Senin, 09 April 2012

ELECTION GERAL PRESIDENTIAL TIMOR LESTE 2012: MAMPUKAH DEMOKRASI DIKONSOLIDASIKAN DI NEGERI INI?


ELISAUN JERAL 2012:
MAMPUKAH DEMOKRASI DIKONSOLIDASIKAN DI NEGERI INI?
 Oleh: Vladimir Ageu de SAFI’I

Dili, Timor Leste
 
Dalam hitungan hari ke depan, negara ini akan menyelenggarakan perhelatan politik besar berupa Elisaun Jeral (Elijer), yakni elijer untuk Presidente da Republika dan Parlemen Nasional. Para pengagum teoria demokrasia menamainya: Elijer sebagai sarana pesta rakyat dan sekaligus momentum peradilan rakyat terhadap para politisi-“nya”, yang diselenggarakan selama sekali dalam 5 tahun atau satu periode. Bagi rakyat Timor Leste (RDTL), ini merupakan elijer yang ketiga-kalinya.
Hingga tulisan ini dibuat, berbagai nama kandidat Presidente da Republika, baik dari partai (baca: organisasi) maupun perorangan (biasa disebut “independen”, sebuah istilah yang kurang tepat, mengingat mengandung berbagai kemungkinan perbedaan interpretasi. Namun, secara umum dimaknai sebagai seorang kandidat yang “berdiri-sendiri”, netral atau bebas dari pengaruh politik individu atau kelompok kepentingan politik lainnya. Mengenai ‘benar dan tidaknya’, tulisan ini tidak akan membahasnya.) yang sudah mendaftarkan diri ke Tribunal Rekursu, di antaranya: Taur Matan Ruak (perorangan, namun issu yang berkembang didukung oleh Partidu CNRT), Jose Luis Guterres (perorangan, namun issu yang terdengar didukung oleh Partidu Frente Mudansa), Fernando Lasama de Araujo (dicalonkan oleh Partidu Demokratiku), Fransisco Lu-Olo Gutteres (dicalonkan oleh Partidu Fretilin), Fransisco Xavier do Amaral/Avo Xavier (dicalonkan oleh Bloku Proklamador---yang merupakan hasil aliansi beberapa partai politik, seperti ASDT “Resistensia”/ASDT non Gil Alves dan para pendukungnya, PMD, PDC, PDRT, dan Parentil), Rogerio Tiago Lobato (perorangan, namun issu yang berkembang didukung oleh para pendukung Fretilin non kelompok Mari Alkatiri cs.), Abilio da Concecao Abrantes de Araujo (perorangan, namun issu yang berkembang didukung oleh PNT), Jose Manuel Ramos Horta (perorangan, namun issu yang berkembang didukung oleh PDN, UDT, dan PSD), Maria Angela Freitas Soares (perorangan, namun issu yang berkembang didukung oleh Partido Trabalista), Angelita Maria Fransisca Pires (perorangan, namun issu yang berkembang didukung oleh kelompok orang-orang Timor Leste yang dulunya tinggal di Australia), Fransisco Gomes (dicalonkan oleh Partidu Liberta Povu Ai-leba), Lucas da Costa (perorangan, namun issu yang berkembang didukung oleh orang-orang PD yang berseberangan dengan Fernando Lasama),  Maria do Ceu (perorangan, namun issu yang berkembang didukung oleh partai pecahan dari KOTA), dan Manuel Tilman (dicalonkan oleh Partidu KOTA/PPT). Sementara itu, terkait dengan elijer untuk Parlemen Nasional, maka telah tercatat 25 partidu politiku yang akan berkompetisi. Dalam elijer ini, suara yang diperebutkan sekitar 628.454 pemilih.
Tidak ada demokrasi tanpa organisasi sosial politik (orsospol). Tetapi, adanya ‘organisasi sosial politik’, belum tentu diikuti dengan adanya ‘demokrasi’. Intinya, untuk dapat mewujudkan sebuah sistem demokrasi yang kuat, maka harus pula diikuti dengan pembangunan organisasi sosial politik yang kuat juga.
Dalam literatur yang membicarakan mengenai konsep dan teori demokrasi, maka yang dimaksudkan dengan organisasi sosial politik adalah partai politik (parpol). Dengan demikian, upaya pembangunan dan pewujudan demokrasi di sebuah negara, sangat terkait dengan usaha-usaha pembangunan dan penguatan terhadap partai-partai politik yang ada di negara tersebut. Dalam konteks ini, maka Negara Republika Demokratika Timor Leste (RDTL) memiliki tanggungg jawab dan kewajiban untuk menguatkan partai-partai politik yang ada, baik parpol yang mendapatkan kursi di Parlemen Nasional maupun yang tidak.
Salah satu kondisi yang menunjukkan adanya perkembangan yang kurang menyenangkan dan dapat membahayakan bagi proses dan kelangsungan terhadap konsolidasi demokrasi di Timor Leste adalah masih terlihatnya kelemahan-kelemahan di dalam organisasi sosial politik (termasuk di dalamnya adalah partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan---juga NGO’s) dan lembaga Parlemen Nasional, baik di nivel struktur dan infrastruktur organisasi hingga rendahnya keteladahan (baca: etika berpolitik) dan komitmen (moral dan politik) dari para elit partai politik beserta para membro/deputados Parlemen Nasional.
Penjelasan di atas sebenarnya bermuara pada tahun-tahun sebelumnya. Jika kita mau jujur terhadap diri kita sendiri, maka konsesus politik yang dilakukan oleh para elit politik Timor Leste beserta pihak internasional pasca referendum 1999 merupakan sebuah konsesus politik yang dipaksakan. Di tengah euporia politik kemerdekaan yang baru diraih, para elit ini mencoba mewujudkan cita-cita modern nation state Timor Leste tersebut segera setelah restorasi kemerdekaan tanggal 20 Mei 2002. Tetapi, mereka segera terbentur kepada kenyataan terkait dengan belum tersedianya prasarana sosial-budaya pada bangsa kita guna mendukung ide-ide negara modern tersebut. Akibat dari belum tersedianya prasarana tersebut, maka tidak kurang dari 7 bulan setelah restorasi kemerdekaan (4 Desemeber 2002), sebuah cobaan masalah untuk menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Mari Al-katiri mencoba dilakukan. Selang 3 tahun kemudian (2005) sebuah demonstrasi yang dimotori oleh pihak Gereja dengan tujuan yang sama juga dilakukan. Tak lama, yakni setahun kemudian, munculnya krisis 2006 yang berujung dengan mundurnya Mari Al-katiri, dan seterusnya. Belum lagi ditambah dengan berbagai macam konflik horizontal yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Semua itu menjadi salah satu fakta, mengenai gagalnya para pemimpin ini dalam membuat kontruksi jeral tentang nation state.
Memang, sebagaimana kita saksikan bahwa semenjak konsep dan tata cara kehidupan berdemokrasi mulai dilahirkan di Yunani Kuno pada sekitar 5 abad Sebelum Masehi atau sekitar 2500 tahun yang lalu, maka proses pewujudan suatu tatanan masyarakat yang demokratis masih terus berlangsung dalam mencari bentuk sempurnanya, bahkan dapat dibilang nyaris sebagai proses yang berpangkal namun tidak berujung (ada pangkalnya, tapi tak ada ujungnya). Di Amerika Serikat sendiri---negara yang mengklaim sebagai nenek moyangnya demokrasi, tempat lahirnya segudang teoritikus demokrasi---, dalam kenyataannya hingga hari ini, segala konsep dan praktek demokrasi yang dijalankan tidak sepenuhnya dapat ditiru dan diimplementasikan di negara-negara non-amerika serikat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua sistem demokrasi---apa pun bentuk, kematangan maupun kesempuranaannya---membutuhkan upaya reformasi/perubahan yang terencana/terprogram dan berkesinambungan (sustentavel). Kebutuhan akan perubahan yang terencana dan secara terus-menerus ini didasarkan pada perubahan kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya di dalam masyarakat.
Dengan menggunakan teori hukum dialektikanya Karl Marx: dari negasi ke negasi (meniadakan untuk ditiadakan), maka kelangsungan masa depan suatu sistem politik ditentukan bagaimana sistem politik baru tersebut ketika menghilangkan (baca: menggantikan) sistem sebelumnya. Dalam konteks ini, maka ‘proses penghilangan’ menjadi faktor penentu. Dengan kata lain, bagaimana proses transisi tersebut dijalankan.
Berangkat dari hal di atas, maka kelangsungan suatu sistem politik, khususnya di sebuah negara yang tengah mengalami transisi menuju demokrasi (dalam kasus Timor Leste adalah dari era penjajahan menuju era kemerdekaan) sangat bergantung sekali pada keberhasilannya dalam melewati proses transisi menuju demokrasi politik secara stabil, damai atau non kekerasan. Adanya transisi politik secara damai akan memberi penekanan bahwa lembaga-lembaga politik yang ada beserta elitenya baik pada lapisan atas maupun pada lapisan masyarakat untuk berada pada keteguhan dan ketahanan yang maksimal ketika dihadapkan pada perubahan-perubahan politik yang berlangsung beserta konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya.
Di negeri ini, meskipun istilah ‘demokrasi’ mulai didiskusikan oleh kalangan elit intelektual pada tahun 1970-an serta tanggal 28 November 1975 secara resmi dipergunakan sebagai nama negara ‘Republik Demokratik’, namun institusi-institusi penopang demokrasi dalam konteks negara independen secara sepenuhnya baru dimulai pada tahun 2002 (di era Propinsi Timor Timur, sarana dan prasarana struktur dan infrastruktur demokrasi juga dibentuk, namun segalanya berorientasi demi memuluskan kepentingan politik Jakarta---politik invasi---terhadap Dili). Dengan demikian, upaya penerapan sistem demokrasi beserta penguatan sarana struktur dan infrastrukturnya baru berusia sekitar 10 tahun.
Pengenalan sistem ketatanegaraan baru tersebut spontan membuat hakfodak sebagian besar elit politik resistensi yang pada dasarnya kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman secara menyeluruh mengenai sistem demokrasi beserta pemerintahan semi-presidensialnya. Hal yang serupa juga dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Sesungguhnya, kondisi ini menggambarkan mengenai betapa kurang siapnya sumber daya manusia Timor Leste pada saat itu. (Penulis sendiri berprinsip tidak harus segala sesuatunya tersedia terlebih dahulu, baru merdeka. Tetapi, pada akhirnya kelemahan-kelemahan tersebut tidak bisa kita pungkiri saat ini)
Dalam proses dan perkembangan demokrasi di segala penjuru dunia saat ini, kita dapat menyaksikan adanya beberapa sistem politik yang berhasil dalam proses transisi demokrasi, tapi ada pula beberapa di antaranya yang melaluinya (transisi demokrasi) dengan penuh gejolak bahkan mengancam stabilitas nasional. Kasus ‘pendemokratisan’ negara-negara kawasan Asia dan Afrika yang dilakukan oleh Negara-negara Barat beserta instrumen militernya, telah memasukkan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika pada kondisi dengan sebutan sebagai sebuah “negara yang gagal”, yang juga mengancam stabilitas nasional negara-negara tetangganya. Elisaun Jeral yang dipercaya sebagai satu-satunya instrumen pengembalian kedaulatan rakyat secara langsung, ternyata tidak cukup efektif menghilangkan sistem yang berlaku sebelumnya (lihat kasus Afganistan, Irak, Mesir, dsb.). Dampak yang parah adalah dalam kasus Yugoslavia, Uni Soviet, dan Sudan yang menghasilkan negara-negara baru dalam ikatan-ikatan sebagai negara-negara etnik.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, tentunya, kita semua sepakat bahwa lembaga inti di semua negara demokrasi adalah Parlemen dan Partai Politik. Di Negara kita,---meskipun membaptiskan diri sebagai negara dengan bentuk ‘Republika Demokratika’---dalam kenyataannya, lembaga seperti Parlemen Nasional tidak mampu menunjukkan diri sebagai lembaga yang mampu menjadi badan pembuat undang-undang dan pengawas pemerintahan yang efektif. Publik Timor Leste merasa skeptis dengan sikap para deputados yang dinilai asal bicara dan hanya mementingkan kepentingan pribadinya. Singkatnya adalah apabila rakyat sudah tidak percaya lagi dengan partai politik dan Parlemen Nasional, maka demokrasi pun tidak dapat berfungsi dan menghadapi resiko digantikan oleh sistem pemerintahan yang otoriter atau semi-otoriter, atau tetap dengan sistem demokrasi namun untuk mencapainya diawali melalui sebuah revolusi sosial (baca: gejolak sosial). Sebagai bahan perenungan bersama, maka penting untuk melihat sistem kepartaian kita saat ini, bagaimana begitu mudahnya mendirikan sebuah partai politik---mirip dengan belanja modo iha Merkado Comoro: cukup hanya dengan menunjukkan 5.000 foto kopi kartaun elektoral, maka Tribunal Rekursu sudah dapat menyatakan legalisasi partai tersebut.
Sekedar sebagai bahan referensi, O’Donnel dan Schmitter (1993) memaknai konsolidasi demokrasi sebagai (proses) penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara terpadu memfasilitasi tercapainya demokratisasi politik. Dalam pandangan ini, maka unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah pertama, lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite politik, kelompok-kelompok kepentingan mau pun masyarakat politik. Kedua adalah adanya kesepakatan bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatkan dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif padu selama transisi menuju demokrasi. Keyakinan akan pentingnya konsolidasi demokrasi ini didasarkan pada argumen bahwa pemerintahan demokratik adalah bentuk pemerintahan yang paling tepat untuk masa kini.
Rezim politik Timor Leste saat ini merupakan sebuah rezim yang didirikan melalui proses yang salah satunya diwarnai dengan adanya keterlibatan dari pihak asing (UN—United of Nations). Baik di masa rezim Mari-Fretilin maupun Xanana-AMP, keduanya dihadapkan pada dua pilihan, yakni pertama, menjalani masa transisi demokrasi ini dengan tingkat konsolidasi elite yang padu (solid) ke arah satu tujuan tercapainya demokratisasi politik; atau jalan yang kedua, yakni menjalani transisi demokrasi yang berliku-liku dengan tingkat kepaduan elite yang sangat rapuh, penuh konflik dan gejolak politik massa.
Munculnya “liberalisasi” saat ini,---yaitu proses pengefektifan hak-hak tertentu yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan negara atau pihak ketiga---merupakan salah satu pertanda dimulainya masa transisi demokrasi di negeri ini. Tipikel demikian mengarah pada liberalisasi politik dalam konteks timbulnya pluralisme politik. Liberalisasi yang demikian, tentunya sesuai dengan kondisi riil masyarakat Timor Leste yang terdiri dari berbagai macam etnik.
Tetapi, agaknya kenyataan lebih memilih hukumnya sendiri. Proses liberalisasi yang berlangsung pada kenyataannya tidak mampu dikontrol sepenuhnya oleh rezim Mari-Fretilin dan Xanana-AMP (CNRT, PD, dll.). Rapuhnya kedua rezim ini telah menyebabkan munculnya konflik-konflik secara terbuka dan sulit dikendalikan mengingat penguasa baru belum punya pijakan politik yang benar-benar lejitimet yang bisa diterima oleh semua kelompok politik guna melembagakan konflik-konflik politik yang muncul. Bahkan, penulis menilai kalau konflik-konflik yang ada selama ini sengaja dipelihara (tidak diselesaikan secara serius). Kasus penghilangan secara sengaja terkait dengan peranan Fransisco Xavier do Amaral sebagai proklamador RDTL tanggal 28 November 1975 di masa lalu dalam merekontruksi sejarah nasional, secara langsung telah menimbulkan rasa dendam politik dari para pendukung Avo Xavier terhadap para elit politik beserta kendaraan politiknya. Maka dapat dipahami jika para pendukung Avo Xavier yang tergabung dalam Bloku Proklamador dalam elisaun jeral 2012 ini memilih jalan: Pilih Xavier atau Tidak Sama sekali (Hili Xavier ou La hili kandidatu seluk). Situasi demikian dapat muncul karena nilai-nilai, persepsi-persepsi atau kepercayaan-kepercayaan para elite politik, masyarakat, institusi-institusi politik dan sistem ekonomi tidak tersinkronisasi dan tidak saling memperkuat.
Kembali ke tema konsolidasi demokrasi, terkait dengan faktor kepercayaan dan legitimasi, Larry Diamond, akademisi dari Stanford University, dalam bukunya yang berjudul: Developing Democracy Toward Consolidation (1999) menyatakan bahwa konsolidasi demokrasi merupakan persoalan bagaimana merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Dengan demikian, pengkonsolidasian demokrasi ditekankan pada proses pencapaian legitimasi yang kuat dari para aktor politik, sehingga semua aktor politik tersebut (baik pada nivel massa maupun nivel elit) dapat saling menumbuhkan kepercayaan di antara sesama mereka (aktor politik) maupun antara aktor politik dengan massa pemilihnya (rakyat).
Dari pandangan Larry Diamond di atas, maka yang menjadi kata kunci dari konsolidasi demokrasi adalah ‘kepercayaan/konfiansa’ dan ‘legitimasi yang kuat’. Jika kita mencermati proses dan dinamika politik di Timor Leste semenjak tahun 2002 (tepatnya, dimulai sejak restorasi kemerdekaan tanggal 20 Mei) menunjukkan bahwa proses dan perkembangan demokrasi belum sepenuhnya terkonsolidasikan sebagaimana diharapkan, bahkan sebuah aktivitas perefleksian perjalanan demokrasi pun tak dilakukan oleh para elit politik. Jika pun ada pihak-pihak yang melakukan, akvitas tersebut bersifat sporadis.  
Sebagaimana kita ketahui, hasil elijer pertama yang menghasilkan pemerintahan Fretilin yang dikomandoi oleh Perdana Menteri Mari Alkatiri dan Presiden Republiknya oleh Kay Rala Xanana Gusmao, diwarnai oleh kekurangpercayaannya oleh rakyat yang terwadahi dalam partai politik seperti ASDT, PD, PSD, PST, dan sebagainya, serta kelompok kepentingan lainnya, seperti NGO’s. Lemahnya kepercayaan ini tidak sekedar terjadi pada nivel massa, melainkan juga di nivel elit politik oposisi.
Peristiwa 4 Desember 2002 dan krisis politik 2006 yang berakhir dengan dipaksa mundurnya Mari Alkatiri dari kursi kekuasaannya sebagai Perdana Menteri pada bulan Mei 2006 merupakan salah satu fakta betapa rapuh dan lemahnya konsolidasi demokrasi di negeri ini. Ini belum lagi ditambah dengan perilaku dan tingkat kualitas debat Membros Deputado Parlemen Nasional yang seringkali subyektif, irrasional, dan asal bunyi saja.
Bukan rahasia umum lagi, jika para elit politik dan ekonomi di Timor Leste sedang dalam kondisi ‘perang dingin’. Perbedaan pandangan dan sikap politik selama berlangsungan perjuangan merebut kemerdekaan di masa lalu, kembali menemukan bentuk, ruang dan geraknya di era kemerdekaan ini. Konflik kepentingan politik dari dan dimotori oleh golongan tua ini, celakanya juga menyeret pada golongan elit muda. Generasi muda terbelah. Perpecahan di antara elit tua dan diikuti oleh golongan elit muda ini, menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya legitimasi politik pada rezim yang berkuasa.
Fakta lainnya adalah ketidakmampuan pemerintah di bidang pembangunan ekonomi, khususnya dalam menciptakan lapangan pekerjaan guna mengatasi pengangguran (angka pengangguran bertambah secara pasti dan cepat tetapi angka penciptaan kampu servisu berjalan lambat), menentukan masa depan pendidikan nasional (kebijakan dari Ministeriu Edukasaun justru membuat dunia pendidikan menjadi ‘buta huruf’ terhadap anak didik), menyelesaikan konflik horizontal (antar kelompok dalam masyarakat/arte marciais, lorosa’e-loromonu, penyerangan terhadap tempat peribadatan, dsb.), rendahnya kualitas pelayanan publik, dan masih banyak fakta lainnya, menjadi sumber dan sekaligus pemicu melemahnya kepercayaan massa rakyat dan legitimasi baik sosial maupun politik terhadap Pemerintahan Xanana Gusmao – Mari Alkatiri pada waktu itu (selain itu juga terdapat faktor pertentangan masa lalu di antara kedua elit tersebut). Celakanya, fakta-fakta tersebut juga berlanjut pada pemerintahan hasil pemilu 2007.
Eleisaun jeral 2007 yang menghasilkan Pemerintahan Ramos Horta-Xanana Gusmao, yang seharusnya dapat dijadikan sebagai momentum untuk mengoreksi kesalahan dan atau kelemahan di masa sebelumnya, ternyata tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh para aktor politik tersebut. Semenjak terbentuk, Pemerintah AMP (Aliansi Mayoritas Parlemen), kurang mendapatkan kepercayaan dan legitimasi dari massa rakyat (Fretilin). Para pemimpin dan sebagian besar massa pendukung Fretilin hingga detik ini tetap menganggap Pemerintahan AMP adalah ‘pemerintahan inskonstitusional”, meskipun sikap ini kemudian tidak dijalankan secara konsisten (terjadi inskonsistensi sikap dan prinsip) oleh para anggota Parlemen Nasional dari Bankada Fretilin seperti dengan tetap diterimanya beberapa fasilitas yang diberikan oleh negara, termasuk di dalamnya adalah tetap diterimanya gaji bulanannya oleh para deputados Fretilin, serta keterlibatannya dalam memberikan pengesahan terhadap APBN yang diajukan oleh Pemerintah AMP.
“Kado natal dan tahun baru” bagi pemerintahan AMP, selanjutnya, mulai diterima kembali dengan adanya aksi penyerangan terhadap Presiden Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao pada awal tahun 2008 oleh kelompok Alfredo Reinaldo cs. Kredibilitas AMP juga diuji dengan mundurnya Mario Vegas Carascalo dari jabatan Wakil II Perdana Menteri terkait dengan ketidakberdayaannya dalam memberantas korupsi yang dinilainya tumbuh subur dalam tubuh birokrasi dan elit politik AMP. Selain itu, konsolidasi politik antara elit politik AMP sendiri, nampak jelas tidak berjalan. Perebutan jatah kue kekuasaan di antara elit politik dan para pengusaha dadakan yang berasal dari masing-masing partai politik anggota koalisi AMP menjadi topik pembicaraan masyarakat sehari-hari. Belum lagi ditambah dengan begitu jelasnya praktek intervensi politik dari para pejabat politik terkait dengan proses dan mekanisme rekruitmen terhadap anggota birokrasi negara seperti fungsionariu publiku di mana lebih banyak mengandalkan jalur “klik dot com”.
PM Xanana sendiri selaku “big boss-nya” AMP sangat menyadari mengenai kelemahan konsolidasi politik yang dilakukan selama ini. Bahkan berkali-kali, beliau memperingatkan kepada skuad aparatur birokrasinya untuk bekerja secara sungguh-sungguh dan professional, sebab ini dapat menjadi awal kejatuhan pemerintahan yang dipimpinnya.
Memang, untuk menyatakan bahwa Pemerintahan AMP telah kehilangan kepercayaan dan legitimasi sosial-politiknya, secara akademik-ilmiah membutuhkan sebuah penelitian---setidak-tidaknya: survey. Tetapi, secara kasat mata pun, kita dapat membuat analisa yang membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa rasa percaya rakyat terhadap Pemerintahan AMP sudah mulai berkurang. Ketidakpercayaan ini diawali dari kekecewaan-kekecewaan yang dirasakan oleh hampir semua lapisan masyarakat terhadap hampir semua elit politik, baik yang di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Meskipun, di sisi lain, pemerintahan Xanana mencoba membuat kebijakan-kebijakan dan program-program populis (seperti pemberian bea siswa kepada para mahasiswa, santunan kepada janda-janda perang, dll) kepada rakyat.
Selain itu, hilangnya rasa kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan umum sekarang ini juga dipicu dengan kurang begitu menggembirakannnya tingkat perkembangan perekonomian nasional dan penyediaan sarana pendukung bagi pengimplementasian hak mendasar rakyat selaku warga negara.  Rakyat, baik yang tinggal di ibukota Dili maupun yang tinggal di distrik-distrik dan foho masih mengeluhkan tiadanya perbaikan/kemajuan menyangkut sarana-prasarana transportasi umum, sarana pendidikan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan, dan jaminan keamanan terhadap tindak kekerasaan.
Momentum Elijer 2012 ini seharusnya dapat dijadikan sebagai sarana instropeksi diri serta saat yang tepat untuk membuat refleksi terkait dengan perjalanan demokrasi yang sedang berjalan ini. Tetapi, mungkinkah intropeksi dan refleksi benar-benar akan dilakukan oleh para elit politik? Penulis, berpandangan pesimis jika hal tersebut akan dilakukan. Pesimiisme dari penulis ini didasarkan pada munculnya fenomena-fenomena dan perkembangan dinamika politik saat ini, di mana tahun 2012 sepertinya justru akan menjadi titik kulminasi dari keterpurukan konsolidasi demokrasi. Banyaknya para kandidat Presiden yang akan berkompetisi dalam pemilihan beserta isu-isu politik yang diangkat ke ranah publik memancing terciptanya nuansa ketegangan politik yang bersifat subyektif. Bahwa ke depan, persoalan politik di negeri ini akan semakin kompleks.
Selain itu, dari sekitar 25 partai politik yang terdaftar, tak ada sebuah partai pun yang secara konsisten mengimplementasikan program-program dan janji-janji politik mereka. Elit-elit partai mengatasnamakan rakyat sekedar dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan dan mengumpulkan suara demi memuluskan ambisi politik pribadi mereka. Sangat tragis dan ironis, bagaimana mungkin sebuah partai politik akan mampu mensejahterakan rakyatnya, manakala partai tersebut tidak memiliki sede partidu di semua nivel. Harus obyektif pula, bahwa ini bukan semata-mata kesalahan atau kelemahan dari pihak partai politik, tetapi adanya kelemahan juga pada peraturan perundang-undangan yang berlaku beserta institusi terkait lainnya.
Rakyat Timor Leste saat ini sedang menghadapi kelebihan beban yang luar biasa beratnya terkait dengan perkembangan demokrasi. Ibarat dalam sebuah film, maka posisi rakyat dapat dikatakan sebagai aktor tunggal sepanjang perjalanan kemerdekaan. Negara---yang dibentuk melalui perjuangan berdarah dan pengorbanan harta benda yang tiada tara besarnya---justru sibuk mengelola administrasi, membuat regulasi, memupuk kapasitas ekstraksi, dan seterusnya. Praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang dilakukan oleh para politikus dan pejabat negara telah menurunkan derajad dan kapasitas negara ini. Para pejabat negara hanya berupaya bagaimana memupuk kekuasaan, kewenangan dan kekayaan. Celakanya lagi, para elit politik dari hampir semua partai politik hanya sibuk melakukan konsolidasi untuk merebut kekuasaan di tahun 2012 ini. Singkatnya, rakyat menghadapi begitu banyak musuh, sementara energi dan kapasitas mereka sangat terbatas.
Rasa skeptisisme dan pesimisme Penulis, juga dilandaskan pada kenyataan di periode hampir 5 tahun yang lalu (periode saat pembentukan pemerintahan AMP), di mana dalam pembentukan koalisi semata-mata didasari oleh pragmatisme politik. Jadi tidak heran, apabila kita menyaksikan begitu terbuka dan secara terang-terangannya aktivitas pembagian “harta negara” oleh partai politik. Aliansi/koalisi dengan pragmatisme politik ini secara sengaja meninggalkan dan melupakan aspirasi dan suara rakyat yang diperoleh pada elijer 2007.
“Banyak bicara, sedikit kerja (koalia maka barak/ibun bo’ot, serbisu laiha/barokten/bosokten)”, sepertinya ungkapan ini cocok dan pas untuk menggambarkan mengenai kinerja partai politik selama ini. Partai-partai politik yang saat ini terlibat dalam kekuasaan AMP hanya asyik (enjoy) dengan kepentingannya sendiri. Harapan dan aspirasi rakyat dibiarkan begitu saja: pengangguran, kemiskinan, ketidakadilan, ketidakstabilan harga, konflik vertikal maupun horizontal, ketidakamanan dan rasa takut terhadap ancaman kriminalitas, dan lain-lain. Partai-partai politik tidak pusing dengan semuanya itu. Padahal ketika mereka berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Selain itu, partai-partai politik yang seharusnya memberikan pelajaran bagaimana beretika yang baik dalam berpolitik dan berdemokrasi, tetapi yang dipertontonkan adalah sebuah moral politik yang rendah dan suasana  “democrazy”. Baik perilaku maupun mentalnya para elit politik tidak jauh berbeda dengan para elit Portugis di era Timor Portugis atau elit Indonesia di era Timor Timur. Yang berubah hanya orangnya atau yang berubah adalah kendaraan politiknya (partai). Wajah demokratis, namun perilaku dan mentalnya kolonialis.
Singkatnya, partai-partai politik yang ada saat ini belum mampu melaksanakan fungsinya dengan baik. Dari fungsi pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, komunikasi politik hingga penyelesai konflik belum ada yang dilaksanakan. Partai-partai politik memilih enjoy dengan dirinya sendiri. Elit partidu politik sira moris iha lalehan, sedangkan povu se moris nafatin iha lingkaran penderitaan.
Juga terjadi perkembangan yang mengkuatirkan terkait dengan nasib demokrasi di negeri ini. Kecenderungan yang muncul menunjukkan adanya disorientasi terhadap makna demokrasi, di mana demokrasi dipahami bukan sebagai mekanisme-proses, tetapi sebagai tujuan (ultimate goal) itu sendiri. Selain itu, telah juga terjadi distorsi terhadap semangat demokrasi, sehingga cenderung hanya pada ranah politik. Hal ini karena semangat berdemokrasi tidak ditunjang dengan infrastruktur yang memadai, baik secara politik, sumber daya manusia, mentalitas dan budaya masyarakat, komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat maupun watak kepemimpinan yang kredibel, dalam pengertian memiliki integritas moral dan intelektual serta komitmen untuk bekerja bagi rakyat. Akibatnya demokrasi rentan diperalat untuk menjadi justifikasi segala tindakan yang justru tidak demokratis, seperti kekerasan.
Hal buruk lainnya adalah bahwa tahun dan elijer 2012 ini juga menjadi tolak ukur bagi kelangsungan hidup para dinasti politik yang bertikai selama ini. Artinya, secara biologis, hegemoni generasi tua akan habis pada periode ini (2012 – 2017) dan secara politis, masa depan elit generasi muda beserta partai politiknya akan ditentukan pula pada periode 5 tahun ke depan. Dinasti dan kelompok kepentingan politik dari para elit yang dibangun di atas pondasi dendam politik, ambisi kekuasaan pribadi, serta besarnya kekecewaan dan ketidakpercayaan rakyat.
Meskipun pesimis dan skeptis, Penulis tetap berharap semoga tahun dan elijer 2012 ini benar-benar mampu dijadikan sebagai momentum untuk menentukan agenda prioritas dalam membangun kembali proses konsolidasi demokrasi di Republik Demokratik tercinta ini.
Di antara agenda besar yang harus dilakukan oleh pemerintahan hasil pemilihan umum 2012 ini adalah sebagai berikut: pertama, meningkatkan kinerja politik dan ekonomi pemerintah (diprediksi bahwa dalam pemilu kali ini tidak ada partai politik yang mendapatkan suara secara mutlak, maka koalisi pembentukan pemerintahan diharapkan tidak didasarkan pada kepentingan pragmatis: bagi-bagi harta negara; serta pemerintah lebih memprioritaskan pada penciptaan lapangan pekerjaan mengingat angka pengangguran semakin bertambah dalam setiap tahunnya; dapat memberantas kejahatan ekonomi dan korupsi politik, dsb). Kedua, institusionalisasi politik atau penguatan institusi-institusi penunjang terwujudnya tatanan yang demokratis, yang meliputi penguatan birokrasi pemerintahan (lebih professional, meningkatkan  pelayanan publik termasuk dengan cara pelayanannya, menghilangkan politisasi birokrasi baik ditingkat nasional maupun distrital, dsb), pemberdayaan partai politik (bukan semata-mata pada partai politik yang mendapatkan kursi di Parlemen saja), penguatan parlemen (setiap partai politik harus memiliki mekanisme dan kriteria yang jelas terkait dengan rekruitmen kandidat anggota Parlemen, peningkatan kinerja dan kapasitas anggota Parlemen, dsb), memperbaiki sistem pemilu beserta infrastruktur pendukungnya, sistem kependudukan, dsb), akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum; dan ketiga, restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom di pihak lain dengan cara membenahi institusi PNTL dan F-FDTL. Serta masih banyak hal lain yang patut dijadikan sebagai tema diskusi guna membangun dan melancarkan proses demokratisasi yang popular di negeri ini untuk ke depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar