ELISAUN JERAL 2012:
MAMPUKAH DEMOKRASI DIKONSOLIDASIKAN DI NEGERI INI?
Oleh: Vladimir Ageu
de SAFI’I
Dili, Timor Leste
Dalam hitungan hari ke depan, negara ini
akan menyelenggarakan perhelatan politik besar berupa Elisaun Jeral (Elijer), yakni elijer untuk Presidente da Republika dan Parlemen Nasional. Para pengagum teoria demokrasia menamainya: Elijer
sebagai sarana pesta rakyat dan sekaligus momentum peradilan rakyat terhadap
para politisi-“nya”, yang diselenggarakan selama sekali dalam 5 tahun atau satu
periode. Bagi rakyat Timor Leste (RDTL), ini merupakan elijer yang
ketiga-kalinya.
Hingga tulisan ini dibuat, berbagai nama
kandidat Presidente da Republika,
baik dari partai (baca: organisasi) maupun perorangan (biasa disebut
“independen”, sebuah istilah yang kurang tepat, mengingat mengandung berbagai
kemungkinan perbedaan interpretasi. Namun, secara umum dimaknai sebagai seorang
kandidat yang “berdiri-sendiri”, netral atau bebas dari pengaruh politik
individu atau kelompok kepentingan politik lainnya. Mengenai ‘benar dan
tidaknya’, tulisan ini tidak akan membahasnya.) yang sudah mendaftarkan diri ke
Tribunal Rekursu, di antaranya: Taur Matan Ruak (perorangan, namun issu yang
berkembang didukung oleh Partidu CNRT), Jose Luis Guterres (perorangan, namun
issu yang terdengar didukung oleh Partidu
Frente Mudansa), Fernando Lasama de Araujo (dicalonkan oleh Partidu Demokratiku), Fransisco Lu-Olo
Gutteres (dicalonkan oleh Partidu
Fretilin), Fransisco Xavier do Amaral/Avo Xavier (dicalonkan oleh Bloku
Proklamador---yang merupakan hasil aliansi beberapa partai politik, seperti
ASDT “Resistensia”/ASDT non Gil Alves dan para pendukungnya, PMD, PDC, PDRT,
dan Parentil), Rogerio Tiago Lobato (perorangan, namun issu yang berkembang
didukung oleh para pendukung Fretilin non kelompok Mari Alkatiri cs.), Abilio da
Concecao Abrantes de Araujo (perorangan, namun issu yang berkembang didukung
oleh PNT), Jose Manuel Ramos Horta (perorangan, namun issu yang berkembang
didukung oleh PDN, UDT, dan PSD), Maria Angela Freitas Soares (perorangan,
namun issu yang berkembang didukung oleh Partido
Trabalista), Angelita Maria Fransisca Pires (perorangan, namun issu yang
berkembang didukung oleh kelompok orang-orang Timor Leste yang dulunya tinggal
di Australia), Fransisco Gomes (dicalonkan oleh Partidu Liberta Povu Ai-leba), Lucas da Costa (perorangan, namun
issu yang berkembang didukung oleh orang-orang PD yang berseberangan dengan
Fernando Lasama), Maria do Ceu (perorangan,
namun issu yang berkembang didukung oleh partai pecahan dari KOTA), dan Manuel
Tilman (dicalonkan oleh Partidu KOTA/PPT). Sementara itu, terkait dengan elijer
untuk Parlemen Nasional, maka telah tercatat 25 partidu politiku yang akan berkompetisi. Dalam elijer ini, suara
yang diperebutkan sekitar 628.454 pemilih.
Tidak
ada demokrasi tanpa organisasi sosial politik (orsospol). Tetapi, adanya
‘organisasi sosial politik’, belum tentu diikuti dengan adanya ‘demokrasi’.
Intinya, untuk dapat mewujudkan sebuah sistem demokrasi yang kuat, maka harus
pula diikuti dengan pembangunan organisasi sosial politik yang kuat juga.
Dalam
literatur yang membicarakan mengenai konsep dan teori demokrasi, maka yang dimaksudkan
dengan organisasi sosial politik adalah partai politik (parpol). Dengan
demikian, upaya pembangunan dan pewujudan demokrasi di sebuah negara, sangat
terkait dengan usaha-usaha pembangunan dan penguatan terhadap partai-partai
politik yang ada di negara tersebut. Dalam konteks ini, maka Negara Republika
Demokratika Timor Leste (RDTL) memiliki tanggungg jawab dan kewajiban untuk
menguatkan partai-partai politik yang ada, baik parpol yang mendapatkan kursi
di Parlemen Nasional maupun yang tidak.
Salah
satu kondisi yang menunjukkan adanya perkembangan yang kurang menyenangkan dan
dapat membahayakan bagi proses dan kelangsungan terhadap konsolidasi demokrasi
di Timor Leste adalah masih terlihatnya kelemahan-kelemahan di dalam organisasi
sosial politik (termasuk di dalamnya adalah partai politik dan organisasi sosial
kemasyarakatan---juga NGO’s) dan lembaga Parlemen Nasional, baik di nivel struktur dan infrastruktur
organisasi hingga rendahnya keteladahan (baca: etika berpolitik) dan komitmen (moral
dan politik) dari para elit partai politik beserta para membro/deputados Parlemen Nasional.
Penjelasan di atas sebenarnya bermuara pada tahun-tahun
sebelumnya. Jika kita mau jujur terhadap diri kita sendiri, maka konsesus
politik yang dilakukan oleh para elit politik Timor Leste beserta pihak
internasional pasca referendum 1999 merupakan sebuah konsesus politik yang
dipaksakan. Di tengah euporia politik kemerdekaan yang baru diraih, para elit
ini mencoba mewujudkan cita-cita modern nation state Timor Leste
tersebut segera setelah restorasi kemerdekaan tanggal 20 Mei 2002. Tetapi,
mereka segera terbentur kepada kenyataan terkait dengan belum tersedianya
prasarana sosial-budaya pada bangsa kita guna mendukung ide-ide negara modern
tersebut. Akibat dari belum tersedianya prasarana tersebut, maka tidak kurang
dari 7 bulan setelah restorasi kemerdekaan (4 Desemeber 2002), sebuah cobaan
masalah untuk menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Mari Al-katiri mencoba
dilakukan. Selang 3 tahun kemudian (2005) sebuah demonstrasi yang dimotori oleh
pihak Gereja dengan tujuan yang sama juga dilakukan. Tak lama, yakni setahun
kemudian, munculnya krisis 2006 yang berujung dengan mundurnya Mari Al-katiri,
dan seterusnya. Belum lagi ditambah dengan berbagai macam konflik horizontal
yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Semua itu menjadi salah satu
fakta, mengenai gagalnya para pemimpin ini dalam membuat kontruksi jeral tentang
nation state.
Memang,
sebagaimana kita saksikan bahwa semenjak konsep dan tata cara kehidupan berdemokrasi
mulai dilahirkan di Yunani Kuno pada sekitar 5 abad Sebelum Masehi atau sekitar
2500 tahun yang lalu, maka proses pewujudan suatu tatanan masyarakat yang
demokratis masih terus berlangsung dalam mencari bentuk sempurnanya, bahkan dapat
dibilang nyaris sebagai proses yang berpangkal namun tidak berujung (ada
pangkalnya, tapi tak ada ujungnya). Di Amerika Serikat sendiri---negara yang
mengklaim sebagai nenek moyangnya demokrasi, tempat lahirnya segudang
teoritikus demokrasi---, dalam kenyataannya hingga hari ini, segala konsep dan
praktek demokrasi yang dijalankan tidak sepenuhnya dapat ditiru dan
diimplementasikan di negara-negara non-amerika serikat. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa semua sistem demokrasi---apa pun bentuk, kematangan maupun
kesempuranaannya---membutuhkan upaya reformasi/perubahan yang terencana/terprogram
dan berkesinambungan (sustentavel).
Kebutuhan akan perubahan yang terencana dan secara terus-menerus ini didasarkan
pada perubahan kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya di dalam masyarakat.
Dengan menggunakan teori hukum
dialektikanya Karl Marx: dari negasi ke negasi (meniadakan untuk ditiadakan),
maka kelangsungan masa depan suatu sistem politik ditentukan bagaimana sistem
politik baru tersebut ketika menghilangkan (baca: menggantikan) sistem
sebelumnya. Dalam konteks ini, maka ‘proses penghilangan’ menjadi faktor
penentu. Dengan kata lain, bagaimana proses transisi tersebut dijalankan.
Berangkat dari hal di atas, maka
kelangsungan suatu sistem politik, khususnya di sebuah negara yang tengah
mengalami transisi menuju demokrasi (dalam kasus Timor Leste adalah dari era
penjajahan menuju era kemerdekaan) sangat bergantung sekali pada
keberhasilannya dalam melewati proses transisi menuju demokrasi politik secara
stabil, damai atau non kekerasan. Adanya transisi politik secara damai akan
memberi penekanan bahwa lembaga-lembaga politik yang ada beserta elitenya baik
pada lapisan atas maupun pada lapisan masyarakat untuk berada pada keteguhan
dan ketahanan yang maksimal ketika dihadapkan pada perubahan-perubahan politik
yang berlangsung beserta konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya.
Di negeri ini, meskipun istilah
‘demokrasi’ mulai didiskusikan oleh kalangan elit intelektual pada tahun
1970-an serta tanggal 28 November 1975 secara resmi dipergunakan sebagai nama negara
‘Republik Demokratik’, namun institusi-institusi penopang demokrasi dalam
konteks negara independen secara sepenuhnya baru dimulai pada tahun 2002 (di
era Propinsi Timor Timur, sarana dan prasarana struktur dan infrastruktur
demokrasi juga dibentuk, namun segalanya berorientasi demi memuluskan
kepentingan politik Jakarta---politik invasi---terhadap Dili). Dengan demikian,
upaya penerapan sistem demokrasi beserta penguatan sarana struktur dan
infrastrukturnya baru berusia sekitar 10 tahun.
Pengenalan sistem ketatanegaraan
baru tersebut spontan membuat hakfodak
sebagian besar elit politik resistensi yang pada dasarnya kurang memiliki
pengetahuan dan pemahaman secara menyeluruh mengenai sistem demokrasi beserta
pemerintahan semi-presidensialnya. Hal yang serupa juga dirasakan oleh semua
lapisan masyarakat. Sesungguhnya, kondisi ini menggambarkan mengenai betapa
kurang siapnya sumber daya manusia Timor Leste pada saat itu. (Penulis sendiri
berprinsip tidak harus segala sesuatunya tersedia terlebih dahulu, baru
merdeka. Tetapi, pada akhirnya kelemahan-kelemahan tersebut tidak bisa kita
pungkiri saat ini)
Dalam proses dan perkembangan demokrasi
di segala penjuru dunia saat ini, kita dapat menyaksikan adanya beberapa sistem
politik yang berhasil dalam proses transisi demokrasi, tapi ada pula beberapa
di antaranya yang melaluinya (transisi demokrasi) dengan penuh gejolak bahkan mengancam
stabilitas nasional. Kasus ‘pendemokratisan’ negara-negara kawasan Asia dan
Afrika yang dilakukan oleh Negara-negara Barat beserta instrumen militernya,
telah memasukkan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika pada kondisi dengan
sebutan sebagai sebuah “negara yang gagal”, yang juga mengancam stabilitas
nasional negara-negara tetangganya. Elisaun
Jeral yang dipercaya sebagai satu-satunya instrumen pengembalian kedaulatan
rakyat secara langsung, ternyata tidak cukup efektif menghilangkan sistem yang
berlaku sebelumnya (lihat kasus Afganistan, Irak, Mesir, dsb.). Dampak yang
parah adalah dalam kasus Yugoslavia, Uni Soviet, dan Sudan yang menghasilkan negara-negara
baru dalam ikatan-ikatan sebagai negara-negara etnik.
Sebagaimana telah dijelaskan di
atas, tentunya, kita semua sepakat bahwa lembaga inti di semua negara demokrasi
adalah Parlemen dan Partai Politik. Di Negara kita,---meskipun membaptiskan
diri sebagai negara dengan bentuk ‘Republika
Demokratika’---dalam kenyataannya, lembaga seperti Parlemen Nasional tidak
mampu menunjukkan diri sebagai lembaga yang mampu menjadi badan pembuat
undang-undang dan pengawas pemerintahan yang efektif. Publik Timor Leste merasa
skeptis dengan sikap para deputados
yang dinilai asal bicara dan hanya mementingkan kepentingan pribadinya.
Singkatnya adalah apabila rakyat sudah tidak percaya lagi dengan partai politik
dan Parlemen Nasional, maka demokrasi pun tidak dapat berfungsi dan menghadapi resiko
digantikan oleh sistem pemerintahan yang otoriter atau semi-otoriter, atau
tetap dengan sistem demokrasi namun untuk mencapainya diawali melalui sebuah
revolusi sosial (baca: gejolak sosial). Sebagai bahan perenungan bersama, maka
penting untuk melihat sistem kepartaian kita saat ini, bagaimana begitu
mudahnya mendirikan sebuah partai politik---mirip dengan belanja modo iha Merkado Comoro: cukup hanya
dengan menunjukkan 5.000 foto kopi kartaun
elektoral, maka Tribunal Rekursu
sudah dapat menyatakan legalisasi partai tersebut.
Sekedar sebagai bahan referensi,
O’Donnel dan Schmitter (1993) memaknai konsolidasi demokrasi sebagai (proses)
penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara terpadu
memfasilitasi tercapainya demokratisasi politik. Dalam pandangan ini, maka unsur
yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah pertama, lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite
politik, kelompok-kelompok kepentingan mau pun masyarakat politik. Kedua adalah adanya kesepakatan bersama
menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatkan dan mempertemukan
berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif padu selama
transisi menuju demokrasi. Keyakinan akan pentingnya konsolidasi demokrasi ini
didasarkan pada argumen bahwa pemerintahan demokratik adalah bentuk
pemerintahan yang paling tepat untuk masa kini.
Rezim politik Timor Leste saat ini merupakan
sebuah rezim yang didirikan melalui proses yang salah satunya diwarnai dengan adanya
keterlibatan dari pihak asing (UN—United
of Nations). Baik di masa rezim Mari-Fretilin maupun Xanana-AMP, keduanya
dihadapkan pada dua pilihan, yakni pertama,
menjalani masa transisi demokrasi ini dengan tingkat konsolidasi elite yang
padu (solid) ke arah satu tujuan tercapainya demokratisasi politik; atau jalan
yang kedua, yakni menjalani transisi
demokrasi yang berliku-liku dengan tingkat kepaduan elite yang sangat rapuh,
penuh konflik dan gejolak politik massa.
Munculnya “liberalisasi” saat
ini,---yaitu proses pengefektifan hak-hak tertentu yang melindungi individu dan
kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang
dilakukan negara atau pihak ketiga---merupakan salah satu pertanda dimulainya
masa transisi demokrasi di negeri ini. Tipikel demikian mengarah pada liberalisasi
politik dalam konteks timbulnya pluralisme politik. Liberalisasi yang demikian,
tentunya sesuai dengan kondisi riil masyarakat Timor Leste yang terdiri dari
berbagai macam etnik.
Tetapi, agaknya kenyataan lebih
memilih hukumnya sendiri. Proses liberalisasi yang berlangsung pada
kenyataannya tidak mampu dikontrol sepenuhnya oleh rezim Mari-Fretilin dan
Xanana-AMP (CNRT, PD, dll.). Rapuhnya kedua rezim ini telah menyebabkan
munculnya konflik-konflik secara terbuka dan sulit dikendalikan mengingat
penguasa baru belum punya pijakan politik yang benar-benar lejitimet yang bisa
diterima oleh semua kelompok politik guna melembagakan konflik-konflik politik
yang muncul. Bahkan, penulis menilai kalau konflik-konflik yang ada selama ini
sengaja dipelihara (tidak diselesaikan secara serius). Kasus penghilangan
secara sengaja terkait dengan peranan Fransisco Xavier do Amaral sebagai
proklamador RDTL tanggal 28 November 1975 di masa lalu dalam merekontruksi
sejarah nasional, secara langsung telah menimbulkan rasa dendam politik dari
para pendukung Avo Xavier terhadap para elit politik beserta kendaraan
politiknya. Maka dapat dipahami jika para pendukung Avo Xavier yang tergabung
dalam Bloku Proklamador dalam elisaun
jeral 2012 ini memilih jalan: Pilih Xavier atau Tidak Sama sekali (Hili Xavier ou La hili kandidatu seluk).
Situasi demikian dapat muncul karena nilai-nilai, persepsi-persepsi atau
kepercayaan-kepercayaan para elite politik, masyarakat, institusi-institusi
politik dan sistem ekonomi tidak tersinkronisasi dan tidak saling memperkuat.
Kembali
ke tema konsolidasi demokrasi, terkait dengan faktor kepercayaan dan
legitimasi, Larry Diamond, akademisi dari Stanford University, dalam bukunya
yang berjudul: Developing Democracy Toward Consolidation (1999)
menyatakan bahwa konsolidasi demokrasi merupakan persoalan bagaimana merawat
stabilitas dan persistensi demokrasi. Dengan demikian, pengkonsolidasian
demokrasi ditekankan pada proses pencapaian legitimasi yang kuat dari para
aktor politik, sehingga semua aktor politik tersebut (baik pada nivel massa maupun nivel elit) dapat saling menumbuhkan kepercayaan di antara sesama
mereka (aktor politik) maupun antara aktor politik dengan massa pemilihnya
(rakyat).
Dari
pandangan Larry Diamond di atas, maka yang menjadi kata kunci dari konsolidasi
demokrasi adalah ‘kepercayaan/konfiansa’
dan ‘legitimasi yang kuat’. Jika kita mencermati proses dan dinamika politik di
Timor Leste semenjak tahun 2002 (tepatnya, dimulai sejak restorasi kemerdekaan
tanggal 20 Mei) menunjukkan bahwa proses dan perkembangan demokrasi belum sepenuhnya
terkonsolidasikan sebagaimana diharapkan, bahkan sebuah aktivitas perefleksian
perjalanan demokrasi pun tak dilakukan oleh para elit politik. Jika pun ada
pihak-pihak yang melakukan, akvitas tersebut bersifat sporadis.
Sebagaimana
kita ketahui, hasil elijer pertama yang menghasilkan pemerintahan Fretilin yang
dikomandoi oleh Perdana Menteri Mari Alkatiri dan Presiden Republiknya oleh Kay
Rala Xanana Gusmao, diwarnai oleh kekurangpercayaannya oleh rakyat yang
terwadahi dalam partai politik seperti ASDT, PD, PSD, PST, dan sebagainya,
serta kelompok kepentingan lainnya, seperti NGO’s. Lemahnya kepercayaan ini
tidak sekedar terjadi pada nivel massa, melainkan juga di nivel elit politik
oposisi.
Peristiwa
4 Desember 2002 dan krisis politik 2006 yang berakhir dengan dipaksa mundurnya
Mari Alkatiri dari kursi kekuasaannya sebagai Perdana Menteri pada bulan Mei
2006 merupakan salah satu fakta betapa rapuh dan lemahnya konsolidasi demokrasi
di negeri ini. Ini belum lagi ditambah dengan perilaku dan tingkat kualitas
debat Membros Deputado Parlemen
Nasional yang seringkali subyektif, irrasional, dan asal bunyi saja.
Bukan
rahasia umum lagi, jika para elit politik dan ekonomi di Timor Leste sedang
dalam kondisi ‘perang dingin’. Perbedaan pandangan dan sikap politik selama
berlangsungan perjuangan merebut kemerdekaan di masa lalu, kembali menemukan
bentuk, ruang dan geraknya di era kemerdekaan ini. Konflik kepentingan politik
dari dan dimotori oleh golongan tua ini, celakanya juga menyeret pada golongan
elit muda. Generasi muda terbelah. Perpecahan di antara elit tua dan diikuti
oleh golongan elit muda ini, menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya
legitimasi politik pada rezim yang berkuasa.
Fakta
lainnya adalah ketidakmampuan pemerintah di bidang pembangunan ekonomi,
khususnya dalam menciptakan lapangan pekerjaan guna mengatasi pengangguran
(angka pengangguran bertambah secara pasti dan cepat tetapi angka penciptaan kampu servisu berjalan lambat),
menentukan masa depan pendidikan nasional (kebijakan dari Ministeriu Edukasaun
justru membuat dunia pendidikan menjadi ‘buta huruf’ terhadap anak didik),
menyelesaikan konflik horizontal (antar kelompok dalam masyarakat/arte marciais, lorosa’e-loromonu,
penyerangan terhadap tempat peribadatan, dsb.), rendahnya kualitas pelayanan
publik, dan masih banyak fakta lainnya, menjadi sumber dan sekaligus pemicu
melemahnya kepercayaan massa rakyat dan legitimasi baik sosial maupun politik
terhadap Pemerintahan Xanana Gusmao – Mari Alkatiri pada waktu itu (selain itu
juga terdapat faktor pertentangan masa lalu di antara kedua elit tersebut).
Celakanya, fakta-fakta tersebut juga berlanjut pada pemerintahan hasil pemilu
2007.
Eleisaun jeral 2007 yang menghasilkan Pemerintahan Ramos Horta-Xanana
Gusmao, yang seharusnya dapat dijadikan sebagai momentum untuk mengoreksi
kesalahan dan atau kelemahan di masa sebelumnya, ternyata tidak dapat
dimanfaatkan secara maksimal oleh para aktor politik tersebut. Semenjak
terbentuk, Pemerintah AMP (Aliansi Mayoritas Parlemen), kurang mendapatkan
kepercayaan dan legitimasi dari massa rakyat (Fretilin). Para pemimpin dan
sebagian besar massa pendukung Fretilin hingga detik ini tetap menganggap
Pemerintahan AMP adalah ‘pemerintahan inskonstitusional”, meskipun sikap ini
kemudian tidak dijalankan secara konsisten (terjadi inskonsistensi sikap dan
prinsip) oleh para anggota Parlemen Nasional dari Bankada Fretilin seperti dengan tetap diterimanya beberapa fasilitas
yang diberikan oleh negara, termasuk di dalamnya adalah tetap diterimanya gaji
bulanannya oleh para deputados
Fretilin, serta keterlibatannya dalam memberikan pengesahan terhadap APBN yang
diajukan oleh Pemerintah AMP.
“Kado
natal dan tahun baru” bagi pemerintahan AMP, selanjutnya, mulai diterima
kembali dengan adanya aksi penyerangan terhadap Presiden Ramos Horta dan
Perdana Menteri Xanana Gusmao pada awal tahun 2008 oleh kelompok Alfredo
Reinaldo cs. Kredibilitas AMP juga diuji dengan mundurnya Mario Vegas Carascalo
dari jabatan Wakil II Perdana Menteri terkait dengan ketidakberdayaannya dalam
memberantas korupsi yang dinilainya tumbuh subur dalam tubuh birokrasi dan elit
politik AMP. Selain itu, konsolidasi politik antara elit politik AMP sendiri,
nampak jelas tidak berjalan. Perebutan jatah kue kekuasaan di antara elit
politik dan para pengusaha dadakan yang berasal dari masing-masing partai
politik anggota koalisi AMP menjadi topik pembicaraan masyarakat sehari-hari.
Belum lagi ditambah dengan begitu jelasnya praktek intervensi politik dari para
pejabat politik terkait dengan proses dan mekanisme rekruitmen terhadap anggota
birokrasi negara seperti fungsionariu
publiku di mana lebih banyak mengandalkan jalur “klik dot com”.
PM
Xanana sendiri selaku “big boss-nya” AMP sangat menyadari mengenai kelemahan
konsolidasi politik yang dilakukan selama ini. Bahkan berkali-kali, beliau
memperingatkan kepada skuad aparatur birokrasinya untuk bekerja secara
sungguh-sungguh dan professional, sebab ini dapat menjadi awal kejatuhan pemerintahan
yang dipimpinnya.
Memang,
untuk menyatakan bahwa Pemerintahan AMP telah kehilangan kepercayaan dan
legitimasi sosial-politiknya, secara akademik-ilmiah membutuhkan sebuah
penelitian---setidak-tidaknya: survey. Tetapi, secara kasat mata pun, kita
dapat membuat analisa yang membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa rasa
percaya rakyat terhadap Pemerintahan AMP sudah mulai berkurang. Ketidakpercayaan
ini diawali dari kekecewaan-kekecewaan yang dirasakan oleh hampir semua lapisan
masyarakat terhadap hampir semua elit politik, baik yang di eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif. Meskipun, di sisi lain, pemerintahan Xanana
mencoba membuat kebijakan-kebijakan dan program-program populis (seperti
pemberian bea siswa kepada para mahasiswa, santunan kepada janda-janda perang,
dll) kepada rakyat.
Selain
itu, hilangnya rasa kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan umum sekarang ini juga
dipicu dengan kurang begitu menggembirakannnya tingkat perkembangan
perekonomian nasional dan penyediaan sarana pendukung bagi pengimplementasian
hak mendasar rakyat selaku warga negara. Rakyat, baik yang tinggal di ibukota Dili
maupun yang tinggal di distrik-distrik dan foho
masih mengeluhkan tiadanya perbaikan/kemajuan menyangkut sarana-prasarana
transportasi umum, sarana pendidikan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan, dan
jaminan keamanan terhadap tindak kekerasaan.
Momentum
Elijer 2012 ini seharusnya dapat dijadikan sebagai sarana instropeksi diri
serta saat yang tepat untuk membuat refleksi terkait dengan perjalanan
demokrasi yang sedang berjalan ini. Tetapi, mungkinkah intropeksi dan refleksi
benar-benar akan dilakukan oleh para elit politik? Penulis, berpandangan
pesimis jika hal tersebut akan dilakukan. Pesimiisme dari penulis ini
didasarkan pada munculnya fenomena-fenomena dan perkembangan dinamika politik
saat ini, di mana tahun 2012 sepertinya justru akan menjadi titik kulminasi
dari keterpurukan konsolidasi demokrasi. Banyaknya para kandidat Presiden yang
akan berkompetisi dalam pemilihan beserta isu-isu politik yang diangkat ke
ranah publik memancing terciptanya nuansa ketegangan politik yang bersifat
subyektif. Bahwa ke depan, persoalan politik di negeri ini akan semakin
kompleks.
Selain
itu, dari sekitar 25 partai politik yang terdaftar, tak ada sebuah partai pun
yang secara konsisten mengimplementasikan program-program dan janji-janji politik
mereka. Elit-elit partai mengatasnamakan rakyat sekedar dijadikan sebagai alat
untuk mendapatkan dan mengumpulkan suara demi memuluskan ambisi politik pribadi
mereka. Sangat tragis dan ironis, bagaimana mungkin sebuah partai politik akan
mampu mensejahterakan rakyatnya, manakala partai tersebut tidak memiliki sede partidu di semua nivel. Harus obyektif pula, bahwa ini
bukan semata-mata kesalahan atau kelemahan dari pihak partai politik, tetapi
adanya kelemahan juga pada peraturan perundang-undangan yang berlaku beserta
institusi terkait lainnya.
Rakyat
Timor Leste saat ini sedang menghadapi kelebihan beban yang luar
biasa beratnya terkait dengan perkembangan demokrasi. Ibarat dalam sebuah film,
maka posisi rakyat dapat dikatakan sebagai aktor tunggal sepanjang perjalanan
kemerdekaan. Negara---yang dibentuk melalui perjuangan berdarah dan pengorbanan
harta benda yang tiada tara besarnya---justru sibuk mengelola administrasi,
membuat regulasi, memupuk kapasitas ekstraksi, dan seterusnya. Praktek KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang dilakukan oleh para politikus dan pejabat
negara telah menurunkan derajad dan kapasitas negara ini. Para pejabat negara
hanya berupaya bagaimana memupuk kekuasaan, kewenangan dan kekayaan. Celakanya
lagi, para elit politik dari hampir semua partai politik hanya sibuk melakukan
konsolidasi untuk merebut kekuasaan di tahun 2012 ini. Singkatnya, rakyat
menghadapi begitu banyak musuh, sementara energi dan kapasitas mereka sangat
terbatas.
Rasa skeptisisme dan
pesimisme Penulis, juga dilandaskan pada kenyataan di periode hampir 5 tahun
yang lalu (periode saat pembentukan pemerintahan AMP), di mana dalam pembentukan
koalisi semata-mata didasari oleh
pragmatisme politik. Jadi tidak heran, apabila kita menyaksikan begitu terbuka
dan secara terang-terangannya aktivitas pembagian “harta negara” oleh partai politik. Aliansi/koalisi dengan pragmatisme politik ini secara sengaja meninggalkan dan melupakan aspirasi dan
suara rakyat yang diperoleh pada elijer 2007.
“Banyak
bicara, sedikit kerja (koalia maka
barak/ibun bo’ot, serbisu laiha/barokten/bosokten)”, sepertinya ungkapan
ini cocok dan pas untuk menggambarkan mengenai kinerja partai politik selama ini. Partai-partai politik
yang saat ini terlibat dalam kekuasaan AMP hanya asyik (enjoy) dengan kepentingannya sendiri. Harapan
dan aspirasi rakyat dibiarkan
begitu saja: pengangguran, kemiskinan, ketidakadilan, ketidakstabilan harga, konflik
vertikal maupun horizontal, ketidakamanan dan rasa takut terhadap ancaman kriminalitas, dan lain-lain. Partai-partai politik tidak pusing dengan semuanya itu. Padahal
ketika mereka berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan
rakyat.
Selain
itu, partai-partai politik
yang seharusnya memberikan pelajaran bagaimana beretika yang baik dalam
berpolitik dan berdemokrasi, tetapi yang dipertontonkan adalah sebuah moral
politik yang rendah dan suasana “democrazy”. Baik perilaku maupun
mentalnya para elit politik tidak
jauh berbeda dengan para elit Portugis di era Timor Portugis atau elit
Indonesia di era Timor Timur. Yang berubah hanya orangnya atau yang berubah adalah
kendaraan politiknya (partai). Wajah demokratis,
namun perilaku dan mentalnya kolonialis.
Singkatnya,
partai-partai
politik yang ada saat ini belum mampu melaksanakan fungsinya dengan baik. Dari fungsi
pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, komunikasi politik
hingga penyelesai konflik belum ada yang dilaksanakan. Partai-partai politik memilih enjoy dengan dirinya
sendiri. Elit
partidu politik sira moris iha lalehan,
sedangkan povu se moris nafatin iha
lingkaran penderitaan.
Juga
terjadi perkembangan yang mengkuatirkan terkait dengan nasib demokrasi di
negeri ini. Kecenderungan yang muncul menunjukkan adanya disorientasi terhadap makna demokrasi, di
mana demokrasi
dipahami bukan sebagai mekanisme-proses, tetapi sebagai tujuan (ultimate
goal) itu sendiri. Selain itu, telah juga terjadi distorsi terhadap semangat demokrasi, sehingga cenderung hanya pada ranah
politik. Hal ini karena semangat berdemokrasi tidak ditunjang dengan
infrastruktur yang memadai, baik secara politik, sumber daya manusia,
mentalitas dan budaya masyarakat, komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat
maupun watak kepemimpinan yang kredibel, dalam pengertian memiliki integritas
moral dan intelektual serta komitmen untuk bekerja bagi rakyat. Akibatnya
demokrasi rentan diperalat untuk menjadi justifikasi segala tindakan yang
justru tidak demokratis, seperti kekerasan.
Hal
buruk lainnya adalah bahwa tahun dan elijer 2012 ini juga menjadi tolak ukur
bagi kelangsungan hidup para dinasti politik yang bertikai selama ini. Artinya,
secara biologis, hegemoni generasi tua akan habis pada periode ini (2012 –
2017) dan secara politis, masa depan elit generasi muda beserta partai
politiknya akan ditentukan pula pada periode 5 tahun ke depan. Dinasti dan
kelompok kepentingan politik dari para elit yang dibangun di atas pondasi
dendam politik, ambisi kekuasaan pribadi, serta besarnya kekecewaan dan
ketidakpercayaan rakyat.
Meskipun
pesimis dan skeptis, Penulis tetap berharap semoga tahun dan elijer 2012 ini
benar-benar mampu dijadikan sebagai momentum untuk menentukan agenda prioritas
dalam membangun kembali proses konsolidasi demokrasi di Republik Demokratik
tercinta ini.
Di
antara agenda besar yang harus dilakukan oleh pemerintahan hasil pemilihan umum
2012 ini adalah sebagai berikut: pertama,
meningkatkan kinerja politik dan ekonomi pemerintah
(diprediksi bahwa dalam pemilu kali ini tidak ada partai politik yang
mendapatkan suara secara mutlak, maka koalisi pembentukan pemerintahan
diharapkan tidak didasarkan pada kepentingan pragmatis: bagi-bagi harta negara;
serta pemerintah lebih memprioritaskan pada penciptaan lapangan pekerjaan
mengingat angka pengangguran semakin bertambah dalam setiap tahunnya; dapat
memberantas kejahatan
ekonomi dan korupsi politik, dsb). Kedua, institusionalisasi politik atau
penguatan institusi-institusi penunjang terwujudnya tatanan yang demokratis,
yang meliputi penguatan
birokrasi pemerintahan (lebih professional,
meningkatkan pelayanan publik termasuk
dengan cara pelayanannya, menghilangkan politisasi birokrasi
baik ditingkat nasional maupun distrital, dsb), pemberdayaan
partai politik (bukan semata-mata pada partai politik yang mendapatkan
kursi di Parlemen saja), penguatan parlemen
(setiap partai politik harus memiliki mekanisme dan kriteria yang jelas terkait
dengan rekruitmen kandidat anggota Parlemen, peningkatan kinerja dan kapasitas
anggota Parlemen, dsb), memperbaiki sistem pemilu beserta infrastruktur pendukungnya, sistem kependudukan,
dsb), akuntabilitas
horizontal, dan penegakan hukum; dan ketiga,
restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas
sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang
otonom di pihak lain dengan cara membenahi institusi PNTL dan F-FDTL. Serta
masih banyak hal lain yang patut dijadikan sebagai tema diskusi guna membangun
dan melancarkan proses demokratisasi yang popular di negeri ini untuk ke
depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar