PRO-KONTRA KANDIDATURA
AVO XAVIER
By Vladimir Ageu DE SAFI’I
Francisco Xavier DO AMARAL tahun 1975 |
Dili, Timor Leste
Avo Xavier, begitu dipanggil. Beliau
adalah laki-laki yang dilahirkan pada tahun 1937 di Turiskai. Avo Xavier yang
bernama lengkap ‘Fransisco Xavier do Amaral’ terlahir sebagai anggota keluarga
Liurai (Kerajaan Mambai), yang masih terdapat adanya hubungan kekerabatan
dengan Liurai Mambai sebelumnya, yakni Dom Boventura---Liurai yang memimpin
pemberontakan melawan Portugis antara tahun 1910-1912 atau tepatnya 100 tahun
yang lalu.
Dalam sepanjang perjalanan kehidupan Avo
Xavier, dapat dikatakan diwarnai dengan segala hal yang kontroversial. Sejak
kecil, anggota keluarga Avo Xavier selalu tidak sepaham dengan segala pemikiran
dan tindakan yang dilakukan oleh Avo Xavier. Bagi anggota keluarga lainnya,
yang namanya Liurai tetaplah Liurai. Namun, Avo Xavier menentang sikap ini.
Beliau lebih memilih berbagi dan hidup di tengah-tengah masyarakat jelata
(maubere).
Sosok Xavier Muda makin popular di
kalangan rakyat, ketika beliau bersama dengan kolega lainnya (Ramos Horta,
Nicolau Lobatu, dll.) memproklamirkan berdirinya Negara Republika Demokratika
Timor Leste (RDTL) pada tanggal 28 November 1975. Di tengah-tengah gempuran
militer Indonesia, serta perbedaan pandangan politik yang ada antara pemimpin
pergerakan di masa itu, menyebabkan Xavier Muda ditangkap dan diisolasi oleh
kubu garis keras Fretilin pada tahun 1978. Pada tahun itu juga, militer
Indonesia berhasil menangkap Xavier dan membawanya ke Jakarta sebagai tahanan
politik (perang). Setelah referendum 1999 yang dimenangkan oleh kelompok
pro-kemerdekaan, maka Xavier kembali ke kancah politik di negeri ini, dengan
menghidupkan kembali Partidu ASDT. Pada elisaun jeral 2001, Xavier mencalonkan
diri sebagai kandidat Presiden bersaing dengan Xanana Gusmao. Dalam elijer ini,
Xavier kalah. Tahun 2007, kembali Xavier mencalonkan diri---lagi-lagi kalah.
Avo Xavier kembali menjadi bahan diskusi publik, ketika ia kembali mencalonkan
diri dalam elijer 2012 dan dinyatakan lolos sebagai kandidat Presiden bersama
12 kandidat lainnya oleh Tribunal Rekursu.
Intinya, diskusi tentang kandidatura Avo
Xavier ini mengemuka terkait dengan issu kesehatan yang bersangkutan. Sikap
penentangan terhadap pencalonan Avo Xavier ini muncul dari dua pihak, yakni
internal dan eksternal.
Sikap penentangan internal ditunjukkan
oleh kelompok Gil Alves cs. (aktual Ministru MTCI). Gil Alves adalah Sekretaris
Jeral ASDT yang diakui oleh pemerintah (Tribunal Rekursu), namun secara de
fakto kehilangan ligitimasi moral dan politiknya dari para pendukung ASDT.
Serangan penentangan Gil Alves lebih banyak ditujukan ke Bloku Proklamador
selaku organisasi sosial politik yang membawa dan mengusung Avo Xavier sebagai
kandidat. Intinya, sikap Gil Alves ini didasarkan pada ketersingkiran diri dan kelompoknya
dari event elijer Presiden serta
ketidakmampuannya membendung pengaruh Bloku Proklamador terhadap massa
pendukung ASDT.
Sementara itu, sikap penentangan
eksternal ditunjukkan oleh beberapa elit politik, seperti Ramos Horta, Fernando
Lasama, Ministru Saude, dan beberapa elit lain yang tidak mau secara terbuka
mengungkapkan ketidaksetujuan tersebut di media massa. Ramos Horta dan Fernando
Lasama merupakan salah satu elit yang secara tegas menentang pencalonan Avo
Xavier sebagai kandidat Presiden dengan dasar kesehatan yang tidak memungkinkan
dari Sang Proklamador tersebut.
Baik Horta maupun Lasama sangat
berkepentingan dengan keberadaan Avo Xavier. Horta pun secara terang-terangan
minta Avo Xavier untuk tidak mencalonkan diri dan memberikan dukungan kepada
pencalonan Horta sendiri. Lasama juga sama. Bahkan dalam statemen terbukanya,
Lasama menyatakan bahwa “Avo Xavier fo
konviansa ba nia.”
Tentu semua menyadari dan memiliki
prediksi yang sama bahwa kunci kemenangan bagi seorang kandidat dalam elijer
presidensial 2012 ini berada di tangan Avo Xavier. Asumsi yang berkembang
adalah bila Avo Xavier tidak mencalonkan diri dan suaranya diberikan kepada
salah seorang kandidat, maka sangat mungkin sekali tidak ada Segundo Ronde. Dengan
diloloskannya Avo Xavier sebagai salah satu kandidat Presiden oleh Tribunal
Rekursu, secara otomatis memupus harapan dari elit-elit politik yang terkait
dengan event elisaun ini. Dari
sinilah terjadinya titik temu antara sikap penentangan internal (Gil Alves cs.)
dengan eksternal (para kandidat Presiden).
Terlepas dari sikap penentangan yang
dibungkus dengan issu ‘humanisme’ namun dipenuhi kepentingan politik ini, maka
terdapat beberapa hal yang patut dicermati terkait dengan sikap pro-kontra
kandidatura Avo Xavier dalam Elisaun Jeral Presidensial 2012 ini.
Pertama, bahwa tidak ada kriteria yang
jelas dan tegas terkait dengan persyaratan kesehatan bagi seorang kandidat
presiden. Meskipun perundang-undangan telah memandatkan pada Prokurador Geral
untuk membentuk Tim Medis guna memeriksa kesehatan semua kandidat, namun
kewenangan ini tidak dilakukan. Dengan demikian, tidak ada dasar ‘legal-formal’
yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan bahwa Avo Xavier tak layak
lolos sebagai kandidat.
Kedua, jika ini dikaitkan dengan
organisasi yang mencalonkan Xavier sebagai kandidat Presiden, yakni Bloku
Proklamador, maka sesungguhnya ini juga menjadi bagian dari edukasaun civiku
secara gratis terhadap rakyat Timor Leste.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Fransisco
Xavier do Amaral adalah Proklamador kemerdekaan RDTL. Hingga detik ini, tidak
ada indikasi dan upaya-upaya sistematik yang dilakukan oleh estadu dan governo
terkait dengan pensosialisasian nama dan peran Proklamador serta nilai-nilai
proklamasi 1975. Bahkan pemerintah lebih memilih memberi nama jalan-jalan raya
dan gedung-gedung pemerintahan dengan orang-orang Portugis dibanding dengan
nama tokoh pergerakan nasional Timor Leste sendiri, seperti Fransisco Xavier do
Amaral.
Dalam konteks ini, maka secara tidak
langsung Bloku Proklamador telah menjalankan salah satu fungsinya sebagai
instrument pendidikan politik bagi rakyat. Di mana, fungsi ini tidak dilakukan
oleh estadu dan governu selama 10 tahun terakhir ini.
Tentu bukan menjadi sesuatu yang
terlambat untuk menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Timor Leste tahun 1975
merupakan pondasi awal bagi berdirinya Negara RDTL. Karena menjadi pondasi
awal, maka penting sekali untuk mensosialisasikan nilai-nilai dan semangat yang
terkandung dalam proklamasi tersebut kepada rakyat sebagai salah satu unsur
untuk membangun karakter bangsa ini.
Intinya adalah bahwa pembangunan bangsa
ini tidak semata-mata terletak pada pembangunan fisik saja, tetapi juga
terletak pada pentingnya pembangunan spiritual dan mentalitas sebagai bangsa
yang merdeka. Salah satu nilai-nilai yang dapat menjadi perekat bagi
terciptanya ‘unidade nasional’ adalah dengan mengetahui, memahami, dan
mengimplementasikan nilai-nilai dan semangat perjuangan nasional di masa lalu,
termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam ‘teks proklamasi
kemerdekaan 1975.’
Selain itu, guna
makin memantapkan pelaksanaan kehidupan yang demokratis, maka harus
menyempurkan mekanisme demokratik yang ada. Artinya, masih terdapat banyak
kelemahan terhadap sistem pelaksanaan pemilihan umum di negara kita. Tentu kita
berharap, untuk periode yang akan datang, maka pihak-pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pemilihan umum beserta produk perundang-undangan pendukungnya
untuk terus disempurnakan demi terwujudnya sebuah pemerintahan yang legitimet
dan kredibel, dan sudah pasti: pemerintahan pro-rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar