghancurkan system social-ekonomi yang kapitalistik;
- Sebagai instrument untuk menyebar-luaskan faham-faham progressif dan revolusioner;
- Sebagai instrument untuk menyebarluaskan dan memimpin bagi jalannya revolusi popular---revolusinya kaum Maubere di Timor Leste;
- Sebagai sentral penyebaran aktivitas agitasi dan propaganda bagi pembebasan rakyat Maubere yang tertindas;
3. Prinsip Gerakan
Mahasiswa
Sejak
awal hingga kapanpun, maka yang menjadi prinsip bagi gerakan mahasiswa di Timor
Leste adalah GERAKAN MASSA.
Gerakan
mahasiswa Timor Leste, meskipun diawali oleh satu atau dua orang mahasiswa,
maka tetap tidak dibenarkan untuk tumbuh dan mendeklarasikan dirinya sebagai
GERAKAN ELIT alias hanya dijadikan sebagai instrument politik bagi segelintir
aktivis mahasiswa.
Realitas
actual menunjukkan bahwa terdapat gerakan dan organisasi kemahasiswaan yang
sengaja dibuat untuk dijadikan sebagai alat kepentingan politik dari para elit politik.
Bukan rahasia umum lagi, bahwa dibalik universidade-universidade yang ada di
Timor Leste berdiri tokoh-tokoh politik tertentu. Setiap universidade yang ada
akan selalu diidentikkan dengan kepentingan dari elit dan organisasi politik
yang berada di belakangnya. Sudah pasti, situasi demikian jika terlalu lama
dibiarkan hanya akan menjadikan para mahasiswa sebagai “ayam potong” yang pada
awalnya dipelihara dengan baik-baik, namun pada akhirnya akan dipotong juga.
Karenanya,
yang menjadi prinsip mendasar dari gerakan mahasiswa adalah dan hanyalah
gerakan massa. Prinsip ini akan selalu menyadarkan secara moral bagi para
aktivis gerakan mahasiswa akan sejarah sosial yang melatarbelakangi
kelahirannya. Satu-satunya kepentingan yang harus dijunjung tinggi dan
dikedepankan adalah kepentingan massa mahasiswa dan massa rakyat.
Hanya
berprinsip dan berpegang teguh pada prinsip massa inilah, maka gerakan
mahasiswa akan mampu keluar sebagai kekuatan yang tiada tara; kekuatan yang
tidak mudah dibelokkan dan dipatahkan.
Jadi,
kesimpulannya adalah bahwa organisasi perlawanan mahasiswa adalah sebuah
organisasi kader (diisi oleh kader-kader pelopor) yangf berbasiskan pada massa
mahasiswa dan rakyat.
Agar
mampu tumbuh dan tampil sebagai organisasi kader yang berbasiskan pada massa,
maka prinsip moral yang harus dijalankan adalah senantiasa hidup bersama-sama
dengan massa baik dalam keadaan duka maupun suka. Massa mahasiswa dan massa
rakyat haruslah dipimpin. Hanya dengan melalui kepemimpinan aktif yang
dilakukan oleh para kader progressif dan revolusionerlah, maka gerakan massa
mahasiswa dan rakyat tidak akan menjadi anarkhi dan mudah ditunggangi oleh
kepentingan politik segelintir elit politik.
4. Prinsip Garis
Perjuangan Massa Mahasiswa
Dalam
banyak kasus, di Negara manapun, lebih-lebih
di Timor Leste, kita sering menjumpai mengenai tidak terarahnya
perjuangan yang dilakukan oleh para mahasiswa. Ketidakterarahan ini disebabkan
karena perjuangan yang dilakukan selama ini tidak memiliki GARIS PERJUANGAN
yang jelas.
Lalu,
apa yang menjadi garis perjuangan bagi pergerakan mahasiswa di Timor Leste?
Jawabannya
hanya satu: GARIS REVOLUSI. Yang dimaksud dengan garis revolusi adalah
pokok-pokok pikiran dan program-program perjuangan revolusi.
Pokok-pokok
pikiran dan program-program perjuangan revolusi sendiri ada dan dibuat
berdasarkan realitas obyektif yang dihadapi dan terjadi pada masyarakat Timor
Leste. Untuk merumuskannya, tentunya bukan pekerjaan yang mudah. Mengingat,
membutuhkan analisis yang matang.
Garis
Revolusi adalah sebuah jalan yang akan kita jalani dan sekaligus sebagai
penunjuk arah bagi pergerakan revolusi itu sendiri. Ini merupakan pedoman
perjuangan bagi pembebasan rrakyat tertindas.
Jadi, inti dari semua penjelasan di atas adalah:
“Organisasi
perlawanan massa mahasiswa adalah instrument perjuangan para kader dan pemimpin
yang berjiwa progresif dan revolusioner yang melandaskan diri pada prinsip
gerakan massa dan garis revolusi demi pembebasan rakyat Maubere yang tertindas
melalui perjuangan revolusioner.”
-------------A Luta
Continua-------------
Organização da Luta Massa Universitario
(Povo) do Timor Leste
[1] Mentalitas budak adalah sikap
dan pikiran yang baru akan melakukan suatu pekerjaan setelah dicambuk (diberi
arahan, diteriaki, instruktif, dan diancam terlebih dahulu). Orang-orang budak
adalah segolongan orang yang secara fisik dan pikiran tidak merdeka. Segolongan
manusia yang tidak terbiasa dengan inisitif dan kreativitas.
[2] Mentalitas pengemis adalah sikap
dan pikiran yang meminta-minta. Segolongan orang yang mengharapkan hidup enak
(memiliki uang) dengan tanpa terlebih dahulu melalui proses bekerja. Atau
sebuah pikiran yang mengharapkan adanya imbalan yang besar dengan cukup
mengeluarkan sedikit keringat.
ulasan yang menarik dan cerdas!
BalasHapusobrigado primo. abracos
Hapus
BalasHapusassalamualaikum wr, wb.AKI saya:IRFAN MARIA dan SEKELUARGA mengucapkan banyak2
terimakasih kepada AKI JAYA BAYA atas angka togel yang di
berikan “4D” alhamdulillah ternyata itu benar2 jebol dan berkat
bantuan AKI JAYA BAYA saya bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya yang
ada di BANK dan bukan hanya itu AKI alhamdulillah sekarang saya
sudah bisa bermodal sedikit untuk mencukupi kebutuhan keluarga saya
sehari2. itu semua berkat bantuan AKI JAYA BAYA sekali lagi makasih banyak
yah AKI… yang ingin merubah nasib seperti saya hubungi AKI JAYA BAYA di
nomor: (((_085319486041_)))
dijamin 100% jebol saya sudah buktikan…sendiri….
Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!
1″Dikejar-kejar hutang
2″Selaluh kalah dalam bermain togel
3″Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel
4″Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat
5″Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
tapi tidak ada satupun yang berhasil..
Solusi yang tepat jangan anda putus aza….AKI JAYA BAYA akan membantu
anda semua dengan Angka ritwal/GHOIB:
butuh angka togel 2D_3D_4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub: AKI JAYA BAYA DI NO: (((_+6285319486041_)))
Nama: __ Hendi Zikri Didi
BalasHapusBandar: _______________ Melaka
pekerjaan: _ Pemilik perniagaan
Sebarang notis: ____ hendidi01@gmail.com
Halo semua, sila berhati-hati tentang mendapatkan pinjaman di sini, saya telah bertemu dengan banyak peminjam palsu di internet, saya telah menipu saya hampir menyerah, sehingga saya bertemu seorang rakan yang baru saja memohon pinjaman dan dia mendapat pinjaman tanpa tekanan, jadi dia memperkenalkan saya kepada legitamate AASIMAHA ADILA AHMED LOIR FIRM, saya memohon Rm1.3 juta. Saya mempunyai pinjaman saya kurang dari 2 jam hanya 1% tanpa cagaran. Saya sangat gembira kerana saya diselamatkan daripada mendapatkan hutang miskin. jadi saya nasihat semua orang di sini memerlukan pinjaman untuk menghubungi AASIMAHA dan saya memberi jaminan bahawa anda akan mendapat pinjaman anda.
Pusat Aplikasi / Hubungi
E-mail: ._________ aasimahaadilaahmed.loanfirm@gmail.com
WhatsApp ____________________ + 447723553516