Minggu, 25 Maret 2012
PERSONALISASI PARTIDU POLITIKU IHA TIMOR LESTE
By Vladimir
Ageu DE SAFI’I
Konggres Partido Democratico II, Dili (GMT) Dari sebelah kiri, Lasama, Assanami |
Partidu politiku (parpol) merupakan salah satu saja dari sekian banyak bentuk pelembagaan sebagai wujud
ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam
masyarakat demokratis. Selain parpol, bentuk ekspresi lainnya terjelma juga dalam wujud kebebasan pers,
kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi
non-partai politik seperti organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas),
organisasi non pemerintah
(NGO’s), dan lain sebagainya.
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa
menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi/peranan partidu politiku. Keempat fungsi partai politik itu
meliputi sarana: (a) sarana komunikasi politik, (b) sosialisasi politik (political
socialization), (c) sarana rekruitmen politik (political
recruitment), dan (d) pengatur konflik (conflict
management).
Pada dasarnya, keempat fungsi tersebut sama-sama
terkait antara fungsi satu
dengan yang lainnya. Sebagai instrumen komunikasi politik, partai politik berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political interests”
yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai
kepentingan tersebut selanjutnya diserap dengan sebaik-baiknya
oleh parpol menjadi ide-ide, visi dan
kebijakan-kebijakan parpol yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi
kebijakan tersebut
diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi
kebijakan kenegaraan yang resmi.
Terkait dengan fungsi sosialisasi politik, parpol juga berperan sangat penting
dalam rangka pendidikan politik. Parpol-lah yang menjadi struktur-antara atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam mempopulerkan cita-cita kenegaraan dalam
kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Sementara itu, sebagai instrumen rekruitmen politik (political recruitment), parpol dibentuk
dengan
maksud untuk
menjadi kendaraan yang sah dalam menyeleksi kader-kader pimpinan negara pada nivel dan posisi-posisi tertentu. Asumsinya adalah
setiap parpol mampu
menciptakan kader-kader
‘negarawan’.
Dalam hal mekanisme perekrutan kader parpol menjadi pemimpin negara dapat saja
dilakukan melalui proses pemilihan secara langsung oleh rakyat seperti jabatan
Presiden Republik, anggota Parlemen
Nasional, chefe do Suco, dan
seterusnya. Atau bisa juga dilakukan dengan cara tidak langsung seperti
mendudukan kader terbaik partai untuk jabatan menteri dan jabatan publik
non-politik lainnya.
Fungsi keempat adalah pengatur dan
pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan
bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan
yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai
politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang
berbeda-beda satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sebagai pengatur
atau pengelola konflik (conflict
management) partai politik berperan sebagai sarana
agregasi kepentingan (aggregation of
interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui
saluran kelembagaan politik partai. Fungsi pengeloa konflik dapat juga dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai
mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara
menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan
politik kenegaraan.
Dengan demikian,
terkait hubungannya
dengan kegiatan bernegara, peranan partai politik sebagai mediator sangat menonjol. Di samping
faktor-faktor yang lain seperti pers yang bebas dan sebagainya, peranan partai
politik dapat dikatakan sangat menentukan dalam dinamika kegiatan bernegara, yakni dalam proses dinamis perjuangan
nilai dan kepentingan (values and
interests) dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan
dalam konteks kegiatan bernegara. Artinya, partai politik bertindak sebagai
perantara dalam proses-proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan
institusi-institusi kenegaraan. Jadi, partai politik merupakan satu-satunya sarana ekonomi
atau politik untuk membentuk kemauan kolektif.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa
berorganisasi itu merupakan prasyarat mutlak dan inti bagi setiap perjuangan politik. Dengan begitu, harus diakui pula bahwa
peranan organisasi partai politik sangat penting dalam rangka dinamika pelembagaan demokrasi. Dengan
adanya organisasi, perjuangan kepentingan bersama menjadi kuat kedudukannya
dalam menghadapi pihak lawan atau saingan, karena kekuatan-kekuatan yang kecil
dan terpecah-pecah dapat dikonsolidasikan dalam satu front.
Pada dasarnya, setiap organisasi dapat tumbuh normal dan berkembang secara alamiah
menurut tahapan waktunya sendiri. Logikanya adalah makin tua usianya, ide-ide dan
nilai-nilai yang dianut di dalam organisasi tersebut maka akan semakin terlembagakan (institutionalized) menjadi tradisi dalam
organisasi.
Organisasi yang dalam
pertumbuhan dan perkembangannya mampu melembagakan diri cenderung pula mengalami proses “depersonalisasi”.
Orang dalam maupun orang luar sama-sama menyadari dan memperlakukan organisasi yang bersangkutan
sebagai institusi, dan tidak dicampur-adukkannya dengan persoalan personal atau
pribadi para individu yang kebetulan menjadi pengurusnya. Banyak organisasi,
meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi tidak terbangun suatu tradisi di mana urusan-urusan pribadi
pengurusnya sama sekali terpisah dan dipisahkan dari urusan keorganisasian.
Dalam hal demikian, berarti derajat pelembagaan organisasi tersebut sebagai
institusi, masih belum kuat, atau lebih tegasnya belum terlembagakan sebagai
organisasi yang kuat.
Jika hal ini dihubungkan dengan
kenyataan yang terjadi di Timor Leste, banyak sekali organisasi sosial politik dan kemasyarakatan yang kepengurusannya masih
sangat “personalized”. Di kalangan
partai politik, maka Fretilin masih sangat tergantung dan benar-benar di bawah
pengaruh/hegemoni Mari Al-katiri; ASDT juga benar-benar melekat dengan
Fransisco Xavier do Amaral; PNT dengan Abilio de Araujo; PST dengan Avelino
Coelho; PD dengan Fernando Lasama dan Mariano Sabino; atau CNRT juga begitu
kental dengan Xanana Gusmao. Partai-partai tersebut dengan derajat yang berbeda-beda, masih
menunjukkan gejala personalisasi yang kuat atau malah sangat kuat. Konsekuensi dari
kuatnya ‘personalized’nya ini akan
berdampak pada kesolidan
organisasi manakala lider-lider
tersebut meninggal
dunia
atau tidak menjabat pimpinan partai lagi.
Gejala
“personalisasi” ini Nampak
sekali terlihat
tatkala suatu organisasi mengalami kesulitan dalam melakukan suksesi atau
pergantian kepemimpinan. Dengan tetap dipilihnya duet Lu-Olo dan Mari Al-katiri
dalam Kongres Fretilin tahun lalu, tetap dipertahankannya duet Xanana Gusmao
dengan Dionizo Babo dalam Kongres CNRT, serta duet Fernando Lasama dan Mariano
Assanami Sabino dalam Kongres kedua Partidu Demokratiku akhir tahun lalu merupakan gambaran betapa
sulitnya suksesi
atau pergantian kepemimpinan dalam partai-partai tersebut. Bahkan, tidak
menjabatnya Mario Carascalo sebagai Presiden PSD, telah menyebabkan
tercerai-berainya partai tersebut.
Selama
suatu organisasi belum dapat mengatasi krisis dalam pergantian kepemimpinannya,
dan belum berhasil meletakkan dasar pengaturan yang dapat diakui dan dipercaya
oleh anggotanya, maka selama itu pula pelembagaan organisasi tersebut masih
bermasalah dan belum dapat dikatakan kuat. Apalagi jika pergantian itu
berkenaan dengan pemimpin yang merupakan pendiri yang berjasa bagi organisasi
bersangkutan, seringkali timbul kesulitan untuk melakukan pergantian yang
tertib dan damai.
Dengan demikian,
maka dapat disimpulkan bahwa hampir semua partidu politiku di Timor Leste ini
telah terjebak dan sedang digerogoti oleh sebuah penyakit yang bernama:
personalisasi institusi. Jika ini dikaitkan dengan fungsi parpol sebagai
instrumen rekruitmen politik, maka hampir semua partidu politiku di Timor Leste
ini telah gagal melakukan kaderisasi kepemimpinan politik di masa yang akan
datang. Artinya, negara ini sedang dihadapkan pada ketiadaan atau krisis
kepemimpinan.
Selain itu,
dapat dipastikan bahwa semua elit politik yang mencalonkan diri sebagai
kandidat Presidente da Republika dan anggota Parlemen Nasional dalam elisaun
jeral 2012 ini adalah para pemain lama, yang masing-masing menjadi pemimpin di
masing-masing partai politiknya atau komunitasnya. Asumsinya adalah: jika
mereka sendiri gagal dalam melahirkan kader-kader pemimpin handal di internal
organisasi/komunitasnya (jika pun terpilih menjadi pejabat publik-politik),
maka dapat kita pastikan mereka tidak akan bisa melahirkan pemimpin-pemimpin
baru di masa selanjutnya.
Gejala
personalisasi ini sesungguhnya dimulai dari Undang-Undang Kepartaian dan Organisasi
Kemasyarakatan yang memberikan peluang mengenai begitu mudahnya untuk
mendirikan sebuah partai politik atau organisasi kemasyarakatan. Sebagaimana
kita ketahui bahwa prasyarat untuk mendirikan sebuah parpol cukup hanya dengan
melampirkan sekitar 1.500 kartaun electoral (tidak peduli apakah si pemilik
kartaun electoral adalah benar-benar anggota partai baru tersebut atau tidak),
selanjutnya Tribunal Rekursu memberikan lebel legal pada parpol tersebut. Pada
akhirnya, mudahnya persyaratan ini telah menafikkan/tidak menghiraukan mengenai
pentingnya kualitas dan komitmen para pendiri partai, struktur kepengurusan
partai, ideologi, program, dan sebagainya.
Dengan asumsi
bahwa partai politik merupakan satu-satunya instrument demokratis yang diberi
kewenangan legal untuk melakukan kaderisasi pemimpin politik di masa depan yang
diakui oleh perundang-undangan, maka kita semua tentu berharap bahwa hasil
elisaun jeral 2012 ini benar-benar mampu menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat
yang benar-benar pro rakyat. Langkah awal yang harus ditunjukkan oleh mereka
adalah melakukan revisi terhadap segala peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan partai politik.
Di masa yang
akan datang, seyogyanya setiap partai politik yang ada saat ini (peserta pemilu
2012) dan partai baru yang hendak didirikan harus kembali mendaftarkan diri
dengan contoh persyaratan sebagai berikut: (a) Memiliki sede/kantor nasional;
(b) setidak-tidaknya memiliki 50 % struktur kepengurusan di nivel distrik
(sekitar 7 distrik dari 13 distrik) yang dilengkapi dengan masing-masing adanya
sede/kantor distrik; (c) harus pula didirikan adanya 50 % struktur kepengurusan
di nivel subdistritu (contoh: distrik Lautem memiliki 5 subdistrik, maka harus
dibangun di 3 subdistrik) yang dilengkapi dengan masing-masing sede/kantor
subdistrik; (d) selanjutnya setidak-tidaknya memiliki 25 % struktur
kepengurusan di nivel suco beserta sede partai dari jumlah suco yang ada di setiap
subdistriknya; (e) semua nama-nama pengurus yang dicantumkan dalam struktur
kepengurusan di semua nivel diwajibkan menyerahkan kartaun electoral asli pada
saat mendaftarkan diri; (f) pihak terkait (Ministeriu Justisa atau Tribunal
Rekursu) harus melakukan pengecekan dan verifiikasi di lapangan secara
langsung.
Contoh
persyaratan sebagaimana dijelaskan di atas hanyalah salah satu mekanisme
politik terkait dengan pentingnya rekruitmen politik guna melahirkan
pemimpin-pemimpin baru yang berkarakter negarawan. Persyaratan tersebut juga
untuk meminimalisir terbukanya peluang partai politik dipakai sebagai kendaraan
pribadi untuk kepentingan pribadi. Ini juga untuk mencegah munculnya konflik
horizontal seperti lorosa’e-loromonu, dan seterusnya. Jadi, ukun rasik’an
bukanlah milik pribadi, tetapi milik povu Timor Leste tomak.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar