BUKA (MENCARI)
CANDIDATO
DO PRESIDENTE PRO-POVO
By Vladimir Ageu DE SAFI’I
Dili, Timor Leste
Sudah pasti kita semua setuju jika
kita membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas. Kita
pun tentu tidak menolak, jika bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin yang berani
dan pintar, memiliki kredibilitas dan intregitas yang tinggi, serta yang
terpenting lebih mendahulukan dan memprioritaskan kepentingan rakyat dibanding
kepentingan pribadi dan kelompoknya: seorang nasionalis yang mampu berdiri dan
menyatukan kemajemukan bahasa, etnik, dan kultur rakyat Timor Leste.
Dalam konteks hubungan internasional,
wajah seorang pemimpin negara mulai dari presiden, perdana menteri dan para
pejabat negara lainnya akan dipandang sebagai sosok/figur yang mewakili
keseluruhan bentuk dan isi negara tersebut oleh negara lainnya. Pertama-tama
dan untuk pertama kalinya, hubungan dan kerjasama antar negara akan diawali
dari pemimpin atau pejabat negara yang bersangkutan. Baik dan buruknya
perilaku, karakter, dan penampilan pejabat/pemimpin negara tersebut akan
mempengaruhi (bahkan dalam level tertentu bersifat menentukan) proses pembentukan
imej/persepsi dari pemimpin dan rakyat dari masing-masing negara. Karenanya,
kita membutuhkan seorang pemimpin yang dapat mewakili segala-galanya.
Salah satu mekanisme demokratik yang
memfasilitasi munculnya seorang pemimpin sebagaimana yang dijelaskan di atas
adalah melalui pemilihan umum. Meskipun di tengah-tengah kondisi organisasi sosial
politik (partai politik) yang lemah dalam hal kaderisasi politik melalui
pendidikan politiknya dan sistem pemilihan umum yang masih banyak kekurangannya,
namun kita harus tetap optimis dan berharap bahwa elisaun jeral presidensial
2012 ini mampu menyeleksi munculnya seorang presiden yang pro-rakyat.
Sudah barang tentu, untuk mendapatkan
seorang presiden terpilih yang benar-benar pro-rakyat, bukanlah proses yang
mudah. Seorang pemimpin sejati, tidak dilahirkan dalam waktu sekejap. Pemimpin
sejati dan pro-rakyat tidak mungkin dilahirkan dan dibentuk dalam masa 14 hari atau
saat masa kampanye kandidat presiden saja. Semaksimal apa pun seorang kandidat
mempromosikan citra dirinya pada rakyat dalam kampanye, maka ini tidak dapat
dijadikan sebagai ukuran/indikator bahwa para kandidat tersebut merupakan
pemimpin rakyat yang pro-rakyat.
Timor Leste dengan jumlah penduduk
sekitar 1 juta jiwa dengan puluhan etnik dan kulturnya (termasuk majemuknya
kemauan masing-masing etnik) tentu menjadi tempat yang sempit untuk
“bersembunyi” agar rakyatnya tidak tahu tentang pikiran, sikap dan perilaku
sehari-hari dari masing-masing kandidat. Adalah sebuah kesalahan bila
menganggap masa kampanye sebagai media utama untuk mempromosikan
kepopulerannya. Kampanye adalah media komunikasi prematur, yang umurnya lebih
pendek jika dibandingkan dengan usia jagung.
Meskipun begitu, kita juga tidak bisa
memungkiri bahwa kampanye dan pemilihan umum merupakan instrumen legal yang
dijamin oleh Konstitusi dalam rangka memobilisasi rakyat yang memiliki hak
pilih untuk menentukan pilihannya. Di tengah-tengah keprematuran jadwal
mempromosikan diri para kandidat serta berbagai manipulasi-manipulasi yang
mungkin dilakukan selama masa kampanye dalam pembentukan persepsi publik oleh
setiap kandidat, kita berharap semoga 600-an ribu penduduk ini benar-benar
dapat memilih seorang kandidat presiden yang berani dan tidak penakut; atau
jangan sampai rakyat ini memilih ‘busa iha karung laran.’
Pemimpin yang penakut adalah pemimpin
yang hanya berani berorasi pada kata-kata dan kalimat yang sifatnya jeral.
Bicara demokrasi, tapi tidak berani menegaskan model dan sistem demokrasi apa
yang dibutuhkan oleh rakyat; bicara keadilan, tetapi tidak mampu menjelaskan keadilan
yang bagaimana yang diharapkan oleh rakyat; bicara kemakmuran, namun tidak
memiliki kemampuan untuk menyatakan kemakmuran yang seperti apa yang diharapkan
oleh rakyat; dan sebagainya.
10 tahun berlalu, dua kali pemilihan
umum, dan dua kali presiden terpilih berkuasa semenjak 1999. Tetapi, semenjak
itu pula, kita belum melihat adanya perubahan yang signifikan pada tata
kehidupan bermasyarakat. Kebijakan pemerintahan selama ini cenderung
diskriminatif. Pemerintah dan para pengambil keputusan lainnya lebih
memprioritaskan pembangunan kelas atau golongan masyarakat menengah melalui
proyek-proyek kenegaraan yang ada. Sejauh ini, kebijakan tersebut dapat
dikatakan: gagal.
Rekayasa pelahiran kelas menengah
melalui didorongnya rakyat untuk mendirikan perusahaan-perusahaan agar bisa
dilibatkan dalam pembangunan nasional melalui tender-tender di masing-masing
kementerian, jelas-jelas terbukti tidak berhasil. Justru sebaliknya, golongan
para pengusaha dadakan (baca: kontraktor dadakan) ini terjebak dalam konflik
horizontal di antara sesama mereka. Situasi demikian terbentuk lebih banyak
disebabkan, pemerintah tidak memiliki perencanaan yang matang terkait dengan
mekanisme dan managemen yang bagaimanakah yang harus diterapkan guna
menkonsolidasikan mereka agar mampu lahir sebagai kelas menengah yang mandiri.
Karenanya tidak mengherankan bila muncul
praktek-praktek pemberian proyek tanpa melalui tender atau jikapun melalui
tender tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ‘kong-kalikong’ antara
pengusaha yang memenangkan proyek dengan pejabat terkait. Dampak lain dari
prematurnya pembangunan model kelas menengah ini addalah tidak adanya perubahan
mentalitas yang signifikan dari mentalitas “tidak memiliki uang menjadi
memiliki uang dalam sekejap.” Atau dengan kata lain, tidak dapat melahirkan
golongan kelas menengah yang bermental untuk mengembangkan modal hasil proyek
dalam bentuk usaha-usaha nyata baik di sektor formal maupun informal.
Kebanyakan yang terjadi adalah setelah mendapatkan proyek, maka yang dilakukan
adalah meningkatkan gengsi sosial di tengah-tengah masyarakat, seperti membeli
mobil baru, membangun rumah baru, berlibur ke luar negeri hingga dijadikan
modal untuk berselingkuh.
Sebenarnya, tanpa dianalisa lebih
mendalam pun, maka kebijakan tersebut benar-benar tidak pro pada kepentingan
rakyat banyak. Justru kebijakan ini memicu lahirnya gap sosial, kecemburuan sosial,
hingga pembagian kelas dalam masyarakat Timor Leste.
Secara teoritis, kebijakan pemerintah
ini didasarkan pada pemahaman bahwa untuk menegakkan demokrasi di segala lini,
maka salah satu komponen yang harus dibangkitkan adalah munculnya kelas
menengah yang kuat. Mereka percaya dan yakin, hanya kelas menengahlah yang
dapat berpartisipasi dan memajukan demokrasi. Mereka juga beranggapan bahwa
tidak mungkin melibatkan rakyat yang miskin dan tingkat pendidikan yang rendah
dalam pembangunan demokrasi di negeri ini. Apa yang telah dijelaskan di atas
tersebut, hanya sebuah contoh kasus mengenai ketidakjelasan arah pembangunan
bangsa ini.
Memberdayakan tumbuhnya kelas menengah
bukanlah kebijakan yang salah, selama pada saat yang bersamaan juga
memberdayakan rakyat maubere, rakyat proletariat, rakyat lapisan kelas bawah.
10 tahun berlalu, tentu belumlah
terlambat bagi bangsa ini untuk kembali merefleksikan diri mengenai nilai-nilai
yang terkandung dalam Proklamasi kemerdekaan 1975 serta espiritu ukun rasik’an
mengenai masa depan rakyat dan bangsa Timor Lorosa’e.
Kita membutuhkan seorang Presidente da
Republika yang berani dan tidak penakut. Yang berani untuk menyatakan sebagai
Presiden Pro-Rakyat, yang akan menggunakan segala kewenangannya sesuai dengan
yang dimandatkan oleh Konstitusi untuk mendesak agar pemerintah hasil Elisaun
Jeral Parlementer membuat kebijakan Pro-Rakyat. Seorang Presidente da Republika
yang tidak penakut, untuk melawan segala bentuk-bentuk dan praktek-praktek yang
intinya tidak berpihak pada kepentingan 1 juta lebih rakyat Timor Leste.
Pertanyaan mendasarnya, siapakah di
antara ke-13 Kandidatu Presidente tersebut yang Pro-Rakyat? Semoga rakyat di
negeri ini tidak mudah tertipu dengan berbagai isu dan bentuk kampanye yang
sudah mulai dilakukan oleh para kandidat presiden tersebut. Sekali lagi,
kampanye hanyalah media komunikasi yang bersifat premature. Mirip dengan adegan
yang dipertunjukkan dalam kompleks prostitusi, di mana penampilan yang kita
lihat adalah penampilan yang sifatnya sesaat/temporer; kenikmatan yang kita
raih adalah kenikmatan tidak lebih dari lima menit. Intinya, kenikmatan yang
kita dapatkan, tidak sebanding dengan harga yang harus kita bayarkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar