Senin, 09 April 2012

PRO-KONTRA KANDIDATURA FRANCISCO XAVIER DO AMARAL

PRO-KONTRA KANDIDATURA 
AVO XAVIER
By Vladimir Ageu DE SAFI’I
 
 
Francisco Xavier DO AMARAL tahun 1975
Dili, Timor Leste
Avo Xavier, begitu dipanggil. Beliau adalah laki-laki yang dilahirkan pada tahun 1937 di Turiskai. Avo Xavier yang bernama lengkap ‘Fransisco Xavier do Amaral’ terlahir sebagai anggota keluarga Liurai (Kerajaan Mambai), yang masih terdapat adanya hubungan kekerabatan dengan Liurai Mambai sebelumnya, yakni Dom Boventura---Liurai yang memimpin pemberontakan melawan Portugis antara tahun 1910-1912 atau tepatnya 100 tahun yang lalu.
Dalam sepanjang perjalanan kehidupan Avo Xavier, dapat dikatakan diwarnai dengan segala hal yang kontroversial. Sejak kecil, anggota keluarga Avo Xavier selalu tidak sepaham dengan segala pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh Avo Xavier. Bagi anggota keluarga lainnya, yang namanya Liurai tetaplah Liurai. Namun, Avo Xavier menentang sikap ini. Beliau lebih memilih berbagi dan hidup di tengah-tengah masyarakat jelata (maubere).
Sosok Xavier Muda makin popular di kalangan rakyat, ketika beliau bersama dengan kolega lainnya (Ramos Horta, Nicolau Lobatu, dll.) memproklamirkan berdirinya Negara Republika Demokratika Timor Leste (RDTL) pada tanggal 28 November 1975. Di tengah-tengah gempuran militer Indonesia, serta perbedaan pandangan politik yang ada antara pemimpin pergerakan di masa itu, menyebabkan Xavier Muda ditangkap dan diisolasi oleh kubu garis keras Fretilin pada tahun 1978. Pada tahun itu juga, militer Indonesia berhasil menangkap Xavier dan membawanya ke Jakarta sebagai tahanan politik (perang). Setelah referendum 1999 yang dimenangkan oleh kelompok pro-kemerdekaan, maka Xavier kembali ke kancah politik di negeri ini, dengan menghidupkan kembali Partidu ASDT. Pada elisaun jeral 2001, Xavier mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden bersaing dengan Xanana Gusmao. Dalam elijer ini, Xavier kalah. Tahun 2007, kembali Xavier mencalonkan diri---lagi-lagi kalah. Avo Xavier kembali menjadi bahan diskusi publik, ketika ia kembali mencalonkan diri dalam elijer 2012 dan dinyatakan lolos sebagai kandidat Presiden bersama 12 kandidat lainnya oleh Tribunal Rekursu.
Intinya, diskusi tentang kandidatura Avo Xavier ini mengemuka terkait dengan issu kesehatan yang bersangkutan. Sikap penentangan terhadap pencalonan Avo Xavier ini muncul dari dua pihak, yakni internal dan eksternal.
Sikap penentangan internal ditunjukkan oleh kelompok Gil Alves cs. (aktual Ministru MTCI). Gil Alves adalah Sekretaris Jeral ASDT yang diakui oleh pemerintah (Tribunal Rekursu), namun secara de fakto kehilangan ligitimasi moral dan politiknya dari para pendukung ASDT. Serangan penentangan Gil Alves lebih banyak ditujukan ke Bloku Proklamador selaku organisasi sosial politik yang membawa dan mengusung Avo Xavier sebagai kandidat. Intinya, sikap Gil Alves ini didasarkan pada ketersingkiran diri dan kelompoknya dari event elijer Presiden serta ketidakmampuannya membendung pengaruh Bloku Proklamador terhadap massa pendukung ASDT.
Sementara itu, sikap penentangan eksternal ditunjukkan oleh beberapa elit politik, seperti Ramos Horta, Fernando Lasama, Ministru Saude, dan beberapa elit lain yang tidak mau secara terbuka mengungkapkan ketidaksetujuan tersebut di media massa. Ramos Horta dan Fernando Lasama merupakan salah satu elit yang secara tegas menentang pencalonan Avo Xavier sebagai kandidat Presiden dengan dasar kesehatan yang tidak memungkinkan dari Sang Proklamador tersebut.
Baik Horta maupun Lasama sangat berkepentingan dengan keberadaan Avo Xavier. Horta pun secara terang-terangan minta Avo Xavier untuk tidak mencalonkan diri dan memberikan dukungan kepada pencalonan Horta sendiri. Lasama juga sama. Bahkan dalam statemen terbukanya, Lasama menyatakan bahwa “Avo Xavier fo konviansa ba nia.”
Tentu semua menyadari dan memiliki prediksi yang sama bahwa kunci kemenangan bagi seorang kandidat dalam elijer presidensial 2012 ini berada di tangan Avo Xavier. Asumsi yang berkembang adalah bila Avo Xavier tidak mencalonkan diri dan suaranya diberikan kepada salah seorang kandidat, maka sangat mungkin sekali tidak ada Segundo Ronde. Dengan diloloskannya Avo Xavier sebagai salah satu kandidat Presiden oleh Tribunal Rekursu, secara otomatis memupus harapan dari elit-elit politik yang terkait dengan event elisaun ini. Dari sinilah terjadinya titik temu antara sikap penentangan internal (Gil Alves cs.) dengan eksternal (para kandidat Presiden).
Terlepas dari sikap penentangan yang dibungkus dengan issu ‘humanisme’ namun dipenuhi kepentingan politik ini, maka terdapat beberapa hal yang patut dicermati terkait dengan sikap pro-kontra kandidatura Avo Xavier dalam Elisaun Jeral Presidensial 2012 ini.
Pertama, bahwa tidak ada kriteria yang jelas dan tegas terkait dengan persyaratan kesehatan bagi seorang kandidat presiden. Meskipun perundang-undangan telah memandatkan pada Prokurador Geral untuk membentuk Tim Medis guna memeriksa kesehatan semua kandidat, namun kewenangan ini tidak dilakukan. Dengan demikian, tidak ada dasar ‘legal-formal’ yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan bahwa Avo Xavier tak layak lolos sebagai kandidat.
Kedua, jika ini dikaitkan dengan organisasi yang mencalonkan Xavier sebagai kandidat Presiden, yakni Bloku Proklamador, maka sesungguhnya ini juga menjadi bagian dari edukasaun civiku secara gratis terhadap rakyat Timor Leste.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Fransisco Xavier do Amaral adalah Proklamador kemerdekaan RDTL. Hingga detik ini, tidak ada indikasi dan upaya-upaya sistematik yang dilakukan oleh estadu dan governo terkait dengan pensosialisasian nama dan peran Proklamador serta nilai-nilai proklamasi 1975. Bahkan pemerintah lebih memilih memberi nama jalan-jalan raya dan gedung-gedung pemerintahan dengan orang-orang Portugis dibanding dengan nama tokoh pergerakan nasional Timor Leste sendiri, seperti Fransisco Xavier do Amaral.
Dalam konteks ini, maka secara tidak langsung Bloku Proklamador telah menjalankan salah satu fungsinya sebagai instrument pendidikan politik bagi rakyat. Di mana, fungsi ini tidak dilakukan oleh estadu dan governu selama 10 tahun terakhir ini.
Tentu bukan menjadi sesuatu yang terlambat untuk menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Timor Leste tahun 1975 merupakan pondasi awal bagi berdirinya Negara RDTL. Karena menjadi pondasi awal, maka penting sekali untuk mensosialisasikan nilai-nilai dan semangat yang terkandung dalam proklamasi tersebut kepada rakyat sebagai salah satu unsur untuk membangun karakter bangsa ini.
Intinya adalah bahwa pembangunan bangsa ini tidak semata-mata terletak pada pembangunan fisik saja, tetapi juga terletak pada pentingnya pembangunan spiritual dan mentalitas sebagai bangsa yang merdeka. Salah satu nilai-nilai yang dapat menjadi perekat bagi terciptanya ‘unidade nasional’ adalah dengan mengetahui, memahami, dan mengimplementasikan nilai-nilai dan semangat perjuangan nasional di masa lalu, termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam ‘teks proklamasi kemerdekaan 1975.’
Selain itu, guna makin memantapkan pelaksanaan kehidupan yang demokratis, maka harus menyempurkan mekanisme demokratik yang ada. Artinya, masih terdapat banyak kelemahan terhadap sistem pelaksanaan pemilihan umum di negara kita. Tentu kita berharap, untuk periode yang akan datang, maka pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum beserta produk perundang-undangan pendukungnya untuk terus disempurnakan demi terwujudnya sebuah pemerintahan yang legitimet dan kredibel, dan sudah pasti: pemerintahan pro-rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar