DILI DAN
ELIT POLITIKNYA
By Vladimir Ageu DE SAFI'I
|
Vladimir Ageu DE SAFI'I |
Baca Juga artikel:
Sebenarnya agak
susah menyebut Dili ini masuk dalam kategori kota yang ‘apa’ dan ‘bagaimana’.
Sesusah memahami dialektika perkembangan masyarakatnya. Masyarakat Dili dan
Timor Leste pada umumnya adalah masyarakat yang rumit (complicado). Rumit dalam
makna jalinan sosial yang berlangsung di dalamnya. Ini dikarenakan adanya
banyak faktor yang mempengaruhi proses jalinan sosial tersebut: mulai dari
variannya etnik (jalinan adat dalam satu keluarga-satu etnik, jalinan adat
antar etnik, struktur organisasi dan doktrin social masing-masing etnik, dan
seterusnya.);praktek kolonialisme Portugal yang cenderung primitive beserta
bagaimana bangunan social gereja Katholik ala Vatikan yang cenderung
konservatif; belum lagi ditambah dengan bagaimana ikatan-ikatan komunal
tradisional berbenturan dan menyatu dengan ikatan-ikatan modern yang cenderung
individualistic; dan masih banyak factor lainnya.
Dari segi
antropologis, di samping Timor Leste telah dihuni sekitar puluhan etnik yang
terbagi dalam 32 bahasa dan dialektika (ras indegenis/pribumi), kita juga dapat
menyaksikan mengenai ‘hebatnya” kolonialisme Portugal yang mampu melahirkan dan
mewariskan budaya baru bagi golongan mestiço (Timor-Cina (Macau, Hongkong,
Taiwan), Timor-Afrika (Angola, Mosambiq, dan lain-lain), Timor-Goa/India, dan
Timor-Portugis) atau anak-anak hasil genetic campuran tersebut. Warisan khas
antropologis Portugis ini banyak kita jumpai hampir disemua pelosok penjuru
negeri Timor Leste, khususnya di kota-kota 13 distrito. Populasi terbanyak
berada di ibukota Dili dengan ciri khas kehidupannya yang berbeda dengan pola
kehidupan penduduk original/indegenis atau yang biasa dengan istilah
Rakyat/Povo Maubere.
A. Dili: Kota Kecil Penghubung
|
Sabung Ayam/futu manu |
Menamai Dili sebagai kota dagang,
tentunya agak rancu sebab istilah sebagai kota dagang mengandung makna adanya
jalinan dan simpul perdagangan yang kuat: banyak
pedagang-pedagang/saudagar-saudagar yang berkumpul dan menggantungkan bisnisnya
pada jalur perdagangan. Kenyataannya, Dili sebagai kota perdagangan tidak
benar-benar terjadi sepanjang sejarahnya. Bahkan, satu-satunya sarana
tranportasi pengangkut barang perdagangan seperti pelabuhan tidak benar-benar
mencerminkan sebagai fasilitas pendukung aktivitas perdagangan.
Dalam literatur tentang Timor, memang
sering disebutkan bahwa jauh sebelum bangsa Portugis menginjakkan kakinya di
negeri ini, bangsa-bangsa lain seperti China, Gujarat/India dan Arab telah
terlebih dahulu menjalin kontak dengan penduduk Timor terkait dengan kayu
cendananya. Pertanyaannya, tentunya daratan yang dikunjungi para pedagang
tersebut tidak menunjuk pada kota Dili, melainkan bagian Pulau Timor yang lain
seperti Lifau/Oequsse dan juga Kupang.
Bahwa benar, bila Dili disebut sebagai
kota pesisir karena lokasinya berada di tepi pantai utara (laut). Namun,
sebutan kota pesisir belum tentu mengarahkan pada kesimpulan bahwa Dili adalah
kota perdagangan.
Memang ada kegiatan perdagangan di
pelabuhan Dili sejak era kolonialisme Portugal, tetapi sifatnya hanya sebagai
tempat transaksi awal atau
penghubung antara: antara daerah pedalaman di Timor Leste dengan kota-kota
pelabuhan di sekitarnya, seperti Kupang, Ambon, Makassar, Surabaya, Malaka
hingga Eropa. Dili, sangat berbeda dengan Malaka (Singapura). Kota Malaka
merupakan kota pelabuhan perdagangan internasional. Sementara Dili, hanyalah
sebuah kota pelabuhan yang mirip dengan tempat
pengepulan bahan-bahan baku yang dikumpulkan dari daerah-daerah
pedalaman/distrik. Tempat para pedagang mengemas barang dagangan sebelum
dikirim ke lokasi sasaran di luar negeri.
Kurangnya Dili disebut sebagai kota
dagang juga dapat dibuktikan dengan tiadanya kota-kota distrik sebagai
penyangga dan penyuport utama lalu lintas barang dagangan. 12 kota distrik yang
ada di Timor Leste, sejak dulu hingga sekarang, tidak lebih sekedar memerankan
peran sebagai kota transit bagi para pejabat dan atau para elit pemerintahan
setelah melakukan pensensusan terhadap populasi pada masing-masing kota
tersebut alias fungsi koordinasi saja. Artinya, tidak ada jejak yang dapat
dijadikan sebagai penguat pembenaran bahwa 12 kota tersebut merupakan kota sub
satelit yang berperan penting bagi kelangsungan perdagangan di kota Dili.
|
Penduduk Timor Leste 1969 |
Satu-satunya aktivitas perdagangan di
Timor Leste yang relative bisa mengidentifikasikan adanya kegiatan perekonomian
pasar hanyalah dengan dibukanya perkebunan kopi di beberapa lokasi di bagian
tengah negeri ini, seperti Ermera dan Maubessi. Walaupun begitu, transaksi
dagang yang ada adalah transaksi jual beli antara penguasa colonial yang
diwakili oleh perusahaan milik penguasa dengan para petani kopi yang lebih
menyerupai sekumpulan manusia budak: majikan dengan para budak. Transaksi
perdagangan yang hanya sebatas pengangkutan bahan baku yang kemudian ditukar
dengan barang-barang yang menjadi kebutuhan penguasa dan misionaris Portugis
saat itu.
Ciri lain dari kota dagang adalah
terletak pada multietnik dan hiterogenitas masyarakatnya. Indikator ini
sepertinya tidak terpenuhi oleh kota Dili. Multietniknya bukan sekedar dilihat
dari etnik-etnik pribumi semata, melainkan dari luar Timor Leste. Meskipun ada
orang Afrika, Arab, India (Goa), dan China (Macau), tetapi keberadaan mereka di
Dili terkait erat dengan politik kolonialisme Portugal. Portugal membawa orang
Afrika bukan sebagai pedagang, melainkan sebagai budak yang di-tentara-kan guna
membantu menumpas perlawanan rakyat Timor Leste dan di dalam menghadapi
serangan dari lawan-lawan sedaratannya, seperti Belanda dan Inggris. Sementara
untuk orang—orang Macau dan Goa, Portugal menggunakannya karena kedua kota
tersebut merupakan kota-kota kekuasaan Portugal di Asia. Goa merupakan pusat
kekuasaan colonial atas Timor, sebelum digantikan oleh Macau.
Terkait dengan adanya kegiatan bisnis
yang dilakukan oleh orang China, sesungguhnya ini telah berjalan secara
“natural” jauh sebelum Portugal menaklukkan Dili. Sudah sejak lama, orang-orang
China mengadakan hubungan bisnis dengan orang Timor, khususnya terkait dengan
kayu cendana. Orang China pula yang kemudian berperan cukup penting dalam
menghidupkan jalur perdagangan dan perekonomian Dili selama Portugal menguasai
Timor Leste.
Sebagaimana kita ketahui, satu-satunya
koloni Portugis di Asia Tenggara hanyalah Timor Leste, yang lokasinya dijepit
oleh pulau-pulau sekitar yang dikuasai oleh Belanda dan Inggris. Tentunya susah
bagi bangsa Portugal untuk melakukan aktivitas perdagangan.
Faktor penting lainnya adalah ‘mengapa
dili tidak mampu tumbuh sebagai kota dagang’ juga dikarenakan kondisi internal
negara Portugal di Eropa yang tidak mengalami revolusi industri/borjuasi
sebagaimana yang dialami negara pesaingnya, seperti Belanda, Perancis, Inggris,
Austria, Jerman, dan sebagainya. Portugal abad ke-17/18 masih tetap hidup dalam
sistem kemasyarakatan lama: perubahan dalam social kemasyarakatan sangat
dikontrol oleh system pemerintahan monarkhi konservatif. Artinya, di Portugal
sendiri tidak terbangun golongan pedagang dan juga tidak adanya perubahan pola
produksi masyarakat dari pertanian ke industry, dalam makna melahirkan golongan
masyarakat yang bebas. Jika pun ada, maka kuantitas dan eskalasinya berbeda
jauh dibanding negara-negara pesaingnya. Dengan ketiadaannya pasaran industri
menunjukkan ketiadaanya permintaan akan bahan-bahan kebutuhan industri. Dengan alasan
inilah, maka terdapat perbedaan antara Dili dengan kota-kota koloni bangsa
non-portugis.
Dili, juga susah untuk dimasukkan sebagai kota
suci/sakral. Dari bukti sejarah perkembangan masyarakat Timor Leste, maka tidak
pernah ada sebuah doktrin suci atau institusi-institusi yang dipandang sakral
oleh masyarakat, setidaknya sebuah kerajaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa
tidak ada kisah dan bukti prasasti sejarah yang dapat menyatakan bahwa pernah
ada sebuah kerajaan besar yang berdiri dan menguasai daratan Timor Leste,
termasuk Dili. Kenyataannya, tidak ada. Dili hampa akan nilai dan
praktek-praktek yang bernuansa kesakralan.
Istilah kerajaan (liurai) di Timor Leste
tidak lebih dari sebuah wilayah yang dikuasai oleh suku-suku atau kelompok
etnik tertentu. Berdasarkan sejarah lisan, di masa lalu jauh sebelum kedatangan
Portugal ke Dili, maka Dili telah didiami oleh kelompok kecil suku/etnik
Mambai. Pada saat itu, etnik Mambai di Dili terbagi dalam dua wilayah keluarga
(komunal), yakni Liurai untuk komunal di Bidau dan Liurai untuk komunal di
Motael.
|
Rumah Adat Tutuala, 1972: Simbol Kesucian Tradisional |
Sejarah liurai di Timor Leste, selalu
dikaitkan dan dibuktikan dengan satu-satunya prasasti peninggalan mereka, yakni
uma-lisan (rumah adat)---semacam istana liurai berbentuk rumah panggung dengan
luas 3 x 3 meter. Terkait dengan Dili, terdapat sebuah rumah adat yang
dipercaya bekas peninggalan Liurai Motael yang terletak di Manleuana (pinggiran
sebelah selatan kota Dili). Jika
pun peninggalan ini benar, maka sebagaimana yang lazim dalam tradisi
etnik-etnik di Timor Leste, maka keberadaan rumah adat tersebut hanya berlaku
dan mengikat bagi etnik anggota adat (berlaku untuk segaris keturunan, dan
tidak berlaku untuk etnik yang lain). Artinya, kesucian/kesakralannya bersifat relative.
Dengan argument ini, tidak ada indikasi (apalagi fakta) mengenai jalinan
‘ideologi kesucian di kota Dili yang berlaku dan mengikat semua masyarakat Dili’.
Memang ada usaha-usaha yang dilakukan
oleh penguasa kolonialis Portugal untuk “mensucikan kota Dili dan Timor Leste”
dengan memperkenalkan simbol-simbol kesucian ala Portugis dengan pembangunan monument-monumen
kecil serta ala misionaris Katholik beserta bangunan gerejanya. Bahkan pada
upaya yang paling massif yang berusaha dilakukan oleh para elit dan tokoh agama
juga dilakukan dengan cara ‘selalu member tanda salib pada setiap kematian
anggota masyarakat di hampir semua sudut rumah dan daratan Timor Leste’, namun,
hingga sejauh itu, upaya-upaya tersebut kurang mendapatkan respon positif dari
masyarakat. Setidak-tidaknya, hingga era 1970-an, total penduduk Timor Leste
yang berhasil dikatolikkan hanya berkisar pada angka 30%. Angka ini menunjukkan
bahwa ada keragu-raguan dalam masyarakat mengenai doktrin suci yang
dikampanyekan oleh para misionaris tersebut, yang notabene tidak bersumber dari tanah Timor dan mereka pun tahu betul
bahwa para misionaris tersebut memiliki keterikatan hubungan biologis dan
sosial dengan para imperialis Portugis itu sendiri.
Tumbuh pesatnya Katholik di Timor Leste,
justru ketika Portugal dengan sebagian misionarisnya sudah tidak berada di
Timor Leste. Faktor represifnya Indonesia terhadap penduduk, yang mengharuskan
masyarakat Timor Leste untuk memilih masuk pada salah satu agama ketika
ditawari untuk memilih di antara agama resmi yang diakui oleh negara, yakni
Islam, Protestan, Katholik, Hindu dan Budha. Mengingat, jika tidak memilih
berarti: KOMUNIS alias PKI---Partai Komunis Indonesia.
Pensucian terhadap kota dili juga berusaha
dilakukan oleh penguasa Indonesia era 1990-an dengan mendirikan patung Raja
Kristus di sebelah timur Kota Dili. Meskipun begitu, pembangunan patung ini
sendiri ternyata tidak cukup efektif untuk meredam “keliaran masyarakat Dili”. Fakta bahwa pembangunan simbol-simbol
kekatholikan masih kurang diminati oleh masyarakat Timor Leste adalah tidak
terurusnya dan terbengkalainya Patung selama lebih dari 10 tahun sejak 1999.
Baru pada awal tahun 2012, lokasi patung ini direhabilitasi oleh pemerintah
dengan pembangunan taman di bawahnya. Meskipun begitu, nuansa kesakralan dan
kesuciannya pun tetap tidak terbangun. Justru, nuansa yang lebih menonjol
adalah sebagai tempat berpacaran dan arena perselingkuhan.
Agaknya, sebutan yang tepat untuk kota
Dili adalah kota kecil penghubung (Kota Satelit).
Istilah ‘kecil’ karena dari segi wilayah dan penduduknya relative kecil/sempit
dan sedikit. Dari segi peranan politiknya, semenjak era Portugal, maka Dili
adalah wilayah yang kurang diperhitungkan. Ini terbukti dengan cukup lamanya
Portugis menjadikan Oequsse/Ambeno/Lifau sebagai pusat kekuasaan kolonial. Dili
sendiri baru memainkan peran sebagai pusat kekuasaan kolonialisme Portugal
mulai tahun 1769, tetapi hanya sebatas sebagai tempat berlindung dari serangan
rakyat dan Belanda yang ada di Timor Barat. Peran penting bagi Portugal baru
terjadi sekitar pertengahan tahun 1930-an dengan dijadikannya Dili sebagai
ibukota untuk Propinsi Timor Portugis. Sebelumnya, Dili hanyalah sub dari Goa
(India) dan China (Macau). Ini, juga tidak terlepas dari kondisi internal
pemerintahan Portugal yang dilanda reformasi politik.
Dengan demikian, Dili menjadi ibukota
kolonialisme bukan melalui proses penaklukkan militer atau politik. Bahkan,
bersumber dari cerita lesan masyarakat, justru kedatangan bangsa Portugis di
Dili disambut dengan ‘penuh ramah-tamah’ oleh kelompok etnik yang ada di
Liquisa (sebuah distrik yang berada di sebelah barat kota Dili). Ini mengindikasikan
bahwa tidak ada penaklukan melalui kekerasan terhadap penduduk setempat,
sekaligus membuktikan bahwa Dili adalah sebuah kota baru yang didirikan oleh
penguasa kolonial sebagai alternative atas esclave oequsse. Tak ada perlawanan
rakyat Dili terhadap penguasa kolonial di masa lalu ketika untuk pertama
kalinya diduduki.
Sebagaimana kita ketahui, pertama-tama
bangsa Eropa menguasai daratan Asia, khususnya Asia Tenggara adalah melalui
penaklukan terhadap kota-kota utama. Belanda menjadikan Batavia sebagai kota
satelit utama untuk menghubungkan dan mengintegrasikan kota-kota satelit kecil
di sekitarnya (Semarang, Surabaya, Ambon, Makassar, Ternate) dengan Amsterdam.
Begitu juga dengan Inggris, Perancis, Spanyol dan Portugis. tetapi, untuk kasus
Dili, tidak.
Dili didirikan oleh Portugal sebagai
sebuah kota tandingan untuk menandingi kota Kupang yang dikuasai oleh Belanda.
Sebagai kota tandingan, Dili adalah penghubung penguasa Portugal di Timor
dengan Macau, Goa, koloni-koloni Portugal di Afrika, Amerika Latin dengan
induknya di Lisbão. Dili hanyalah sebuah kota pelabuhan kecil yang berperan
untuk mengangkut bahan-bahan baku yang diambil penguasa Portugal serta pebisnis
China dari daerah-daerah pedalaman di Timor Leste.
Tak ada bukti-bukti sejarah di masa
lalu, ketika Portugal mulai menguasai Dili mengenai klaim politik dari para
liurai atas kota Dili. Orang Mambai sendiri, yang pertama kali menghuni kawasan
Dili, secara politik dan kultural menjadi bagian dari komunitas Mambai yang
berada di daerah pedalaman. Dari perbincangan saya dengan orang-orang Mambai,
mereka menyatakan masih ada ikatan emosional dan cultural dengan orang-orang
Wiweke-Wehale (Atambua/Belu/Timor Barat). Kisah demikian selalu menunjuk dan
kepercayaan mereka bahwa keluarga Liurai Manufahi, Dom Boventura, masih ada
garis keturunan dengan penguasa Wiweke-Wehale.
Klaim Dili sebagai ibukota Timor Leste
baru benar-benar muncul tahun 1975 ketika Indonesia melakukan penaklukan
melalui kekuatan militer atas Dili. Saat itu dan dalam perjalanan selanjutnya,
Dili mulai dijadikan sebagai simbol wilayah ‘uma lisan/rumah adat gerakan
nasionalisme’ untuk kekuasaan rakyat Timor Leste. Atau sedikit menengok ke
belakang, Dili mulai dianggap dan disadari akan posisi pentingnya oleh
perjuangan kemerdekaan nasional, manakala para liurai berkumpul, khususnya yang
masih memiliki ikatan emosional historis dengan liurai Manufahi (Dom Boventura)
pada era 1900, di mana pada awalnya para liurai ini merencanakan sebuah
pemberontakan terhadap penguasa kolonial Portugis di kota Dili. Rencana ini
sendiri gagal dilaksanakan dan hanya meletus di Manufahi dan sekitarnya.
Sama seperti Portugal, maka penguasa
Indonesia hanya menjadikan Dili sebagai sebuah kota satelit kecil atau kota
dagang kecil yang memiliki ikatan mata rantai dengan kota-kota pesisir satelit
lainnya di Kepulauan Nusantara guna mendukung hegemoni dan eksistensi Ibukota
Jakarta. Dili semakin menemukan bentuknya sebagai bagian yang tak tepisahkan
selama 24 tahun kekuasaan Indonesia semenjak Dili mulai diintegrasikan dengan
perekonomian pasar dan diperintah oleh kebijakan pasar Indonesia. Saat itu,
Dili merupakan salah satu pensupport perekonomian Indonesia dengan
ditetapkannya Dili sebagai salah satu pelabuhan transit untuk menghubungkan
mata rantai kota-kota Indonesia di kawasan timur dengan Jakarta/Jawa.
Di era sekarang, sepertinya peranan Dili
sebagai kota kecil penghubung (satelit) masih terus berlanjut. Dili masih
menyerupai tempat yang dijadikan sebagai sumber penghubung utama atas
pengerukan modal dan kekayaan yang ada di negeri ini. Dili masih memainkan
peran sebagai kota pelabuhan penghubung atas diangkutnya kopi-kopi Timor Leste
ke luar negeri oleh perusahaan Amerika Serikat dan pebisnis asal China. Dili
sekedar berperan sebagai tempat pemasaran barang-barang import oleh para
pedagang asing. Dili masih berperan sebagai kota penghitungan uang (menghitung Orsamento Geral Estado/Anggaran Keuangan
Negara) oleh para politisi dan pengusaha asing sebelum ditransfer ke luar
negeri. Dengan demikian, Dili sebagai ibukota negara Republika Demokratika
Timor Leste baru sebatas lebel formalitas belaka. Ini jika kita melihatnya dari
segi kedaulatan. Artinya, ada kota besar yang berada di luar kota Dili yang
menggerakkan kota Dili: ibukota di atas ibukota.
B. Asal-Usul Elit Politik Dili
|
Elit Politik Timor Leste 1975 |
Banyak definisi yang berbeda mengenai
konsep dan pengertian ‘elit politik’. Ada yang mendefinisikan sebagai kumpulan
orang-orang yang berhasil mencapai kedudukan dominan dalam sistem politik dan
kehidupan masyarakat (memiliki kekuasaan, kekayaan dan kehormatan).
Ada pula yang memaknai bahwa ‘elit politik’
merupakan kelompok kecil dari warganegara yang berkuasa dalam sistem politik,
dengan memiliki kewenangan yang luas untuk mendinamisasikan struktur dan fungsi
sebuah sistem politik. Secara operasional para elit politik atau elit penguasa
mendominasi segi kehidupan dalam sistem politik. Pada akhirnya, penentuan
kebijakan sangat ditentukan oleh kelompok elit politik.
Selain itu, ada juga yang memahaminya
sebagai segolongan kecil orang yang duduk dalam puncak paramida susunan
masyarakat sebagai hasil dari kontradiksi kelas dalam masyarakat.
Baik, artikel ini mencoba tidak
mengikatkan diri pada satu atau banyaknya definisi mengenai ‘elit politik’
walaupun setiap konsep dan definisi yang ada akan berpengaruh pada analisa
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan elit politik di Timor Leste. Tulisan
ini lebih menekankan pada asal-usul munculnya elit politik di Timor Leste dalam
seetiap fase sejarahnya. Dengan demikian, setidak-tidaknya kita akan memiliki
gambaran awal mengenai siapa, apa dan bagaimana elit politik Timor Leste itu:
rekontruksi awal.
1. Elit Politik Era Kolonialisme
|
FRETILIN di Distrik Manufahi. Gambar tengah: (4) Janda Dom Boventura, 1974 |
Jika dicermati lebih lanjut, dalam
sejarahnya sebagai kota penghubung (satelit), maka Dili tidak benar-benar mampu
memunculkan segolongan orang yang kaya secara ekonomi atau Dili belum pernah
dihuni oleh golongan kapitalis yang benar-benar dominan secara ekonomi.
Artinya, sejak di masa silam, tidak ada aktivitas penanaman modal secara
besar-besaran di kota Dili. Dili
tak ubahnya gudang tempat penyimpanan barang sebelum dikirimkan ke negara-negara
tujuan. Dili hanya menjadi kota transit bagi para pengusaha China yang
melakukan kegiatan ekspor-import. Dili hanya dijadikan sebagai tempat transit
bagi para pejabat pemerintahan.
Ketidakmunculannya golongan yang dominan
tersebut, lebih banyak disebabkan oleh faktor ketiadaannya kebijakan pemerintah
Portugal di masa lalu terkait dengan investasi modal. Pemerintah Portugal
semenjak menguasai Timor Leste secara sengaja membiarkan keadaan ini. Dengan
tiadanya kebijakan politik pemerintah terkait dengan investasi, maka hanya
melahirkan segolongan pebisnis atau pedagang yang menjual dan membeli barang,
di mana uang hasil jualan selanjutnya ditabung dan dikirim ke negara asal
tempat para pedagang tersebut (di masa lalu, didominasi oleh etnik China).
Maka, tidaklah aneh lagi bila di sepanjang penjuru negeri Timor Leste tidak
dijumpai adanya bangunan dan sarana infrastruktur lain sebagai pusat
memproduksi barang dan modal. Artinya, di era kolonialisme Portugal, tidak ada kebijakan
yang mendorong orang pribumi untuk tumbuh dan tampil sebagai pelaku/pemain
ekonomi utama. Kebijakan demikian benar-benar mengakibatkan situasi yang
menakutkan bagi para pemimpin perjuangan ketika Dili dan Timor Leste dilanda
konflik politik antara FRETILIN versus UDT serta ancaman invasi yang dilakukan
oleh militer Indonesia tahun 1975. Para pengusaha China banyak yang angkat kaki
meninggalkan Dili dengan membawa harta kekayaannya (uangnya) ke luar negeri
(Australia, Hongkong, Taiwan).
|
APODETI dan UDT, 1975 |
Kebijakan yang agak berbeda, selanjutnya
dilakukan oleh penguasa Indonesia di era Propinsi Timor-Timur. Walaupun pada
awalnya, penguasa Jakarta menyatakan Timor Timur sebagai wilayah yang tertutup
(terkait dengan operasi militer), namun memasuki tahun 1990-an, Jakarta mulai
mendorong kegiatan investasi di Timor Leste, khususnya Dili. Persoalannya
adalah, orang-orang pribumi yang mencoba ditampilkan secara ekonomi ini adalah
orang-orang yang secara politik pro pada kebijakan Jakarta. Selain itu juga,
mayoritas para pelaku bisnis pada saat itu, kebanyakan adalah orang-orang non
Timor Leste.
Bila di era Portugis, elit ekonomi
relative berdiri sendiri (meskipun ada ketergantungan pada penguasa politik
Portugal), maka di era Indonesia para elit ekonomi menyatu dan sekaligus muncul
sebagai elit politik. Banyak pejabat propinsi yang berwajah ganda, yakni
sebagai politisi sekaligus pelaksana/pemilik proyek pemerintahan. Kondisi
demikian juga terjadi di kabupaten: pejabat kabupaten, juga terlibat dalam
kegiatan ekonomi. Pada akhirnya, kebijakan ini hampir memiliki konsekuensi yang
sama dengan situasi yang pernah muncul pada tahun 1975. Saat referendum 1999,
Dili dan Timor Leste dilanda kekacauan ekonomi seiring dengan banyaknya pemilik
modal yang hengkang dari Dili.
Selain itu, pengintegrasian Dili dalam
lingkaran perekonomian pasar dunia hanya melahirkan kekuasaan pasar yang berada
di bawah kendali para elit politik. Dengan demikian, para elit politik yang
benar-benar negarawan, juga belum ada. Artinya, dalam sejarahnya hampir semua
elit politik Timor Leste selalu terkait dengan elit ekonominya.
|
Elit Politik Produk Portugis |
Keberhasilan Portugal dan Indonesia atas
penguasaannya terhadap kota Dili menempatkan mereka tampil secara politik
sebagai elit politik kota. Walaupun mereka mampu menjadi elit kota namun
legitimasi mereka atas propinsi Timor Portugis/Timur sangat lemah bagi rakyat
Timor Leste sendiri. Awalnya, mereka muncul bukan dari dalam perut bumi
lorosa’e. mereka adalah produk import yang mencoba menghegomoni dan mendominasi
pikiran dan kehidupan sosial rakyat. Pada akhirnya, elit-elit tersebut hanya
mampu eksis di kota saja. Mereka kurang memiliki legitimasi atas warga
pedesaan.
Eksisnya mereka di kota menandakan bahwa
di kota Dili tidak ada nilai-nilai kesakralan yang mampu mengurangi legitimasi
posisi dan status sosial elit-elit tersebut. Jika pun terdapat penduduk asli
Dili, maka prosentasinya sangatlah kecil. Mayoritas penduduk Dili adalah kaum
urban yang berasal dari daerah pedesaan yang kemudian
bersinggungan/berinteraksi dengan penduduk non-Timor. Cepat atau lambat,
interaksi ini juga menimbulkan munculnya komunitas baru dengan kesadaran pro
pada elit-elit tersebut, termasuk golongan yang kontra.
|
Dom Aleixo Corte Real, "Liurai" Ainaro. Produk Portugis |
Baik Portugal maupun Indonesia, memiliki
kecenderungan pola yang hampir sama terkait dengan proses perekrutan terhadap para
elit politik, di mana dilakukan dengan dasar pada individu-individu atau
kelompok masyarakat yang pro pada mereka. Pada tahun 1930-an, Portugal
mengeluarkan kebijakan “civilização”, yakni sebuah kebijakan rekruitmen
terhadap kewarganegaraan (setara) Portugal. Sasaran pertamanya adalah para
pemimpin lokal etnik (liurai) dan orang-orang hasil asimilasi (keturunan
Portugal). Selanjutnya adalah terhadap orang-orang pribumi yang pro pada
kekuasaan kolonialisme. Pendirian lembaga pendidikan dan gereja-gereja Katolik
merupakan bagian dari politik sivilisasi ini.
Kebijakan sivilisasi atau pemberadaban
ini menjadi pintu utama bagi masuknya ras mistiço/campuran untuk tampil dalam
status yang lebih tinggi. Bagi Portugis, ras baru ini nilainya lebih tinggi
dibanding dengan ras atau etnik pribumi. Darah/gen campuran non-Timor dipandang
mampu membersihkan kekotoran darah penduduk pribumi. Dalam sejarahnya, para
misticu ini memainkan peranan yang strategis dalam penyelamatan bangsa Portugis
di Timor dan sekitarnya, seperti para Topas (Portugis Hitam---gen hasil
perkawinan antara penduduk pribumi kawin dengan orang-orang Afrika yang dibawa
Portugis) di Flores dan di Oequsse saat menghadapi Belanda. Kasus teraktual
adalah banyaknya para mistiço yang tergabung dalam UDT yang lebih memilih tetap
bergabung dengan Portugal dibanding Timor Merdeka sendiri tahun 1975.
Selain itu, kedua penguasa kolonial
tersebut juga melakukan modernisasi dan restrukturisasai atas tata pemerintahan
dengan cara mengintegrasikan mereka satu administrasi pemerintahan kolonialisme.
Pasca peristiwa Manufahi 1912, pemerintah Portugis melakukan perombakan
terhadap struktur administrasi tradisional masyarakat Timor Leste, mulai dari
nivel nasional hingga ke nivel suco/desa. Selain bertujuan untuk memuluskan
pelaksanaan administrasi pemerintahan, juga bertujuan pada pelahiran elit-elit
baru birokrasi. Melalui cara-cara yang demikian inilah, bagaimana para elit
politik muncul dan mengukuhkan hegemoninya atas anggota masyarakat. Secara
tidak langsung, model ini pula yang kemudian menimbulkan adanya dua
kepemimpinan dalam masyarakat: elit formal dan informal.
Secara formal, elit masyarakat adalah
orang-orang yang duduk dalam birokrasi pemerintahan. Elit ini mendapatkan
dukungan dan legitimasi politik dari penguasa/elit-elit yang berada di kota
Dili. Namun, elit yang masuk kategori ini kurang memiliki pengaruh sosial dalam
masyarakat. Artinya, legitimasi sosial mereka lemah. Bagi masyarakat, mereka
tampil sebagai elit/pemimpin di komunitasnya tidak dilandaskan pada mekanisme
dan prosedur kultural yang diwariskan oleh para leluhurnya. Mereka adalah para
liurai-liurai baru, yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan
liurai sebagaimana yang masyarakat fahami.
Sedangkan secara informal, terdapat elit
yang dalam pengaruh dan legitimasi sangat kuat dalam kehidupan social
masyarakat. Kebanyakan, kedudukan para elit ini kurang mendapatkan dukungan dan
berada di luar kekuasaan administrasi pemerintahan. Dengan demikian, mereka
berjalan mengikuti nilai-nilai dan norma-norma “lama” yang diyakini akan
kebenarannya oleh anggota komunitas.
Sebenarnya, penciptaan elit yang berbeda
ini merupakan bagian dari kebijakan politik pecah-belah, yakni membelah
masyarakat dalam dua kelompok, yakni kelompok yang pro pada penguasa kolonial
dan sebuah kelompok lagi anti terhadap penguasa kolonial. Tanpa disadari oleh
anggota komunitas setempat, mereka telah masuk dalam perangkap konflik
horizontal.
Strategi perluasan dan pendirian
struktur pemerintahan juga mulai dilakukan Indonesia setelah tahun 1975. Perbedaan
dengan Portugal adalah bila Portugal tidak sesegera mungkin membentuk setelah
menguasai Timor Leste, maka untuk Indonesia langsung membentuknya. Dengan
dikuasainya kota Dili, serta merta mendirikan struktur pemerintahan propinsi di
Dili. Kemudian dilanjutkan pada daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan.
Praktis, mulai tahun 1980-an, struktur pemerintahan Jakarta juga sudah ada di
hampir semua daratan Timor Leste. Dari pembentukan struktur pemerintahan
inilah, elit-elit politik baru muncul di Timor Leste.
Hal lain, terkait dengan asal-usul elit
Dili dan Timor Leste adalah ketika kebijakan pasar menuntut pembangunan
struktur hingga tingkatan basis. Pengeksplorasian kopi dan kayu cendana yang
dilakukan oleh Portugis di masa lalu menuntut dibangunnya sarana pasar dengan
pelaku pasar di tempat tersebut. Melalui proses ini pelaku pasar di Dili
mencoba mengintegrasikan kehidupan perekonomian nasional dengan area pedesaan.
Dengan pola ini, maka di area pedesaan juga mulai muncul elit-elit ekonomi lokal
yang menguasai pasaran lokal yang notabene
adalah elit politik setempat, yang mana dari segala aspeknya mendapatkan
dukungan dari penguasa politik di Dili.
Jadi, elit politik Timor Leste di masa
lalu adalah sekumpulan orang-orang yang eksistensinya sangat tergantung pada
elit sentral. Mereka tidak memiliki basis social yang kuat. Ibarat pohon, akar
mereka berada di atas bukan di bawah. Karenanya tidak mengherankan bila
eksistensi mereka juga akan mengalami perubahan manakala terjadi perubahan pada
system dan kebijakan politik.
Elit politik yang terbentuk di era
Portugis, seketika kehilangan status elitnya, manakala Indonesia masuk dan
menggeser mereka dengan menempatkan elit-elit baru, baik secara ekonomi maupun
politik. Penguasa Jakarta langsung merombak semua struktur pemerintahan ala
Portugis dengan struktur birokrasi yang mampu membantu penguasaan Jakarta atas
Timor Leste.
Bagi elit yang tidak bisa beradaptasi
dengan perubahan sistem/penguasa baru ini, maka mereka memilih meninggalkan
Dili dan bermigrasi ke negara lain, seperti Australia, Macau, Afrika dan
Portugal. Namun, bagi yang mampu beradaptasi, mereka lebih memilih melakukan
kolaborasi dengan penguasa Jakarta. Golongan inilah yang selanjutnya menjadi
salah satu sumber kekuatan Jakarta atas Dili dan sekaligus menjadi elit-elit
baru di Dili.
Secara otomatis, dimulai semenjak 1975
terjadi sebuah perubahan secara radikal dan fundamental terhadap struktur sosial
masyarakat. Untuk kesekian kalinya, kehidupan sosial masyarakat Timor Leste
berjalan secara tidak normal. Dalam sekejap, elit-elit ekonomi dan politik baru
bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain, perubahan ini juga
membawa dampak kultural pada masyarakat.
Masyarakat yang sudah “terbiasa” dengan
kultur yang diterapkan penguasa Portugis serta-merta harus beralih mempelajari
dan mempraktekkan kultura baru yang mulai diperkenalkan oleh penguasa
Indonesia. Akibatnya, semua itu menimbulkan benturan sosial budaya pada
masyarakat.
Pada saat yang bersamaan, sebagaimana
yang pernah terjadi di masa Timor Portugis, kebijakan pemerintahan baru ini
juga melahirkan kelompok-kelompok beserta elit politik yang kontra. Elit
ekonomi dan politik baru yang berposisi sebagai oposisi ini, pada akhirnya
membentuk sebuah komunitas dalam lingkaran perlawanan. Melalui lingkaran baru
inilah, elit-elit politik Timor Leste di era kemerdekaan terbentuk sebagaimana
yang ada saat ini.
2. Elit Politik Era Kemerdekaan
|
Elit campuran: Produk Portugis dan Indonesia |
Terdapat satu
benang merah yang dapat ditarik untuk mengidentifikasi elit politik di Timor
Leste di era kemerdekaan. Bahwa “semua menggunakan karir perang atau
keterlibatannya selama proses perjuangan pembebasan nasional melawan okupasi
Indonesia.” Karir ini pula yang kemudian dijadikan sebagai satu-satunya tolak
ukur untuk mengukur lawan-lawan politiknya sekaligus mencari legitimasi social
politik pada masyarakat. Lebih jauh, lebel ini juga dipakai sebagai instrument untuk
mendapatkan akses pada penguasaan ekonomi (baca: proyek pemerintahan). Karir
ini juga yang kemudian dipakai untuk memberikan lebel kepada elit-elit politik
pendukung integrasi terhadap Indonesia.
Untuk mengetahui siapa, apa dan
bagaimana elit politik terbentuk di era kemerdekaan Timor Leste, maka tidak
bisa tidak harus kembali ke belakang, yakni tahun-tahun 1960-1970-an. Ketika di
akhir-akhir kekuasaannya penguasa Portugis mulai memperbolehkan penduduk
pribumi menikmati pendidikan, maka pada saat itu juga, elit-elit politik dengan
latar belakang pendidikan formal mulai tumbuh di negeri ini. Elit-elit inilah
yang kemudian di era Propinsi Timor-Timur memainkan peranan penting dalam
perjuangan kemerdekaan Timor Leste.
|
Elit Era 1980-an |
Potensi “pemberontakan” yang terkandung
dalam diri kelompok intelektual baru Timor Leste ini juga disadari sepenuhnya
oleh pemerintah Jakarta. Karenanya, antara tahun 1975 – 1980-an Pemerintah
Jakarta melalui kekuatan militernya mencoba melakukan politik ‘potong sapi’,
yakni politik pemotongan garis generasi (ideologis), baik dengan cara
penghilangan secara fisik maupun non-fisik (kurikulum pendidikan ala Indonesia).
Akibatnya, sebagian besar dari elit intelektual tersebut nasibnya berakhir pada
‘kematian’, sebagian lagi masih hidup namun dengan cara melarikan diri ke luar
negeri, dan sebagiannya lagi tetap bertahan di dalam negeri dengan cara
berkolaborasi dengan penguasa Jakarta.
Pada saat yang hampir bersamaan, seiring
dengan makin represifnya pemerintahan Orde Baru, secara tidak langsung juga
melahirkan elit-elit muda baru. Dalam perkembangannya, golongan ini menjadi
garda depan perjuangan pembebasan nasional. Walaupun golongan ini hanya eksis
sekitar 10 tahun (hingga 1999), namun pada akhirnya, di era kemerdekaan ini mereka
muncul sebagai salah satu elit politik di negeri ini.
Peristiwa referendum 1999 seakan-akan
menjadi titik temu ‘terkonsolidasinya’ kekuatan Timor Leste (pro-kemerdekaan),
sekaligus menjadi titik balik hilangnya sebagian elit politik Timor Leste
lainnya (pro-integrasi). Kekuatan-kekuatan pro-kemerdekaan, semuanya kembali
dan berkumpul di kota Dili. Semua elit ekonomi dan politik yang selama 24 tahun
kehilangan status elitnya (karena berada di luar negeri), seolah-olah
mendapatkan semangat dan momentum baru untuk mengembalikan status tersebut:
status yang sempat dinikmati saat era Timor Portugis.
Persoalan baru muncul, pelan-pelan namun
pasti, ‘konsolidasi kekuatan elit pro-kemerdekaan’ ini (generasi Portugis) pada
akhirnya memicu protes dari kalangan elit generasi muda (generasi Indonesia). Mereka
terpolarisasi dalam dua kutub, yakni generasi tua pada satu kutub dan generasi
muda pada kutub yang lain. Di samping itu, di masing-masing golongan generasi
tersebut juga dilanda perpecahan antar elit-nya.
Pada fase awal kemerdekaan Timor Leste,
dominasi elit dipenuhi oleh generasi tua. Dominasi ini tidak semata-mata di
lapangan politik, melainkan juga ekonomi. Situasi ini kemudian, memicu protes
dari elit-elit muda dan generasi tua yang merasa tidak kebagian “lapangan kerja
atau kue kemerdekaan”.
|
Elit Produk Indonesia |
Jika pemahaman elit politik didasarkan
pada kelembagaan, maka mulai dari tahun 2002 hingga 2007, permainan politik
utama didominasi oleh elit-elit sebagai berikut: Partido FRETILIN (Lu-Olo &
Mari Alkatiri cs), Partido ASDT (Francisco Xavier do Amaral), PSD (Mario
Carascallo: eks Gubernur Propinsi Timor Timur), UDT (João Carascallo), PD
(Fernando Lasama-Mariano Assanami Sabino cs), PST (Avelino Coelho), KOTA
(Manuel Tilman), PPT (Jacob Xavier) dan elit partai gurem lainnya. Dapat
dikatakan bahwa selain elit PD dan PST, semua elit partai-partai di atas masuk
dalam kategori generasi tua. Sedangkan di luar elit partai politik tersebut
terdapat kelompok Xanana Gusmão (Presiden Republik) dan eks anggota FALINTIL
(F-FDTL).
Sementara itu, jika ditinjau dari segi
memerintah dan diperintah, praktis periode 2002 elit politik yang memerintah
didominasi oleh kelompok FRETILIN (Lu-Olo & Mari Alkatiri cs). Meskipun
begitu, kelompok ini juga terpolarisasi dalam beberapa golongan utama, yakni
FRETILIN Maputo (Afrika) yang dipimpin oleh Mari Alkatiri cs. dan terdapat juga
FRETILIN non-Maputo (elit-elit yang selama 24 tahun berada di luar negeri),
serta FRETILIN ai-laran/hutan. Kelompok lain yang masuk dalam lingkaran ini
adalah elit generasi muda FRETILIN (ada yang di dalam dan luar negeri). Dengan demikian, maka periode ini terdapat
segolongan elit politik yang memerintah dan elit politik yang tidak memerintah.
Masing-masing elit tersebut juga membangun jaringan ekonominya.
|
Korban konflik elit politik 2006 |
Peta politik elit seketika berubah,
semenjak meletusnya konflik politik 2006. Turunnya Mari Alkatiri dari jabatan
Perdana Menteri membawa dampak yang besar pada eksistensi ke-elit-an
pemimpin-pemimpin FRETILIN. Praktis, sejak kekalahan Lu-Olo dalam Pemilihan
Umum Presidensial 2007 dan ketersingkiran FRETILIN dalam pembentukan
pemerintahan hasil pemilu 2007 menyebabkan semua elit FRETILIN berada di luar
kekuasaan.
Ketersingkiran FRETILIN tahun 2007, juga
tidak lepas dari peran politik yang dimainkan oleh Xanana Gusmão. Bagi sebagian
besar elit politik FRETILIN, Xanana dinilai sebagai orang yang paling
bertanggung jawab atas hancurnya struktur FRETILIN era resistensi. Dengan
demikian, praktis semenjak 2007 hingga sekarang ini, permainan politik di Timor
Leste berada dalam kendali Xanana lebih-lebih setelah terpilihnya Taur Matan
Ruak sebagai Presidente da Republika
pada pemilihan umum 2012. Perubahan ini bukan saja menyingkirkan kstatusan elit
bagi pemimpin FRETILIN di pemerintahan, namun juga bagi elit partai lainnya,
seperti Mario Carascallo dengan elit PSD-nya, Ramos Horta dengan klik-nya, dan
sebagainya.
Dengan tampilnya Xanana sebagai figure
sentral, serta-merta mengubah komposisi elit politik. Walaupun terdapat
beberapa partai politik yang terlibat dalam pembentukan pemerintahan 2012
(Bloku Koligasaun: CNRT, PD dan FRENTE Mudanza), namun dapat dikatakan bahwa
semua elit-elit tersebut menari dan menyanyi berdasarkan nada dan music yang
dimainkan oleh Xanana.
Hal di atas menandakan bahwa yang ada hanya sikap politik berlindung, membebek, atau
berebut pengaruh sebanyak mungkin dari kekuasaan Xanana Gusmão. Selain figure
Xanana sudah terbangun lama semenjak era resistensi, kelembagaan figure Xanana
semakin menemukan bentuknya justru bermuara dan dilakukan oleh para elit
politik yang berada di sekitar Xanana. Ini merupakan gejala personalisasi
politik. Penyebutan nama Xanana oleh mereka selalu dimulai dengan kata-kata:
“Maun Boot (Kakak Besar) Xanana Gusmão)”, “Komandante da Luta”, dan seterusnya.
Inilah “Feodalisme Politik”.
Benang merah lain yang dapat dijadikan
sebagai indikator untuk merekontruksi elit politik Timor Leste saat ini adalah
bahwa dalam sepanjang sejarahnya, mereka juga selalu terlibat dalam aktivitas
ekonomi. Bukan menjadi rahasia umum, bila terdengar ada seorang atau lebih
pejabat yang tersandung dalam kasus korupsi terkait dengan proyek-proyek
pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain mereka juga bermain tunggal,
mereka pun menjalin hubungan dengan para pengusaha baik dalam negeri maupun
asing. Kasus ini tidak hanya menerpa pada elit-elit politik yang berada di
Dili, melainkan hampir merata di semua distrik atau elit politik lokal.
Sementara jika dilihat dari segi
perilaku, hampir semua elit politik era kemerdekaan ini memiliki karakteristik
dan perilaku yang sama, yakni sama-sama “hidup dalam ketegangan”. Tradisi
berdebat secara ilmiah dan obyektif tidak pernah muncul selama 10 tahun
terakhir ini. Yang paling banyak hanyalah aktivitas saling berkirim pesan singkat antar mereka melalui SMS dengan
maksud hanya untuk mendengar satu demi satu proyek mana yang bisa mereka ambil
dan calokan melalui tangannya baik yang di legislatif maupun eksekutif.
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, bahwa struktur elit politik menyerupai piramida.
Duduk dipuncak piramida adalah generasi 1975 dan 1980, selanjutnya generasi
1990-an pada lapisan kedua, dan para pengusaha pada lapisan ketiga.
Yang
patut diperhatikan adalah jika perekontruksian elit politik ini didasarkan pada
ras, maka nampak sekali adanya garis benang merah yang mempertemukan
kepentingan masa lalu dengan kepentingan selanjutnya, khususnya terkait dengan
keberadaan mistiço Timor (Portugis dan China). Selama 10 tahun terakhir ini,
terlihat jelas sekali peran dan dominasi mereka dalam perpolitikan. Walaupun
negara ini dibangun atas semangat Maubere---rakyat pribumi--, realitasnya
menunjukkan lain, di mana yang dominan dalam menjalankan dan menikmati hasil atas
dibentuknya Negara RDTL ini adalah para mistiço
tersebut (keturanan Portugal dan China).
Hal
lain yang cukup unik dan fenomenal di negeri ini adalah bahwa seseorang untuk
tampil diri menjadi elit politik terkesan begitu mudah. Sampai-sampai
memunculkan sebuah opini dalam masyarakat: mudah naik dan mudah turun. Kemudahan
ini terbangun lewat 5 modus, yakni kedekatan dengan pemimpin, kemampuan menghasilkan
uang untuk pemimpin, memiliki karir resistensi, memiliki kemampuan berbahasa
Portugis, dan modus rekonsiliasi.
Seseorang
yang sebelumnya tidak pernah dianggap oleh masyarakat (karena masyarakat
tidak/kurang mengakui akan ke-elit-annya), maka orang tersebut dapat menduduki
jabatan penting dalam pemerintahan, baik politis maupun birokrasi. Dalam kasus
ini, unsur koneksivitas menjadi hhal yang penting. Dengan catatan: sebuah koneksivitas
yang bukan timbale-balik, melainkan ‘menghamba/pengemis’. Biasanya, perubahan
status tersebut akan pula diikuti dengan perubahan kondisi hidup sehari-hari:
rumah mendadak megah, mobil mewah, setiap minggu atau akhir bulan selalu
liburan, dan sebagainya. Perubahan ini, tentunya akan juga dilihat oleh
tetangga kanan-kirinya.
Kasus
lain yang sering seseorang dapat dengan mudah tampil sebagai elit adalah
kemampuan untuk menghasilkan uang bagi elit yang memimpinnya. Di Dili,
kemampuan ini sangat dibutuhkan, dengan mengingat banyaknya
program-program/proyek-proyek pemerintahan dengan anggaran yang besar. Tipikel
demikian sengaja dipasang dengan maksud dan tujuan untuk mengambil
bagian/komisi atas proyek-proyek tersebut.
Modus
yang ketiga adalah bila orang itu memiliki riwayat perjuangan di masa lalu. Dengan
status eks veteran atau mantan pejuang, maka seseorang dapat dengan cepat duduk
sebagai elit politik dan elit ekonomi. Kebijakan pemerintah yang menekankan
pentingnya menghargai jasa para veteran, mendorong pikiran dan perilaku ‘kesempatan
dalam kesempitan’. Para veteran berlomba-lomba mendirikan organisasi veteran
dengan dua tujuan utama: jabatan dan akses ekonomi. Adanya reaksi dari golongan
veteran yang demikian terhadap kebijakan pemerintah tersebut, pada akhirnya
juga menimbulkan semacam perasaan kekecewaan dari anggota veteran yang lain,
yang kebetulan ‘nasibnya kurang beruntung’.
Selain
ketiga modus di atas, terdapat satu modus lagi berkaitan dengan mudahnya
seseorang meraih posisi dengan status sebagai elit, yakni menguasai bahasa
portugis. Keputusan elit politik di masa lalu yang menempatkan bahasa Portugis
sebagai bahasa resmi dinilai oleh kebanyakan rakyat Timor Leste telah
menimbulkan praktek diskriminasi. Kebijakan bahasa ini hanya menguntungkan bagi
segolongan masyarakat yang selama tempo kolonilisme telah menguasai bahasa
Portugis (golongan mistiço
dan generasi tua lainnya). Selain itu, jabatan-jabatan public,
sepertinya hanya diperuntukkan bagi golongan intelektual saja. Sementara faktanya,
sebagian besar penduduk Timor Leste berada dalam keadaan ‘buta huruf’. Melalui inilah,
golongan elit baru Timor Leste terbentuk.
Modus
terakhir adalah rekonsiliasi. Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa 1975 dan
referendum 1999 merupakan peristiwa yang membelah masyarakat Timor Leste dalam
dua golongan politik utama. Peristiwa 1975 membelah masyarakat dalam golongan
pro-kemerdekaan (ASDT-FRETILIN) dan golongan pro-integrasi (UDT-Portugal,
APODETI-Indonesia). Sedangkan peristiwa 1999 telah membelah masyarakat dalam
dua golongan politik juga, yakni pro-kemerdekaan dan pro-integrasi Indonesia. Rekonsiliasi
dipandang sebagai jalan yang tepat oleh sebagian elit politik untuk mengembalikan
kondisi social masyarakat Timor Leste dalam Persatuan dan Kesatuan Nasional. Dengan
modus ini, jalan terbuka lebar bagi tampilnya golongan pro-integrasi untuk
menduduki posisi politik tertentu dalam pemerintahan. Sudah pasti, reaksi yang
muncul dalam sebagian elit pro-kemerdekaan dan golongan masyarakat adalah sikap
penolakan.
3. Derajad
Ketahanan Elit Politik
Jika
elit politik tampil sekaligus sebagai elit ekonomi tentu akan berpengaruh pada
labilnya perekonomian nasional. Pergantian politik, sudah pasti akan
mempengaruhi pergantian perekonomian negara. Elit politik dan pejabat negara
tampil sebagai golongan kaya baru dengan menempatkan masyarakat pada lapisan
mayoritas yang hidup dalam kemiskinan.
Pada
akhirnya, kekuasaan dan uang akan selalu seiring dan sejalan. Setiap orang akan
berlomba-lomba merebut kekuasaan hanya untuk memenangkan dominasinya atas uang.
Elit politik yang bermentalkan uang, tentu kadarnya berbeda dengan para
pengusaha yang sejak awal sudah berangkat dengan logika keuangan. Dalam kasus Timor
Leste, keduanya (elit politik dan elit ekonomi) sama-sama memiliki
ketergantungan. Dengan melihat dari fakta yang ada, derajad ketergantungan di
antara keduanya hampir sama.
Belajar
pada kasus-kasus sebelumnya, eksistensi elit politik yang bertipekal demikian
memiliki kecenderuangan yang kurang bertahan lama. Apalagi jika hal ini
dikaitkan dengan variable legitimasi sosial: praktis tidak ada sama sekali.
Interaksi sosial politik hanya terjadi antara elit politik dengan masyarakat
ketika menjelang even politik, seperti pemilihan umum saja. Atau pada saat “siapa
menggunakan/memanfaatkan siapa”.
Rakyat
Timor Leste memiliki kacamata dan logika berpikir tersendiri dalam melihat
persoalan tersebut. Rakyat Timor Leste juga memiliki tradisi tersendiri dalam
mengganti atau menggulingkan dominasi dan kekuasaan para elit tersebut. Pengalaman
sejarah inilah, yang pada akhirnya memberikan bekal dan pengetahuan mengenai “hokum
pergantian kekuasaan beserta elitnya” di Timor Leste.
Tidak
pernah ada kebodohan yang berlangsung abadi, walaupun bisa saja berlangsung
lama. Evolusi kesadaran rakyat akan terbentuk seiring dengan realitas obyektif
sehari-hari, walaupun kadang-kadang kesadaran tersebut masih dalam taraf di
bawah sadar. Namun, mimpi yang sempat melintas dalam tidurnya, seketika dapat
menyentakkan diri untuk bangkit dan bangun dengan maksud menghancurkan realitas
ketidakadilan yang dirasakan.
**************