Minggu, 25 Maret 2012
AVO XAVIER IN MEMORIA:
IRONIS!
By Vladimir Ageu DE SAFI’I
(Timor Leste)
“Bukan kepada kalian, kami tundukkan kepala. Tetapi
hanya kepadamu, kepala kami tertundukkan. Kamu telah mengajarkan kepada kami,
bagaimana menjadi seorang pejuang kehidupan. Sementara kalian…!
Kami tahu, tetesan air mata kalian adalah palsu
belaka. Ratapan tangis kalian, kami tahu adalah ungkapan kegembiraan. Ucapan
selamat tinggal kalian adalah rayuan penuh kesandiwaraan.
Bukan kepada kalian, para politikus gadungan, kami
tundukkan kepala. Tetapi, hanya kepadamu, Avo Xavier, kepala kami tertundukkan!
Kalian tetaplah kalian, takkan pernah berubah menjadi kami. Dan kamu tetaplah
kamu, dan kamu menjadi bagian dari kami!
Antara kalian! Kami! Kamu! Dan aku!”
Francisco Xavier do Amaral dilahirkan pada
tanggal 3 Desember 1937 dan menutup usia tanggal 6 Maret 2012. Dibanding
penduduk Timor Portugis lainnya, beliau lebih beruntung karena terlahir sebagai
anggota keluarga liurai. Artinya, beliau berada dalam struktur sosial yang di mata kolonialis Portugis diberi akses
untuk menikmati kebijakan pemerintahan Portugal, seperti dalam hal pendidikan.
Namun Xavier tetaplah orang Mambai,
di mana istilah ‘maubere’ berasal. Kurikulum pendidikan Portugis tidak mampu
sepenuhnya mempengaruhi dan mengubah Xavier untuk berperilaku dan berpikiran
seperti orang-orang Portugis. Ia pun sadar bahwa kebijakan pendidikan
kepasturan (Katholik) sepenuhnya mengabdi pada kepentingan politik kolonialisme
Portugal. Dengan sendirinya, menyadarkan Xavier bahwa dirinya tetap orang
Mambai, orang yang dilahirkan dan dididik dalam nilai-nilai kultural Mambai.
Pada situasi yang kontradiktif inilah, kita dapat melihat sosok Xavier yang
pada waktu bersamaan mempraktekkan dua kepercayaan yang berbeda: reza ala
Katholik Roma, liafuan ala Mambai.
Terlepas dari kontroversi terkait
dengan awal pembentukan ASDT tahun 1974, maka peranan Xavier dalam perjalanan
ASDT dan proses kemerdekaan sangat menentukan. Baik Ramos Horta maupun Mari
Alkatiri mengakui (wawancara dengan RTTL, 6 Maret 2012), bahwa ASDT dan
cita-cita kemerdekaan membutuhkan Xavier yang pada waktu itu, usianya lebih tua
dibanding dengan yang lainnya, yang jelas-jelas tidak taktis jika Ramos Horta
dan Mari Alkatiri (kedua-duanya orang Timor keturunan) sendiri yang memimpin
ASDT dan memproklamirkan Timor Lorosa’e sebagai sebuah negara yang merdeka.
Dalam konteks inilah, ketiga tokoh 1975 yang memiliki latar belakang sosial
yang berbeda tersebut disatukan.
Faktor latar belakang sosial yang
berbeda, perasaan dan pengalaman sebagai orang Timor yang berbeda, pengetahuan
dan ide-ide politik tentang organisasi – kemerdekaan yang berbeda, merupakan
persoalan-persoalan yang membuat tokoh-tokoh tersebut (Xavier, Nicolau, Horta,
dan Mari) selalu dalam kondisi ‘perang dingin,’ yakni bersatu untuk pecah.
Jika dianalisa dari sudut pandang
teori perjuangan kelas (Marxisme), keempat tokoh tersebut merupakan
individu-individu yang berkeinginan untuk melakukan aksi bunuh diri kelas,
yakni dari kelas borjuasi menjadi proletariat. Nicolau Lobato yang berlatar
belakang militer mencoba menjadi seorang maubere; Ramos Horta yang keturunan
Portugis mencoba menjadi seorang maubere; Mari Alkatiri yang dari golongan Arab
pengusaha pun mencoba menjelmakan dirinya menjadi sosok maubere; juga Xavier do
Amaral yang berasal dari keluarga liurai juga mencoba menghilangkan kehidupan
liurainya menjadi manusia maubere. Ini merupakan salah satu persoalan yang tak
kunjung terselesaikan di dalam diri masing-masing tokoh-tokoh tersebut.
Tidak adanya satu-kesatuan
kejiwaan/roh di antara mereka, dan ditambah dengan tidak berdayanya
pemerintahan Portugis serta makin mengerasnya gempuran militer Indonesia, pada
akhirnya mendorong golongan 1975 tersebut terjebak (mau tidak mau) untuk
membuat sebuah kompromi taktis-pragmatis bahwa Xavier harus didaulat untuk
menjadi Presiden ASDT, Presiden ASDT-Fretilin, dan sekaligus sebagai orang yang
berwenang untuk membacakan teks proklamasi kemerdekaan Timor Lorosa’e.
Perasaan secara 100 persen untuk
mengakui Xavier sebagai Proklamador kemerdekaan terasa semakin berat diberikan
manakala para tokoh-tokoh pencetus ide kemerdekaan tersebut dalam keadaan
tercerai-berai akibat kuatnya gempuran militer Indonesia yang berkolaborasi
dengan UDT, Apodeti, Kota, dan sebagainya, di mana ada sebagian yang bertahan
di dalam negeri (Xavier dan Nicolau) dan sebagian melarikan diri keluar negeri
(Horta dan Alkatiri). Tentu ini menambah makin besarnya tingkat perasaan
(pengalaman) dan kesadaran sosial di antara mereka.
Penyatuan keempat tokoh tersebut
semakin tidak menemukan bentuknya, ketika pada tahun 1978 terjadi perpecahan
terkait dengan ide dan strategi perjuangan dalam mengahadapi invasi Indonesia
di antara Xavier do Amaral dan Nicolau Lobato. Xavier diisolasi dan ditangkap
oleh militer Indonesia, sedangkan Nicolau tertembak mati. Pada fase ini, maka
sejarah keempat tokoh tersebut telah ‘habis’ dan peranannya tergeser dengan
munculnya tokoh-tokoh perlawanan baru yang kemudian menjadi sentral dalam
perjuangan seperti Xanana Gusmao (membangun kelompok tersendiri).
Dengan sedikit pemaparan kondisi
sebagaimana dijelaskan di atas, maka tidaklah heran apabila di era kemerdekaan
saat ini (pasca referendum 1999) kita melihat masih canggungnya (lemahnya
kemauan) untuk mengakui Xavier do Amaral sebagai Proklamador kemerdekaan dengan
segala hak privasi yang harus diberikan oleh negara melalui pemerintah
kepadanya.
Sesuatu yang sangat ironik sedang
melanda bangsa dan negeri ini. Kita dapat melihat sebuah pemandangan melalui
layar televisi, radio, dan berita di jurnal-jurnal, di mana orang-orang dan
para politikus dengan ekspresi wajah kepedihan penuh kemunafikan meratapi
meninggalnya Sang Proklamador. Sebuah rasa simpatik yang dipaksakan. Bagaimana
tidak, ketika Xavier masih hidup, maka kita tidak melihat atau mendengar ada
seorang politikus yang menyatakan Xavier adalah Sang Proklamador kemerdekaan,
apalagi dinyatakan sambil menangis sebagaimana kita lihat dan dengar dalam tiga
hari terakhir ini. Bagi Xavier, maka penghormatan yang demikian sudah tidak ada
artinya lagi, mengingat yang bersangkutan sudah meninggal. Artinya tidak dapat
menikmati penghormatan tersebut.
Makin naïf dan benar-benar
merendahkan martabat seorang manusia, manakala penghormatan yang diberikan ini nampak
jelas dipenuhi dengan nuansa kepentingan politik. Para kandidat Presiden
menjadikan momentum kematian Xavier sebagai salah satu bahan kampanye untuk
menarik simpatik rakyat, khususnya para pendukung Xavier.
Apa yang terjadi dalam beberapa hari
terakhir ini merupakan sebuah pelajaran berharga penting untuk dijadikan
sebagai pengalaman dan sarana intropeksi diri. Bahwasannya rakyat negeri ini
sedang berhadapan dengan musuh yang sangat besar, yakni para elit politik yang
bermental dan berperilaku munafik/malanbe. Mentalitas berpolitik yang jauh dari
etika kemanusiaan.
Selain itu, pelajaran lainnya adalah
bagaimana bangsa dan para elit serta pemimpin politik di negeri ini untuk mulai
belajar menghargai peran dan jasa orang lain dengan minimal mengucapkan
kata-kata: “obrigado” atau “thank you” atau “terima kasih.” Jika dari sekitar
34 bahasa dan dialek yang dipakai oleh rakyat di negeri ini tidak diketemukan
istilah untuk menghargai orang lain, mengapa harus malu untuk meminjam istilah
yang biasa dipakai oleh bangsa lain di luar Timor Leste.
Memang, Xavier adalah tetap Xavier.
Beliau juga tetap manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kelemahan,
serta keterbatasan. Beliau bukan manusia yang sempurna. Beliau tetap orang
Mambai-Kaimauk. Namun, ini tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya alasan
untuk menghargai peranan Xavier dalam perjuangan kemerdekaan, setidak-tidaknya
peranan menentukannya ketika beliau membaca teks proklamasi kemerdekaan tanggal
28 November 1975. Mengingat, gara-gara peristiwa yang dibaca pada hari Jum’at
inilah, kita dapat melihat terbitnya cahaya matahari pagi sekarang ini.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang
tahu dan mau menghargai/menghormati warga bangsanya yang telah berjasa.
Politikus yang besar adalah politikus yang mau menghargai politik dari lawan-lawan
politiknya. Jika tidak: “bukan kepada kalian, kami tundukkan kepala! Kami
adalah kami, dan kalian tetaplah kalian!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar